Saturday, December 14, 2013

Published 11:35 PM by with 0 comment

Apoteker, Kau Dimana?




Ketika profesi sejawat yang sudah sangat dikenal masyarakat beberapa waktu lalu resah dengan ketidakjelasan area hukum profesi dan pidana, para farmasis atau lebih dikenal dengan sebutan apoteker tidak merasakan adanya hal tersebut di ranah profesinya. Bagaimana mau merasakan, dikenal oleh masyarakat saja belum.
 
 Sebenarnya profesi apoteker merupakan profesi yang cukup tua di Indonesia. Perundangan yang mengaturnya sudah ada sejak 1966 yang kemudian terus diperbarui hingga sekarang kita dapat melihat definisi Apoteker yang masih berlaku di PP nomor 51 tahun 2009, yaitu apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Definisi itu dibarengi dengan uraian tentang tanggung jawab apoteker dalam pekerjaan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian kemudian diatur dalam Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dan dilanjutkan dengan standar operasional yang mengatur dengan cukup detail mengenai apa saja yang harus dilakukan dan dicapai oleh apoteker dalam menjalankan tugasnya.

Secara teori, apoteker merupakan profesi yang begitu penting. Perannya begitu luas di bidang kesehatan di Indonesia. Peran ini terlihat terutama di bidang pelayanan. Bidang ini menjadi ujung tombak eksistensi apoteker di masyarakat karena di bidang ini apoteker berkesempatan untuk melakukan interaksi langsung dengan masyarakat. Tempat pelayanan kefarmasian utama bagi apoteker adalah apotek, sesuai dengan PP nomor 51 tahun 2009. Dibekali dengan konsep pharmaceutical care yang begitu mulia, seharusnya di sinilah apoteker mendekat dengan masyarakat. Dan seharusnya di sini juga lah apoteker menunjukkan bahwa ia selalu ada untuk melayani kebutuhan informasi obat dan kesehatan bagi masyarakat. Namun kenyataan yang dapat ditemui di kehidupan nyata merupakan ironi dari peraturan perundangan apapun yang pernah dibuat untuk pelayanan kefarmasian. Banyak apotek yang tak ubahnya seperti toko biasa, hanya berbeda pada komoditi yang dijual. Tak ada makna pelayanan. Tak ada pharmaceutical care. Kenyataan ini selalu dipertanyakan oleh calon-calon apoteker yang masih duduk di bangku kuliah. Jika memang seperti itu, untuk apa ada apoteker? Sampai kapan apotek sekedar menjadi ‘toko yang menjual obat’?

Sudah banyak yang menjelaskan berbagai faktor penyebab ironi pelayanan kefarmasian tersebut. Tidak tegasnya hukum yang berlaku, tidak adanya komitmen apoteker, dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi apoteker, semuanya berkontribusi. Memperbaiki keadaan yang memprihatinkan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, namun bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan. Mungkin sekali lagi kita harus kembali ke teori-teori falsafah kefarmasian, yang menjelaskan betapa mulianya profesi apoteker di muka bumi ini. Juga mungkin kita bisa mencermati kembali lambang cawan dan ular yang menjadi simbol farmasi. Di tangan apoteker, bahan yang awalnya merupakan racun, diubah sedemikian rupa menjadi  obat yang menyembuhkan. Di tangan apoteker juga, perubahan aktivitas tubuh menjadi lebih baik bisa terjadi. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali apoteker. Karena sifat tak tergantikan inilah maka apoteker layak disebut profesi.

Memang benar, peran apoteker bukan hanya semata-mata di bidang pelayanan. Ada bidang industri dan bidang-bidang lain yang menjadi tempat mengabdi bagi profesi ini. Namun pada prinsipnya, dimanapun bekerja, apoteker bervisi selaras dan dalam jiwanya memegang nilai-nilai yang sama demi memajukan kesehatan bangsa. Maka, apapun yang dilakukan dalam pekerjaan kefarmasian, pasti tak akan jauh dari tujuan ‘meningkatkan derajat hidup masyarakat yang setinggi-tingginya’. Itulah yang membedakan profesi apoteker dari profesi non medis.

Apoteker sendiri yang harus bergerak mengatasi masalah ini. Dengan memperbaiki sistem perundangan, dengan hadir di tempat praktek pelayanan kefarmasian, dengan melakukan pengabdian dalam bentuk yang sesuai untuk masyarakat. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan peran aktif para apoteker di berbagai bidang karena ini bukan pekerjaan mudah. Dengan menunjukkan eksistensi, persamaan derajat dengan rekan sejawat profesi kesehatan lain yang sejak dulu dipertanyakan apoteker, juga mungkin bisa tercapai.

Calon apoteker saat ini mungkin terlalu lama terpatri di depan laporan dan jurnal praktikum, sehingga tak pernah mengenal dengan baik profesi yang akan ditekuni nantinya. Juga mungkin karena terlalu percaya pada teori mengenai apoteker ‘seharusnya’ dan mengesampingkan apoteker ‘kenyataannya’, sehingga tidak menyadari besarnya gap antara keduanya. Di tengah berbagai kekhawatiran mengenai tenggelamnya profesi ini, harapan tetap dapat digaungkan.

Dan harapan kita semua sama, yaitu ingin apoteker dikenal oleh masyarakat. Ingin apoteker mengatakan kepada masyarakat, “Saya Apoteker Anda. Anda bisa bertanya apapun mengenai obat kepada saya. Jika Anda bingung memutuskan obat apa yang seharusnya Anda minum, Anda bisa bertanya kepada saya. Jika Anda ragu kapan harus meminum obat, Anda bisa berkonsultasi dengan saya. Kapanpun Anda memerlukan, Anda bisa menghubungi saya. Saya ada untuk melayani Anda. Dan bersama-sama kita akan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.” Dengan begitu, tak ada lagi yang mempertanyakan keberadaan dan kedudukan profesi ini terhadap profesi kesehatan lain.
Bersinarlah, Apoteker Indonesia. Tunjukkan bahwa kau pantas disebut nation’s expert on medicine.

Chyntia Tresna Nastiti
Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
Read More
      edit

Sunday, November 24, 2013

Published 9:13 PM by with 0 comment

One More Dream Comes True :)


Sekali lagi Allah memberikan kejutan manis. Sekali lagi Allah membuktikan bahwa tiada impian yang tak mampu direalisasikan. Sekali lagi aku merasa keringat di dahiku menguap dan usaha keras terbayar. Sekali lagi aku diyakinkan bahwa Allah sedang merajut kehidupan terbaik untukku. Ini membuatku semakin berani menghadapi segala yang dihadapkan padaku setelah ini, kesulitan, kemudahan, kesedihan, kebahagiaan, apapun itu... semoga menjadikan diri ini hamba yang dirindukan surga.

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang - Imam Syafi'i.

Sayang Allah :')
Read More
      edit

Friday, November 8, 2013

Published 11:11 PM by with 0 comment

Dan Semester Tujuh Ini...



*menghirup nafas panjang*

Aah semester tujuh. Saat yang tepat menghadapi tekanan demi tekanan dari segala arah. Ini sudah (atau baru) tengah semester, ujiannya terasa mencekam. Entah aku yang kurang cerdas atau memang pelajarannya semakin sulit. Tapi ya beginilah Farmasi. Semakin dekat dengan kelulusan, semakin sulit. Semacam obat yang kalau mau sampai ke reseptor harus melewati barrier-barrier tubuh. Tidak mudah, tapi dengan usaha formulator dan teknologi, akhirnya bisa.

Terkadang kalau sedang lelah dan semangat tersupresi sedemikian rupa hingga terduduk lemas di depan tumpukan kertas-kertas tugas, aku meraba kembali kenangan-kenangan yang membawaku hingga ke titik ini. Kenangan itu seperti menjadi zona nyaman yang aku rindukan. Selalu aku rindukan.

Semester tujuh ini dimulai dengan sangat indah.

KKN... Kurang lebih satu bulan menjalaninya di desa Jrebeng, Probolinggo. Benar-benar kenangan tak terlupakan. Teman-teman sekelompok, Bu Imam, sungai yang indah, suasana desa, anak-anak kecil kesayangan. Tidak ada habisnya kalau diceritakan. Hidupku bisa dibilang sempurna saat itu. Segalanya menyusun diri untuk membahagiakanku. Mengusir penat semester enam. ‘Kabur’ sejenak dari kehidupan kampus. Seperti menjalani kehidupan di dunia lain yang sangat berbeda dan lepas dari sangkar. Terbang. Tertawa lepas.

Kemudian Allah memberikan kejutan : Istanbul! Itu pertama kalinya aku menjejakkan kaki di benua lain. Pertama kali meninggalkan negeriku. Pertama kali merasakan penerbangan hampir sepuluh jam. Segalanya serba pertama kali. Aku seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah mainan baru. Menyambut dan menggenggamnya dengan riang. Menikmati setiap bagiannya. Mengenal teman-teman baru dari berbagai belahan dunia. Dihujani keramahan saudara seiman. Melangkah di antara jejak kebesaran Islam. Merentangkan tangan seakan ingin menggenggam semua. Saat menghirup angin dingin musim gugur, aku menyadari, setelah meninggalkan kota yang indah ini, hidupku akan banyak berubah.

Kedua hal itu menjadi dua kepingan besar dalam hidupku. Kepingan yang menyusun nilai-nilai dalam diriku hingga menjadi seperti saat ini.

Dan benar saja, hidupku banyak berubah. Ketika semester tujuh dimulai, duniaku sedang tidak stabil. Sempat terkoyak. Mematahkan energi semester baru yang biasanya aku gejolakkan. Aku yang tadinya terbang dan tertawa lepas, mendadak tersungkur dan menangis sejadi-jadinya. Berkomplikasi dengan jetlag yang sering membuatku setengah sadar di kelas, semester tujuhku hampir tidak ada artinya.

Mungkin ini yang sering dikatakan orang “hidup itu seperti roda yang berputar”. Hidupku bukan sekedar diputar, tapi dibanting seratus delapan puluh derajat. Aku kaget dan menangis keras.

Meskipun belum lelah menangis, tapi aku memutuskan untuk bangkit. Perlahan. Hingga tegak berdiri. Aku menerima dengan lapang tugas-tugas kuliah yang menyerbu. Memberikan usaha terbaik meski hati dan pikiran belum tertata rapi seperti sedia kala. Benar-benar perlahan. Jika merasa tak sanggup, aku bersandar pada-Nya. Maka perlahan juga aku belajar ikhlas.

“This is life, dear.” begitu kata Doaa, seorang teman dari Mesir.

Ya, inilah hidup. Hidup yang berjalan sesuai kehendak Allah. Sejauh ini skenario Allah tak pernah mengecewakan, maka aku jalani saja.

Satu-dua kekuatan mulai muncul dan menggantikan lelah. Tapi di sisi lain aku masih membutuhkan waktu untuk menyembuhkan. Entah berapa banyak, tapi aku yakin akan sembuh. Time would heal.

Dan semester tujuh ini akan penuh kebahagiaan seperti semester yang sudah-sudah. Aku akan terbang lagi. Tertawa lepas lagi.

Allah sedang merajutkan kehidupan terbaik, bukan?

Aku percaya dan sayang Allah selalu :)
Read More
      edit

Friday, November 1, 2013

Published 11:51 PM by with 0 comment

BIG BIG GIRL




 *Ini tentang kenangan*

I’m a big big girl in the big big world
And it’s not a big big thing if you leave me

Not a big big thing? Sungguh?

Rasanya memang lama-lama akan jadi ‘not a big big thing’, hanya saja sekarang sedang berproses. Rasanya aku ingin memberi selamat ke kamu. Selamat, kamu berhasil mengubah orang cuek jadi mellow. Selamat, kamu pernah membuatku tertawa selepas-lepasnya dan menangis sekeras-kerasnya. Selamat, kamu pernah membuatku berani membuka hati dan menyesalinya. Kamu hebat.

Kamu juga yang membuat hati semakin rapuh. Masalahnya, hati tidak seperti papan tulis yang kalau dihapus tidak meninggalkan bekas. Itulah mengapa melupakanmu menjadi sesuatu yang sangat sulit. Mungkin lebih sulit daripada memaafkanmu.

Dan selamat juga, kamu membawa pelajaran penting dengan kepergianmu, yaitu pelajaran untuk sabar luar biasa dan memaafkan – dua hal yang memerlukan kekuatan ekstra untuk melakukannya.

 Aku sudah memaafkanmu, tapi sabarnya belum. Ikhlasnya juga belum. Aku berproses menuju itu.

But I do think that I will miss you much... miss you much.

***

Life will guide you home
And I’ll ignite your bones
I will try to fix you

Aku selalu miris kalau mengingat kamu. Setiap hari kamu terancam. Setiap hari aku membayangkan kamu sudah hampir jatuh dan... Ah, pokoknya aku mengkhawatirkanmu, dan tidak tau bagaimana caranya untuk berhenti mengkhawatirkanmu.

Aku selalu kamu anggap anak kecil yang tidak tau apa-apa, dan kamu paling tau segalanya. Aku sudah terbiasa kamu anggap seperti itu. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah mendengarmu. Aku selalu mau mendengarmu. Paling penting dari itu semua adalah kamu bisa mengajakku menertawakan kesedihanku. Memang caranya begitu menyebalkan tapi lagi-lagi kamu membuatku percaya bahwa kamu melakukan hal yang benar.

Sekarang kita berjauhan. Terpisah pulau dan zona waktu beberapa jam. Tapi rasanya lebih dari itu, kau dan aku terasa lebih jauh lagi.

Kamu tau, aku sedang punya banyak sekali perasaan dan pikiran yang bertumpuk dan sedang mengahadapi banyak sekali hal sulit. Begitu bercerita kepadamu tentang ini semua, aku jadi malu sekali mengeluh. Kau menghadapi hal yang jauh lebih sulit daripada aku. Aku jadi benar-benar merasa tidak tau apa-apa dan manja sekali. Dan kau, menjadi lebih kuat dan masih bisa tersenyum walaupun perih.

Ketika bebanmu semakin berat dan kamu semakin jengah, lagu Fix You itu untukmu. Baik-baik di sana ya :)

***
Keep smiling, keep shining
Knowing you can always count on me for sure

Hey, tak usahlah merisau. Orang lain mungkin tidak mengerti. Tapi aku dan kamu seperti bertumbuh bersama, saling mengerti satu sama lain.

Aku tidak tega melihatmu sedih. Kau mungkin menghadapi hal yang lebih sulit daripada aku, daripada orang lain. Tapi orang lain mungkin tidak mengerti. Aku mungkin juga tidak sepenuhnya mengerti. Bagiku, kesedihanmu adalah juga karena kesalahanku yang tidak mampu mencegahnya. Kalau boleh, aku ingin mengambil semua bebanmu, semua sedihmu, agar kamu tersenyum lagi.

*Jeda UTS, ketika rintik hujan mulai menampakkan diri di kota dessert-like effect.
Read More
      edit

Sunday, September 29, 2013

Published 9:35 PM by with 0 comment

Angan si Macan




“Nanti kalau punya anak, anak-anak kita harus berteman ya.”

“Iya, mereka membentuk regu macan junior.”

Dan kami tertawa keras, meramaikan suatu sudut restoran cepat saji. Jadi ceritanya kami sudah jenuh mengerjakan bab demi bab makalah PBL yang harus dikumpulkan hari selasa besok. Tiba-tiba khayalan tentang masa depan menjadi lucu sekali untuk dibicarakan.

“Nanti anak kita sepantaran semua yaa. Trus kita tinggal di satu kompleks perumahan. Rumahnya di blok M. Rumah nomor 1 punya Dani, nomor 2 punya Novita, nomor 3 punya Dita, nomor 4 punya Chyntia, dan seterusnya.”

Sekalian aja pesen rumahnya sekarang, biar dibangun berjajar sekompleks.

“Anak-anaknya nanti komposisinya sama kayak kita. Anaknya Dani cowok, anaknya Novita, Dita, dan lainnya cewek. Sekolah di sekolah yang sama, berangkat bareng-bareng.”

“Kuliahnya di Farmasi juga! Sekelompok juga! Ada tragedi kelinci mati juga!”

“Yang memimpin pembunuhan kelinci nanti anaknya Chyntia.”

“Astagfirullah -___-“

“Sejarah berulang dong yaa.”

Memang bisa seperti itu? Hahaha, lihat saja nanti. Wallahu ‘alam... :>

Anyway, kenapa masa depan yang dibayangin itu tentang ‘punya anak’? Dasar random -.-‘’
Read More
      edit
Published 1:50 PM by with 0 comment

Last Day in Istanbul (Late Post)



Jalanan di Fatih sudah ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan cepat. Kulirik jam di handphone yang kupegang. Sudah hampir pukul 10. Ah, pantas saja. Rata-rata jam kerja dimulai pukul 9 atau 10 pagi di sini. Aku melangkah di trotoar, berebut langkah dengan bule-bule yang selalu berjalan cepat. Abang penjual simit di pertigaan meriuhkan suasana dengan berteriak “bir lira, bir lira!”. “Satu lira, satu lira” yang merujuk pada harga roti simit, acma dan kawan-kawannya. Kalau saja belum sarapan, aku pasti sudah menghampirinya untuk membeli satu acma dan satu lagi jenis roti renyah yang aku lupa namanya. Tapi pagi ini aku sudah cukup bertenaga dengan dua bungkus energen yang diseduh dalam satu cangkir – ini terinspirasi dari Harris, teman semasa KKN yang kalau lapar bikin energen dua bungkus, dan memang mengenyangkan.

Matahari sepenggalah naik di belakangku, namun cahayanya sudah cukup menyilaukan mata. Aku pun menurunkan kacamata hitam yang selalu standby di atas kepala, sebuah kebiasaan baru sebulan terakhir karena mataku tidak pernah tahan dengan sinar matahari di sini. Terlalu silau. Pernah sekali kacamata itu ketinggalan, aku langsung minum panadol extra begitu pulang ke flat. Tiba-tiba angin dingin bertiup. Ku hentikan langkah sejenak karena takut rokku terangkat. Beberapa hari ini cukup dingin. Meskipun matahari begitu terik namun tidak dapat melawan dinginnya udara. Dua meter di depanku adalah gedung pemerintahan. Artinya aku masih harus berjalan 20 menit lagi untuk sampai di Ayasofia Eczane, tempat internship-ku. Aku memakai jaket, tak lupa menutup resletingnya dengan benar. Yah, sekarang aku selalu memakai jaket dengan benar seperti itu. Ini gara-gara Faisal yang dulu suka cerewet bukan main kalau aku tidak memakai jaket dengan benar.

Sekitar 10 menit berjalan, kakiku rasanya membeku. Kulihat tulisan berjalan di sudut kios, biasanya menunjukkan suhu, bergantian dengan beberapa tulisan lainnya. Dua puluh enam derajat celcius. Oh, yang benar saja. Kemarin dua puluh sembilan. Berarti suhu semakin turun. Ini sudah seperti di Malang atau Pacet. Kunaikkan kerah jaketku. Sekarang nafasku terengah-engah dan dingin. Aku melintasi halaman Istanbul Universitesi di mana burung-burung merpati hitam berkumpul mematuki makanan di tanah. Orang-orang, baik turis maupun penduduk lokal tak ada satupun yang terlihat kedinginan. Hanya aku.

“The weather is good. It’s not hot and not cold. It’s perfect..” kata Canan, homemate-ku, kemarin sore kami pergi ke Fatih Bazaar.

Batinku, perfect apaan? Gueh udah merinding kedinginan gini.

Aku terus menyusuri jalanan yang semakin ramai. Stasiun tramvay Beyazit sudah kulewati. Berarti tinggal melalui stasiun Cemberlitas dan Sultanahmed. Eczane-ku terletak tepat di samping stasiun tramvay Sultanahmed. Aku suka tiga kawasan ini. Beyazit yang selalu sibuk karena di sana ada Grand Bazaar, salah satu pasar terbesar di dunia. Cemberlitas yang di sana ada makam Sultan Mahmud II dan Burnt Column. Sultanahmed, tempat Blue Mosque dan Hagia Sophia yang terkenal di seluruh dunia. Di sepanjang jalan tiga kawasan itu, aku selalu mengawasi kurs dollar di setiap Change Office yang aku lewati. Pernah beberapa waktu yang lalu kurs dollar turun. Aku langsung menukarkan semua dollar-ku ke lira. Aku juga selalu membawa kabar tentang kurs setiap hari untuk roommate-ku, Tisa. Begitu kursnya menguntungkan, dia langsung menitipkan dollar atau euro-nya kepadaku untuk ditukar ke lira.

Tak terasa akhirnya aku sampai juga di Ayasofia Eczane. Tempat yang berkali-kali aku kunjungi dan meskipun aku sering bosan berada di sana, aku tetap saja senang kalau berhasil mencapai tempat itu. Mungkin karena perjalanan yang aku tempuh cukup jauh, hampir 40 menit jalan kaki setiap pagi. Di Surabaya mana pernah aku jalan kaki sejauh ini. Praktikum di FK saja naik motor. Ke Indomaret depan gang saja naik motor.

Günaydın!” sapaku begitu memasuki Eczane.

“Günaydın!” jawab Mehmet sambil mengangkat tangan dan tersenyum. Eczane masih lenggang. Staff yang lain masih nge-cay di ruang belakang. Cay, atau teh adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari negara dan rakyat di sini. Dari pagi-siang-malam, cay tak pernah dilupakan. Aku jadi ikut ketagihan cay selama tinggal di sini.

Lagi-lagi aku mendengar seseorang bilang, “the weather is good.”

Kulirik termometer ruangan di rak kosmetik. Dua puluh enam derajat celcius. Termometer itu letaknya hanya beberapa langkah dari pintu. Mungkin yang terukur suhu di luar, pikirku. Rasanya di dalam Eczane ini lebih hangat. Beberapa saat kemudian ramalan cuaca menyiarkan suhu di Istanbul akan mencapai dua puluh tiga derajat celcius, dan akan turun hujan. Aku berbalik ke arah pintu. Masih terang-benderang. Masa’ kayak gini bakal hujan? Mungkin ramalan cuacanya salah.

Menjelang siang, Merve yang sedang menata rak produk sabun memanggilku dan menunjuk keluar.

Hujan!

Dan masih tetap terik!

Ah, aku lupa. Hujan di Istanbul yang kulihat selalu seperti ini. Minggu lalu waktu pergi ke Eminonü dengan Tisa dan Meri, hujannya juga sejenis ini.

“Hujannya nggak akan lama dan nggak akan deras.” kata Meri waktu itu. Dan benar saja. Tidak sampai 15 menit, hujannya sudah pergi.

Kulihat turis-turis berlarian dari stasiun tramvay. Tangannya di atas kepala menghalau hujan.

“I like rain! C’mon, we can play in the rain!” aku terngiang-ngiang suara Amr saat kami berada di minibus dalam perjalanan ke Izmir dua minggu lalu. Saat itu hujan deras sekali dan kami hanya pasrah memandanginya lewat kaca minibus yang buram oleh air hujan.

“Yeah, I like playing with the raindrops!” sahutku bersemangat sambil memutar badan menghadap Amr.

Aku setengah ngelamun memandangi hujan. Menunggu kapan berhentinya. Karena bosan, aku kembali ke belakang counter. Kembali memperhatikan Abdullah, Mehmet dan Aliona beraksi melayani customer-customer yang kebanyakan turis itu. Kembali aku bosan. Kembali aku ke kursi di depan counter, tempat para customer biasa menunggu. Kembali aku bosan. Lalu aku mencari kegiatan lainnya. Begitulah setiap hari di Eczane ini. Bisa membantu melayani satu atau dua customer saja sudah senang sekali rasanya.

Tapi ada hal yang selalu kutancapkan dalam pikiran : cara berpikir Aliona dalam memutuskan obat. Ia salah satu Apoteker yang bertanggung jawab di sini. Walaupun kebanyakan aku kurang setuju dan kurang bisa mengerti kenapa dia memutuskan obat ini dan obat itu, aku tetap saja menyimaknya. Harus menyimaknya. Karena ini adalah terakhir kalinya aku bisa melakukan itu.

Esok aku sudah tak di sini lagi.

“When will your flight?” tanya Mr. Sedat sambil memegang cangkir cay-nya.

“Saturday, at 00.40, so I will go to airport on Friday night.” jawabku.

Ini semua seperti mimpi. Rasanya baru kemarin aku terbang ke tempat ini. Bertemu Vildan di airport dan kami naik kereta metro subway ke flatnya. Jet lag-nya sudah hilang, tetapi aku masih ingat sensasinya. Rasanya baru kemarin juga aku berbicara dengan Biljana, gadis Serbia yang menjadi partnerku di Eczane ini. Minggu lalu dia sudah kembali ke negaranya. Bahasa inggrisku sudah membaik, tetapi aku masih menertawakan diri kalau ingat betapa pendiamnya aku saat minggu pertama di sini. Sekarang sudah minggu keempat. Hampir dua puluh sembilan hari.

Dua puluh sembilan hari yang seperti mimpi, dan menjadi momen terwujudnya mimpi.

Aku terkadang masih tak percaya telah tiba di sini. Aku masih memandangi Blue Mosque dengan takjub meskipun sudah berkali-kali sholat di sana. Aku masih membawa kamera kemanapun aku pergi karena aku siap menemukan hal baru setiap hari.

Dan kini aku harus mengemasi lagi barang-barangku.

“Someday if you come back to Istanbul, we can spend time together, okay? We can eat and drink together.” kata Mr. Sedat ketika aku berpamitan. Ah, pharmacist-ku itu selalu baik dan ramah.

Aku mengangguk sambil mengulang-ulang ‘of course’ dan ‘definitely I will’. Hujan gerimis di luar sudah berhenti, dan kini berpindah tempat ke hatiku. Aku melangkah keluar Eczane untuk terakhir kali. Aku menyebrangi jalur tramvay dan mengeluarkan kamera. Mengambil gambar Ayasofia Eczane di antara keramaian Sultanahmed.

Daerah Sultanahmed tak pernah sepi, namun aku berharap masih ada tempat untuk aku menaruh hati padanya.

Ku pandangi lekat-lekat situs-situs bersejarah di sekitar sana. Ku ucapkan selamat tinggal.

Ketika kembali ke Fatih, aku tau aku akan merindukan semua ini. Merindukan Biljana, Chen, Amr, Ammar, Doaa, Vladan, Husna, Vildan, dan kawan-kawan lain yang kutemukan di kota ini. Merindukan Blue Mosque. Merindukan simit dan acma. Merindukan cahaya matahari yang menyilaukan. Merindukan Cosmo City. Merindukan Burak Apartment. Merindukan tramvay dan bus.

Merindukan Istanbul.

Rasa rindu itu berbaur dengan rasa syukur tak terkira.

Sekali lagi kulirik tulisan berjalan di sudut kios. Dua puluh tiga derajat celcius. Musim gugur dimulai. Dan perjalananku berakhir. Aku berjanji ini hanya sementara, lain waktu aku akan melanjutkannya lagi. Dunia masih terlalu luas untuk dijelajahi.

Güle güle, Istanbul. Tessekür ederim. Kau kini jadi kepingan hidupku yang berharga.


Read More
      edit