Monday, January 31, 2011

Published 8:56 PM by with 0 comment

Tentang Adikku

Seperti layaknya dua bersaudara perempuan pada umumnya, aku dan adikku seringkali saling menyalahkan, tetapi anehnya, juga bisa kompak dalam banyak hal. Dan seperti layaknya seorang adik, dia suka jadi follower setia kakaknya, tapi nggak dalam semua hal.

Satu hal yang bisa menggambarkan anak yang selisih umurnya 2 tahun kurang 2 minggu denganku ini adalah ia selalu bisa menjadi lebih baik dari aku – dan dulu hal itu selalu membuatku jeles luar biasa, walaupun pada kenyataannya keluargaku nggak pernah ngebanding-bandingin aku sama dia.

Coba dipikir deh, kakak mana sih yang nggak jeles sama adek semacam dia.

Ketika aku mengkhatamkan buku grammar untuk mencapai nilai TOEFL 500... dia meminjam buku itu setelah aku selesai tes dan pada tahun yang sama menjadi pemenang lomba debat bahasa Inggris, juga pada tahun-tahun berikutnya.

Ketika aku belajar mati-matian di kelas reguler waktu SMA, merelakan waktu maen, mengorbankan waktu hang out,lalu berhasil mencapai 5 besar yang nggak konstan... ternyata dia yang sama sekali nggak pernah belajar di rumah, pulang sekolah sibuk organisasi, jalan-jalan, futsal, menduduki ranking 2 di semester pertama kelas bilingual SMA-nya.

Ketika aku belajar bahasa Perancis secara otodidak waktu SMA untuk refreshing dan hanya bisa mempraktekan speakingnya sama Tom dan Wildan dengan sekedar “merci beaucoup” atau “comment ca va?” yang pengucapannya kurang sengau atau chat sama teman asal Turki di Facebook yang bahasanya campur aduk Perancis-Inggris-Turki... dia membeli buku bahasa Perancis saat tahun pertamanya di SMA, dalam jangka waktu yang tidak lama ia bisa bercakap-cakap dengan lancar dalam bahasa Perancis denganku walaupun vocabnya terbatas, tapi selanjutnya ia menekuni bahasa Jepang dan menuliskan karakter Kanji di dinding kamarnya.

Ketika aku bisa menghasilkan uang saat menduduki bangku kuliah, dengan beasiswa, bisnis kecil-kecilan dan pekerjaan part-time pertamaku... ia sudah sering menghasilkan uang sejak di bangku SMP, dengan memanfaatkan bakat tarik suaranya dan hadiah lomba yang diikuti yang jumlahnya nggak sedikit.

Ketika aku semasa sekolah hanya menerbitkan tulisan di blog personal issue-ku dan majalah sekolah, dengan pembaca setia adalah teman-temanku sendiri... ia, yang aku tau nggak begitu berminat dalam bidang tulis-menulis, berangkat ke pelatihan jurnalistik surat kabar lokal sebagai delegasi jurnalis sekolahnya di tahun keduanya di SMP.

Well, masih banyak lagi... Belum termasuk hal-hal remeh-temeh lainnya.

Mamaku sendiri kadang terheran-heran sama anaknya yang kedua ini. Kalo pas hari penerimaan rapot, beliau sering speechless waktu diwawancarai sama wali kelas dan wali murid lainnya. Kata-kata yang sering diceritain ke aku, “Lha wong anak saya ini kalau di rumah nggak pernah belajar lho, Bu. Kalo pulang sekolah pasti udah hampir Maghrib, terus nonton tv, habis itu langsung tidur.” Nggak ngebayangin gimana ‘cegeknya’ orang-orang yang denger kisah perjuangan adekku yang simple itu. Hahaha.

Tapi adikku tetaplah adik pada umumnya. Di balik semua kegeniusan otak dan kemancungan hidung ala Timur Tengah-nya itu, dia tetep punya sifat keras kepala yang nggak bisa ditawar-tawar. Mungkin prinsipnya, “Aku maunya ini, jadi aku harus mendapatkan ini! Nggak bisa diganti sama yang itu!” grrr... Pengen aku jitakin aja. Itulah yang sering bikin aku sebel. Tapi yaa, kesebelan itu agaknya bisa tergantikan sama omellete dan masakan-masakan enak yang dia bikin di akhir minggu, dan luntur ketika kita saling bercerita tentang kisah-kisah konyol, nyanyi-nyanyi dan jingkrak-jingkrak bareng di kamar.

Paling parah kalo malesnya kumat (dan selalu kumat kayaknya).

Mama : Bel, air di kamar mandi matiin gih.

Adek : Iya, bentar (masih nonton tv, akhirnya Mamaku matiin air sendiri dengan menggerutu).

Mama : Dek, katanya besok ujian Fisika? Koq nggak belajar?

Adek : Capek, Maa... udah nggak kuat belajar... (masih nonton tv).

Mama : Terus gimana besok ujiannya?

Adek : Aku belajarnya besok pagi! (mulai emosi)

Aku : Bel, torsi rumusnya apa? (iseng nanyain materi ujiannya)

Adek : F x r (sambil ganti channel tv)

Aku : Kalo momen inersia?

Adek : setengah m x r kuadrat. Pokoknya inersia itu kelembaman. Rumusnya inersia benda pejal macem-macem. Kalo silinder pejal rumusnya bla bla bla, kalo silinder berongga bla bla bla bla bla bla bla. Udah ah, ngantuk! (ngeloyor pergi ke kamar).

Aku : (bengong)

Besok paginya dia bener-bener BELAJAR, dengan buku latian soal di sebelah piring makannya... pukul setengah 6 pagi. Bukan lagi kebut semalam, tapi kebut sejam.

Aku jeles dengan alasan yang bisa dijelaskan. Aku terpacu untuk berusaha lebih keras. Ada mind-set yang muncul dalam benakku, “Aku nggak mau kalah sama dia”.

Kita memang berbeda dalam banyak hal. Dia menekuni seni tari dan musik tradisional dan bersaing di tingkat provinsi, aku menekuni alat musik modern dan berlatih keras untuk bisa memainkan lagu Sail Over Seven Seas di kelompok ansambel musik; dia anggota paskibraka, aku memutar otak mencari cara untuk kabur dari upacara hari Senin; dia membaca tetralogi Twilight yang dramatis, aku membaca komik One Piece yang penuh petualangan; dia pergi ke restoran cepat saji dengan teman-temannya di akhir minggu, aku keluyuran naek komuter dan bis kota dengan teman-temanku; dia menghabiskan waktu dengan nonton tv semalaman, mulai film kartun sampai talkshow, aku menghabiskan waktu di depan laptop, mengutak-atik coreldraw, photoshop dan blog serta bercengkrama dengan teman-teman lewat jejaring sosial.

Ketika aku pisah rumah sama adik – aku tinggal di rumah eyang – aku masih terkesan sama kebiasaannya itu. Sejauh ini aku belum menemukan ada orang yang berkebiasaan belajar ekspres yang sesukses dia.

Setiap pulang ke rumah Mama, aku sering membawa setumpuk tugas dan laporan praktikum yang harus deselesaikan, kalo nggak, aku bawa banyak handouts dan diktat untuk dipelajari. Biasanya aku stand by sampai larut malam. Dan aku agak heran ketika jam 9 malam, adikku yang lebih jangkung daripada aku itu bilang, “Mbak, nanti tidur jam berapa? Sebelum tidur bangunin aku yaa.”

“Jam 3 mungkin. Mau ngapain?”

“Belajar laah... besok ujian Fisika.”

Aku bengong sekali lagi. Koq udah berubah? Kesambet apa ya?

Selidik punya selidik, ternyata dia diancam nggak boleh ikut organisasi lagi kalo semester 2 nanti nilainya merosot. Tentu, yang mengancam adalah Mama tercinta. Dan ternyata anak itu menciut juga begitu liat temen-temen kelas billingualnya getol belajar.

Adek bangun jam 3 pagi ketika aku mengetuk pintu kamarnya, lalu segera mulai belajar. Lalu kulihat kamar adek sepupuku yang bersebelahan sama kamar adekku, ternyata udah terang-benderang oleh lampu belajar. Kalo yang ini sih nggak perlu dikhawatirkan, dia emang rajin dari sononya.

Yaah, dia tetaplah adik pada umumnya. Dan aku pun kakak pada umumnya. Dengan semakin bertambah dewasanya aku, perasaan jeles atau iri hati itu sudah dapat dinetralisir. Aku juga sama baik dan sama hebatnya kayak dia – setidaknya orang-orang dekatku mengatakan begitu. Aku nggak akan keberatan jika besok ia membolak-balik buku Farmakope Edisi IV milikku dan mengerti cara menguji kandungan fenol dalam etanol, yang baru aku dapatkan waktu praktikum semester 1 – tapi aku tau, dia nggak berminat sama sekali dengan Kimia. Toh dia bisa karena aku bisa duluan.

Aku pun nggak akan iri lagi setiap ada anggota keluargaku berkata bahwa adikku sangat mirip dengan almarhum Papa dalam segala hal, karena itu memang benar dan jelas terlihat. Secara fisik maupun psikisnya.

Dan kenyataannya, aku bangga menjadi kakak dari adik yang luar biasa seperti itu.
Read More
      edit

Thursday, January 27, 2011

Published 2:42 PM by with 0 comment

KEONG MEMANCING IKAN BAWEL

Hari Sabtu kemaren aku habis mancing sama temen-temen Keong lhoo. Nggak semua ikut sih, tapi lumayan banyak yang ikut. Seruuu banget… rugi deh yang nggak ikut!

Seperti biasa, kita ngumpulnya di rumah Ocid, trus berangkat bareng-bareng naek motor.

Peserta yang ikut waktu itu…
Aku, Rere, Sapari, Dina, Ateng, Susi, Ocid, Agin, Ketut, Lidya, Cupi, Ageng, Putri, Pakde, Dharu.

Yang memprovokatori acara mancing ini adalah Dharu. Yang paling semangat adalah Rere. Yang paling hobi mancing adalah Ocid. Yang paling banyak makannya adalah Susi. Hahaha.
Kita janjian ngumpul di rumah Ocid jam 8 pagi, trus tunggu-tungguan, dan baru berangkat jam 9. Itu pun masih jemput-menjemput. Pertama jemput Lidya di gerbang Wiguna, terus jemput
Ageng di rumahnya, terakhir jemput Putri di rumahnya.

Aku sempet iseng teriak-teriak di rumah Putri.

“Putriii… Putriii… mancing yuuuk!!!”

Kayak di iklan obat flu anak-anak itu maksudnya. Geje deeh..

Dan akhirnya kita mencapai lokasi pemancingan yang terletak di daerah Sidoarjo sekitar jam 11.
Gilak, nggak kurang jauh apa milih lokasinya. Gitu bilangnya deket rumahnya Putri. Sampe pegel tauk naek motor ke sana. Seperti biasa juga, anak-anak itu nggak kompak kalo lagi di jalanan. Ada aja anggota yang ilang ataupun nyasar. Kita jadi sering berhenti dan tunggu-tungguan. Pantesan aja nggak nyampek-nyampek.

Tiap kali berhenti, si Rere selalu nanya, “udah nyampek ta?”

Ada sepuluh kali mungkin dia nanya gitu.

Pas akhirnya nyampek di tempat pemancingan, kita duduk di lesehan di depan kolam Mujair. Ocid dan Dharu mulai ribet nyiapin alat pancingnya. Trus anak-anak juga nyewa beberapa alat pancing. Awalnya pada mancing di kolam Mujair semua, tapi beberapa menit kemudian pada nyebar. Ada yang ke kolam Bawal dan kolam Gurame.

Celetukannya Ketut, "Bawal itu kan yang cerewet itu kan? Nggak enak dimakan tauk!"

Hasyem, itu mah bawel.



Aku juga nyobain mancing Gurame. Tapi nggak dapet-dapet sampe bermenit-menit lamanya.
Padahal ada ikan Gurame segede telapak tangan berenang-renang di deket kita, ngece-ngece.
Aku yang emang dasarnya nggak sabaran, nggak betah banget diem nungguin ikan makan umpan. Eh ternyata Agin lebih nggak sabaran lagi. Dia mancing sambil pindah-pindah tempat.
Dan setelah lumayan garing, akhirnya kita tau penyebab si Gurame nggak mau makan umpan kita. Tadinya aku kirain ikannya nggak nafsu makan karena males liat mukanya Agin (huakakak). Ternyata bukan itu, tapi karena umpannya salah.

Beberapa jam kemudian, akhirnya anak-anak yang kelaperan ini udah nggak sabaran lagi pengen cepetan makan ikan. Setelah berhasil maksa-maksa Ocid untuk udahan mancingnya (anak itu kelewat betah mancingnya -.-“), ikan-ikan hasil pancingan kita pun diproses di dapur.

Yang aku heranin, cuaca di sekitar sana labil banget. Pas kita mancing tadi, panasnya masyaallah. Eh begitu kita udah selese mancing, berubah jadi hujan badai. Sampe piring-piring kita jungkir balik semua di bawah meja. Rencana naek sepeda air pun batal sudah. -.-“

bersama si calon ikan bakar

*Aslinya aku takut setengah mati sama hujan deres dan angin kenceng kayak gitu, tapi nggak mau ngaku ah. Ntar dibilang cemen. Mending diam dan mengkeret di belakang punggungnya Dharu aja.

Akhirnya sore itu kita harus puas dengan makan ikan bawel, eh bawal; beberapa ikan mujair; dan seekor ikan patin yang kita beli di dapur. Alhamdulillah anak-anak nggak ada yang bawel.

Jadi keinget lagunya Siti Nurhaliza pas jaman aku SMP…

“Panas terik hujan badai kita lalui bersama.... tak kan hilang arah tujuan, kau tau kemana berjalan. Meski terang, meski gelap, kita lalui bersama...”

Hahaha.

Pokoknya kalo sama mereka, adaa aja cerita berkesan. Nyesel deh kalian yang nggak ikut!!! :p
Read More
      edit
Published 2:05 PM by with 1 comment

Obrolan Malam Itu

Aku terdiam memandangi langit malam yang gelap seperti tinta gurita, menunggu angin berhembus tapi tak juga datang. Di samping rumah, anak-anak tetangga sedang krik krik adem ayem tak bersuara (lagi belajar kali ya, kan besok sekolah). Jadi intinya malam itu cukup hening bagi seseorang yang tidak terbiasa dengan suasana sepi seperti aku. Dan tentu saja, ada aura “ayo jadilah mellow” yang ditebarkan suasana sepi itu -.-“. Itulah mengapa aku nggak suka sepi.

Satu-satunya suara yang terdengar adalah lagu A Twist In My Story-nya Secondhand Serenade yang mendayu-dayu dari playlist laptop. Lagu ini pun ternyata tidak mampu mengajak hatiku untuk mellow juga. Alhamdulillah, lagi cerah ceria hati ini, nggak sinkron sama warna langit.

Hpku bunyi, seperti biasa, sms masuuuk. Seorang temen bernama Dharu yang sms, mau maen ke rumah. Setelah sms ini-itu mbulet kayak biasanya, akhirnya dia berangkat juga. Perlu diketahui, Dharu ini salah satu sahabat saya yang rada sableng plus lebai. Sebenernya dulu heran juga, koq bisa ya saya nemu orang modelnya kayak gini, hidup pula. Hahaha.

Aku tungguin anak itu di teras rumah lantai dua. Nggak lama, kira-kira setelah music player-ku muter 2 lagu, idungnya Dharu keliatan melintas di jalan depan rumah.

And as always, aku melacur (melakukan curhat) tentang banyak hal dramatis yang terjadi selama ini, selama kita nggak pernah ketemu karena dia kuliah di luar kota.

And as always juga, tanggepannya selalu lebai. Hmmm… bukan Dharu namanya kalo nggak lebai. Semacem ini…

“Hah? Sialan banget sih cewek ini (maksudnya aku), kalo ngomong mbok ya dipikir! Tega kamu ngomong gitu ke dia… (dilanjutkan dengan “gerutukan” yang puanjaaang nggak pake titik koma)”

Aku nyengir-nyengir kucing. (emang kucing bisa nyengir?)

And as always (lagi), kalo curhat ke dia, aku selalu dalam posisi salah. Hzzz, tapi nggak apa-apa. Kalo dianggep bener terus, aku nggak bakal tau salahku dimana. Hohoho.

Di ending, wise-nya keluar dalam bentuk nasehat yang cukup baik. Sayangnya, aku dari dulu nggak cukup wise untuk nurutin kata-katanya.

“Kalo ada masalah kayak gini, nggak usah cerita ke dia. Kamu malah bikin dia makin panas ati.
Sama aja kayak kamu nyulut api. Bukannya kamu nyelesein masalah, malah makin gede masalahnya. Kalo ada apa-apa, cepetan cerita ke aku, atau Ben, atau Ageng. Terutama ke Ageng, kan Ageng temen sekelasmu, dia yang posisinya paling deket sama kamu! Cukup ke kita aja curhatnya.”

Meskipun aku menyangkal, mendebat dengan segala macem alesan, tapi sebenernya masih setuju juga, “Iya sih emang…” Dan menangkap makna sekilas ucapannya, “Jadi aku dititipin ke Ageng nih maksudnya? Hmmm… -.-”

Beberapa saat kemudian, bocah sableng yang satu lagi dateng. Namanya Erza, tapi lebih terkenal dengan sebutan Pitung. Dia dateng dengan masih pake jaket almamaternya, habis jadi panitia di acara kampusnya.

Nah, dua orang sableng berkumpul di rumahku, temu kangen dan siap-siap bikin keributan. Keheningan malam itu pecah berantakan. Diawali dengan Dharu yang maksa Pitung ngelepas jaketnya. Dia pengen foto dengan pake jaket almamater orang laen. Tapi Pitungnya nggak mau. Bilangnya, “Emoh, ini jaket masih baru.. nanti kena bolotmuu!!!” Hahaha. Ngakak banget.

Kita bertiga beda jurusan dan universitas. Mereka berdua jurusan teknik, sedangkan aku di Farmasi. Jadi waktu mereka menggebu-gebu ngomongin pengkaderan segala macem, aku nggak nyambung sama sekali.

Trus ngobrol dilanjutin ke sana kemari tanpa jeda, saling menimpali, sesekali teriak-teriak. Dan Pitung sok-sokan nunjukin pemrograman tekniknya di laptopku, bikin Dharu dan aku makin heboh.

Akhirnya mereka pulang pas udah berasa ngantuk dan capek ngobrol.

Dan aku pun kembali ke depan laptop, melanjutkan playlist yang tadi dan ngetik posting ini sambil menancapkan kata-kata penting dan bermakna dari obrolan tadi di otak.

Dan yang lebih penting, aku berjanji pada diriku sendiri, mulai saat ini aku nggak akan mengabaikan begitu saja nasehat orang-orang yang perhatian sama aku. Aku juga akan berusaha untuk nggak bertindak sembarangan dan mementingkan egoku sendiri. Ayo berpikir dewasa, Chyntia!!!

Thanks, Allah, for giving me the best people like them all. I love them. :)

Now playing : Warmess on The Soul – Avenged Sevenfold
Read More
      edit

Monday, January 24, 2011

Published 11:34 PM by with 0 comment

Jalan-Jalan

Siapa sih yang nggak suka jalan-jalan?

Aku sukaaa bangeet, lebih suka lagi kalo jalan-jalannya berbau petualangan. Hehehe.

There's something strange about adventure. Once you started, you'll never wish it going to the end

xD


And this is my photos when i'm on the high passion of adventure.. (*pamer)



Di Masjid Al-Akbar, waktu diundang nikahannya mas Yan Krisno..





Di pinggir jalan perbatasan Surabaya-Sidoarjo. Baru turun dari bis kota sama Devi




Di Pantai Kuta. Study Tour pas kelas XI.




Di Pacet. Acara Rekreasi Keluarga.


Di suatu tempat di kota Malang. Ini ceritanya pas lagi acara rekreasi kelas. Seperti biasa, aku, Lidya dan Devi bikin acara jalan-jalan sendiri muter-muter di sekitar villa waktu yang laen masih tidur... dan akhirnya nyangkut di tempat ini : Gedung Kesenian Gajayana.




Di perahu menuju Pulau Penyu. Sok banget gayanya -.-



Di depan Balai Pemuda. Gara-gara ada tugas wawancara sama seniman yang lagi pameran di sana.



Di Kebun Bibit sama temen-temen SMA. Kalo nggak salah ini pas hari Jumat, kita pulang siang terus ngeluyur ke sini.



Di Kebun Bibit juga... tapi temen-temennya ganti. Hehehe.



Foto di tengah jalan. Alhamdulillah, habis foto masih idup.


Ini paling nggak banget. Saya sendiri heran, koq bisa ya saya foto dengan gaya seperti ini di tempat seperti ini. Huahahahaha.


Udahan ah, kapan-kapan lagi pamer fotonya. Tunggu posting selanjutnya yaa. Huaahmm... nyam nyam nyam... *ngantuk berat
Read More
      edit
Published 11:17 PM by with 0 comment

Dulu Aku Mengagumimu

Dulu aku mengagumimu

Merasa kau adalah seseorang yang pantas untuk dinilai lebih

Mengagumimu… dan jatuh mencinta pada dirimu

Tersenyum ketika kau di sekitar

Menangis ketika kau menghilang

Dan menyisakan cerita berkesan dalam benakku

Dengan mudah kulupakan kesalahan yang kau lakukan

Memaafkanmu meski tersisa perih tak tertahankan

Namun aku tak peduli, karena aku tau, kau pun tak pernah peduli

Mata ini selalu mencari-carimu

Ketika menemukanmu, hatiku merekam setiap gerik dan raut wajahmu

Otakku menyimpan setiap kata yang kau ucapkan, meski tak bermakna

Dan mulai terjebak dalam suatu kebodohan dengan mengharapkan dan menunggu hatimu
terbuka

Tapi kini tidak lagi

Aku telah menemukan prespektif berbeda untuk memandangmu

Hingga kau tak lagi terlihat seperti dulu

Kelebihan yang kau miliki tak lagi terlihat istimewa

Bahkan aku bisa melihat kekuranganmu yang dulu tersamarkan

Kau tak lagi hebat

Mungkin memang kau benar-benar hebat dalam arti yang sebenarnya

Namun bagiku tidak lagi

Dan biarkan tetap begini, karena bagiku ini benar

Kau hanya seseorang yang datang dan pergi sesuka hatimu

Biarkan aku tetap dalam prespektif ini

Agar aku tak lagi terpaku hanya kepadamu dan mampu melihat dunia di belakangmu

Karena memang tak seharusnya aku begitu, kan?
Read More
      edit

Thursday, January 20, 2011

Published 3:52 PM by with 0 comment

Ditulis dengan Sisa-Sisa Tenaga

Alhamdulillah... UAS akhirnya selese juga...

Rasanya perasaan surem di dalam hati akibat terngiang-ngiang UAS akhirnya melayang pergi meninggalkanku sendiri. Hahaha.

Gara-gara UAS, seorang Chyntia yang kerjaannya smsan sambil belajar, maen fb sambil belajar dan ngelamun disambi belajar, jadinya harus meng-ignore kebiasaan-kebiasaan itu, lalu dengan berat hati mengubahnya jadi BELAJAR SAMBIL BELAJAR. Wooo... emang bisa? Hmmm, susah sih. Tapi berhubung didukung oleh peristiwa tewasnya handphone saya, akhirnya saya bisa merealisasikannya.

Selama 2 minggu aku berkutat dengan diktat-diktat dan handout-handout yang tadinya jarang banget tersentuh. (Keliatan malesnyaaa >.<) tapi alhamdulillah catetannya lumayan lengkap, soalnya nyatetnya nggak pake filter. Apapun yang dibilang dosennya, entah penting atau nggak penting, langsung terekam di atas kertasku. Jadinya waktu baca, pasti ketawa-ketawa sendiri menyadari betapa gejenya catetanku. Misalnya di salah satu handout Biologi Dasar bertopik Penyebab Kanker. Ada tulisan gini, "Di dalam tubuh kita ada sistem pertahanan terhadap kanker yang dilakukan oleh imun yang bernama GTA. GTA selalu waspada dan akan mati setelah menyerang kanker. Dia rela mati untuk menyelamatkan kita dari kanker. Makanya, kalo Anda merasa di dunia ini tidak ada lagi yang peduli dan setia menjaga Anda, Anda harus ingat, ada GTA dalam tubuh Anda yang selalu peduli dan setia pada Anda."

Maka imunitas GTA aku tetapkan sebagai pelajaran hidup nomor 11.

Satu hari... dua hari... satu minggu... dua minggu pun akhirnya berlalu.

Waktu udah memasuki minggu kedua, ada rasa bosan dan uring-uringan setengah mati, pengen ujian cepet-cepet selese. Kondisi kesehatan tubuh pun lagi drop-dropnya.

Penyakit maag sering kambuh. Kalo lagi parah, wajahku sampe pucat nggak berwarna. Antasida yang sebelumnya jarang-jarang dikeluarin dari kotak obat, jadi harus selalu dipajang di meja belajar buat jaga-jaga kalo pas tengah malem kumat dan nggak ada yang bisa dimintain tolong untuk ngambilin obat.

Lalu di 3 hari terakhir, sakit tenggorokan datang, diikuti batuk-pilek-demam yang semakin hari semakin menjadi. Paling males kalo pas ujian harus selalu sedia tisu travel-pack di bawah kursi. Dan yang sakit bukan cuma aku, si Riky yang biasanya duduk di belakangku juga sakit. Kita balapan ngabisin tisu deh. Srooott...

Semangat Ajtahidu fauqa mustawal akhar pun semakin susah dipertahankan. Biasanya aku betah begadang sampe jam 2 pagi, karena sakit, sekitar jam 11 udah langsung tepar tak bertenaga.

And now... it's over... ini hari terakhir ujian. Begitu selese ujian, setelah nyoblos di pemilwa, aku langsung pulang, minum obat dan pengen langsung tiduuuurr.

Di parkiran motor tadi, aku ketemu Riky dan Ageng yang ngajakin maen ke rumah Vita. Aku menggeleng. Padahal biasanya aku paling semangat kalo diajakin maen.

Trus rencananya hari ini aku mau jalan-jalan sama Mbak Karla, tapi Mbak Karla nya pulang ke Sidoarjo. Ada rencana juga nanti Dharu mau maen ke rumah, tadinya mau aku ajak maem terang bulan ijo, tapi nggak tau jadi apa nggak.

Sudah sudah, istirahat yang bener dulu... biar hari Sabtu besok bisa ikutan temen-temen Keong mancing dan bakar-bakar ikan :D Huyuuuuw, aku udah kangen bangeeeet sama mereka. (Lebai)

Masalah hasil ujian, itu urusan Allah. Urusanku hanyalah berusaha sampai batas kemampuanku sebagai manusia. Jadi... mari kita akhiri ujian-ujian ini dengan syukur dan berserah diri kepada-Nya. Aku tau Ia akan membayar perjuangan dan pengorbananku dengan harga yang pantas.

-Posting ini ditulis dengan berbaring di atas kasur dengan sisa-sisa tenaga yang ada. -
Read More
      edit

Monday, January 3, 2011

Published 11:25 AM by with 0 comment

Senyum Omellete

Ada memori yang kerap muncul di kepalaku setiap kali adekku membuatkan omellete untuk sarapan. Memori tentang jaman sekolah yang sayang banget dilupakan. Itulah yang bikin aku melamun sejenak sebelum menusukkan garpu ke makanan mirip konde keriting itu.

Omellete berarti banyak untukku. Selain karena enak - apalagi buatan adekku, juga bergizi dan mengandung protein tinggi sehingga layak dikonsumsi (gubrak). Eh bukan gitu ding. Omellete mengingatkanku pada siang hari sepulang sekolah yang sering aku habiskan bersama seseorang di kantin.

Seseorang itu adalah sahabatku, seorang cowok berwajah tirus, kurus, berkacamata tebel, rada pendiam, juga rada humoris, tapi kalo udah terlanjur komentar, sinismenya nggak setengah-setengah.

Seseorang itu adalah sahabatku, seorang berjiwa seni yang berbakat melukis, kecanduan fotografi dan punya selera bagus dalam memilih lagu di playlist-nya.

That’s why, kita sering klop – aku suka travelling alias mbolang, kalo ngajak dia, jadi ada yang ngefotoin. Aku nggak bisa ngegambar, dia jago. Aku suka cerita, dia sabar dengerin. Aku bersikap kayak anak kecil, dia suka ngusilin. Dan dia melow, aku yang aslinya nggak melow-melow amat, jadi ketularan melow.

Seseorang itu adalah sahabatku, ya, sahabatku, yang hobi banget makan omellete sampe keringetnya bau omellete. Hahaha. Ibu kantin sampe hapal pesenannya dia.

“Omellete satu, jangan gosong-gosong ya, Bu. Minumnya es teh. Ini botol sambelnya aku bawa dulu ya, Bu,” kata dia dengan semangat orang laper, “eh, lu mau makan apa lu?” nawarin ke aku.

“Pop ice choco cream satu!” sahutku.

“Makannya?”

“Nggak laper, ntar aja.”

“Heh, harus makan! Mati kamu nanti kalo nggak makan.”

“Gapapa, daripada mati kebanyakan omellete.” Kataku cuek.

Setelah serangkaian debat konyol dan nggak penting tentang nafsu makanku, kita memilih duduk di tempat yang agak sepi, agak jauh dari hiruk-pikuk segerombolan anak yang ngegosip keras-keras. Lalu aku mulai merajuk minta dibantuin ngerjain tugas gambar prespektif yang belom kelar.

“Ayoo...gambarin awan yang bagus di langitnya...” rajukku.

“Ngapain dikasih awan? Bagusan gini, tauk.” kata dia. (Aslinya males ngegambarin)

“Bikinin gambar mobil yang bagus ta. Jelek nih mobilnya.”

“Hmm, bagus koq. Ini mobil ceritanya habis nabrak mobil satunya, terus mobil satunya guling-guling sampe akhirnya... bum! Meledak, kebakar. Pohon yang di deketnya jadi ikut kebakar juga deh. Hahaha.”

Rasanya tega baget aku cakar-cakar anak itu kayak kucing ngamuk.

Tapi gimanapun, dia akhirnya mau ngerjain sambil nunggu omellete-nya jadi, sekalian dengerin aku nyerocos cerita tentang ini itu. Mulai dari cerita tentang dikerjain temen-temen di kelas tadi, nilai ulangan yang ajaib, rencana berpetualangku sama temen-temen weekend besok, sampai masalah cinta (ihiiy).

Dan dia mendengarkan, benar-benar mendengarkan walaupun tangannya tak berhenti menggoreskan pensil untukku. Dan dia mengerti dengan baik.

Perharps you know how is the feel when you’re listened.

Suatu hari aku datang menghampirinya dengan muka hampir nangis. Lalu aku menumpahkan semua kekesalanku padanya, tapi menahan air mataku sekuatnya.

This is what he did after my long complicated story about love and friends.

Mengambil botol sambel di meja, memandangi omellete-nya dengan mantap, lalu menggambarkan mata, alis, hidung dan mulut tersenyum yang lebar.

And you know what he said at the end after his best advice.

“Look here, dear. Omellete ini tersenyum ke kamu. Kamu tau kenapa? Karena dia pengen kamu membalas senyum juga ke dia. Coba deh tunjukin senyum kamu.”

Aku mingkem dengernya. Perlu waktu beberapa detik untuk ‘ngeh’ maksudnya dia. Itulah caranya membujukku tersenyum. Dan aku pun tersenyum, begitu juga dia.

“Eh ntar ntar, harus difoto dulu nih senyum omellete sama senyum kamu. Tapi koq kayaknya lebih manis senyum omellete-ku ya. Tahan dulu senyumnyaaa.”

Krauk! Aku cakar bahunya. Pengen ke wajahnya tapi nggak kena.

In fact, begitu nyampe rumah, aku akhirnya nangis karena terharu sama senyum omelletenya itu. Ahh, mellow on action.

Ketika aku menuliskan ini, aku sedang amat sangat merindukannya. Kita sudah menjadi terlalu jauh, rasanya lebih jauh dari jarak tempat berdiri kita yang sebenarnya.

Yaa, aku merindukannya. Ingin menghubunginya, tapi entahlah, aku selalu berpikiran, “dia pasti lagi sibuk sama kuliahnya, takut ganggu ah.” Dan aku takut dia juga berpikiran yang sama tentangku.

Hufh.
Read More
      edit