Sunday, September 29, 2013

Published 9:35 PM by with 0 comment

Angan si Macan




“Nanti kalau punya anak, anak-anak kita harus berteman ya.”

“Iya, mereka membentuk regu macan junior.”

Dan kami tertawa keras, meramaikan suatu sudut restoran cepat saji. Jadi ceritanya kami sudah jenuh mengerjakan bab demi bab makalah PBL yang harus dikumpulkan hari selasa besok. Tiba-tiba khayalan tentang masa depan menjadi lucu sekali untuk dibicarakan.

“Nanti anak kita sepantaran semua yaa. Trus kita tinggal di satu kompleks perumahan. Rumahnya di blok M. Rumah nomor 1 punya Dani, nomor 2 punya Novita, nomor 3 punya Dita, nomor 4 punya Chyntia, dan seterusnya.”

Sekalian aja pesen rumahnya sekarang, biar dibangun berjajar sekompleks.

“Anak-anaknya nanti komposisinya sama kayak kita. Anaknya Dani cowok, anaknya Novita, Dita, dan lainnya cewek. Sekolah di sekolah yang sama, berangkat bareng-bareng.”

“Kuliahnya di Farmasi juga! Sekelompok juga! Ada tragedi kelinci mati juga!”

“Yang memimpin pembunuhan kelinci nanti anaknya Chyntia.”

“Astagfirullah -___-“

“Sejarah berulang dong yaa.”

Memang bisa seperti itu? Hahaha, lihat saja nanti. Wallahu ‘alam... :>

Anyway, kenapa masa depan yang dibayangin itu tentang ‘punya anak’? Dasar random -.-‘’
Read More
      edit
Published 1:50 PM by with 0 comment

Last Day in Istanbul (Late Post)



Jalanan di Fatih sudah ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan cepat. Kulirik jam di handphone yang kupegang. Sudah hampir pukul 10. Ah, pantas saja. Rata-rata jam kerja dimulai pukul 9 atau 10 pagi di sini. Aku melangkah di trotoar, berebut langkah dengan bule-bule yang selalu berjalan cepat. Abang penjual simit di pertigaan meriuhkan suasana dengan berteriak “bir lira, bir lira!”. “Satu lira, satu lira” yang merujuk pada harga roti simit, acma dan kawan-kawannya. Kalau saja belum sarapan, aku pasti sudah menghampirinya untuk membeli satu acma dan satu lagi jenis roti renyah yang aku lupa namanya. Tapi pagi ini aku sudah cukup bertenaga dengan dua bungkus energen yang diseduh dalam satu cangkir – ini terinspirasi dari Harris, teman semasa KKN yang kalau lapar bikin energen dua bungkus, dan memang mengenyangkan.

Matahari sepenggalah naik di belakangku, namun cahayanya sudah cukup menyilaukan mata. Aku pun menurunkan kacamata hitam yang selalu standby di atas kepala, sebuah kebiasaan baru sebulan terakhir karena mataku tidak pernah tahan dengan sinar matahari di sini. Terlalu silau. Pernah sekali kacamata itu ketinggalan, aku langsung minum panadol extra begitu pulang ke flat. Tiba-tiba angin dingin bertiup. Ku hentikan langkah sejenak karena takut rokku terangkat. Beberapa hari ini cukup dingin. Meskipun matahari begitu terik namun tidak dapat melawan dinginnya udara. Dua meter di depanku adalah gedung pemerintahan. Artinya aku masih harus berjalan 20 menit lagi untuk sampai di Ayasofia Eczane, tempat internship-ku. Aku memakai jaket, tak lupa menutup resletingnya dengan benar. Yah, sekarang aku selalu memakai jaket dengan benar seperti itu. Ini gara-gara Faisal yang dulu suka cerewet bukan main kalau aku tidak memakai jaket dengan benar.

Sekitar 10 menit berjalan, kakiku rasanya membeku. Kulihat tulisan berjalan di sudut kios, biasanya menunjukkan suhu, bergantian dengan beberapa tulisan lainnya. Dua puluh enam derajat celcius. Oh, yang benar saja. Kemarin dua puluh sembilan. Berarti suhu semakin turun. Ini sudah seperti di Malang atau Pacet. Kunaikkan kerah jaketku. Sekarang nafasku terengah-engah dan dingin. Aku melintasi halaman Istanbul Universitesi di mana burung-burung merpati hitam berkumpul mematuki makanan di tanah. Orang-orang, baik turis maupun penduduk lokal tak ada satupun yang terlihat kedinginan. Hanya aku.

“The weather is good. It’s not hot and not cold. It’s perfect..” kata Canan, homemate-ku, kemarin sore kami pergi ke Fatih Bazaar.

Batinku, perfect apaan? Gueh udah merinding kedinginan gini.

Aku terus menyusuri jalanan yang semakin ramai. Stasiun tramvay Beyazit sudah kulewati. Berarti tinggal melalui stasiun Cemberlitas dan Sultanahmed. Eczane-ku terletak tepat di samping stasiun tramvay Sultanahmed. Aku suka tiga kawasan ini. Beyazit yang selalu sibuk karena di sana ada Grand Bazaar, salah satu pasar terbesar di dunia. Cemberlitas yang di sana ada makam Sultan Mahmud II dan Burnt Column. Sultanahmed, tempat Blue Mosque dan Hagia Sophia yang terkenal di seluruh dunia. Di sepanjang jalan tiga kawasan itu, aku selalu mengawasi kurs dollar di setiap Change Office yang aku lewati. Pernah beberapa waktu yang lalu kurs dollar turun. Aku langsung menukarkan semua dollar-ku ke lira. Aku juga selalu membawa kabar tentang kurs setiap hari untuk roommate-ku, Tisa. Begitu kursnya menguntungkan, dia langsung menitipkan dollar atau euro-nya kepadaku untuk ditukar ke lira.

Tak terasa akhirnya aku sampai juga di Ayasofia Eczane. Tempat yang berkali-kali aku kunjungi dan meskipun aku sering bosan berada di sana, aku tetap saja senang kalau berhasil mencapai tempat itu. Mungkin karena perjalanan yang aku tempuh cukup jauh, hampir 40 menit jalan kaki setiap pagi. Di Surabaya mana pernah aku jalan kaki sejauh ini. Praktikum di FK saja naik motor. Ke Indomaret depan gang saja naik motor.

Günaydın!” sapaku begitu memasuki Eczane.

“Günaydın!” jawab Mehmet sambil mengangkat tangan dan tersenyum. Eczane masih lenggang. Staff yang lain masih nge-cay di ruang belakang. Cay, atau teh adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari negara dan rakyat di sini. Dari pagi-siang-malam, cay tak pernah dilupakan. Aku jadi ikut ketagihan cay selama tinggal di sini.

Lagi-lagi aku mendengar seseorang bilang, “the weather is good.”

Kulirik termometer ruangan di rak kosmetik. Dua puluh enam derajat celcius. Termometer itu letaknya hanya beberapa langkah dari pintu. Mungkin yang terukur suhu di luar, pikirku. Rasanya di dalam Eczane ini lebih hangat. Beberapa saat kemudian ramalan cuaca menyiarkan suhu di Istanbul akan mencapai dua puluh tiga derajat celcius, dan akan turun hujan. Aku berbalik ke arah pintu. Masih terang-benderang. Masa’ kayak gini bakal hujan? Mungkin ramalan cuacanya salah.

Menjelang siang, Merve yang sedang menata rak produk sabun memanggilku dan menunjuk keluar.

Hujan!

Dan masih tetap terik!

Ah, aku lupa. Hujan di Istanbul yang kulihat selalu seperti ini. Minggu lalu waktu pergi ke Eminonü dengan Tisa dan Meri, hujannya juga sejenis ini.

“Hujannya nggak akan lama dan nggak akan deras.” kata Meri waktu itu. Dan benar saja. Tidak sampai 15 menit, hujannya sudah pergi.

Kulihat turis-turis berlarian dari stasiun tramvay. Tangannya di atas kepala menghalau hujan.

“I like rain! C’mon, we can play in the rain!” aku terngiang-ngiang suara Amr saat kami berada di minibus dalam perjalanan ke Izmir dua minggu lalu. Saat itu hujan deras sekali dan kami hanya pasrah memandanginya lewat kaca minibus yang buram oleh air hujan.

“Yeah, I like playing with the raindrops!” sahutku bersemangat sambil memutar badan menghadap Amr.

Aku setengah ngelamun memandangi hujan. Menunggu kapan berhentinya. Karena bosan, aku kembali ke belakang counter. Kembali memperhatikan Abdullah, Mehmet dan Aliona beraksi melayani customer-customer yang kebanyakan turis itu. Kembali aku bosan. Kembali aku ke kursi di depan counter, tempat para customer biasa menunggu. Kembali aku bosan. Lalu aku mencari kegiatan lainnya. Begitulah setiap hari di Eczane ini. Bisa membantu melayani satu atau dua customer saja sudah senang sekali rasanya.

Tapi ada hal yang selalu kutancapkan dalam pikiran : cara berpikir Aliona dalam memutuskan obat. Ia salah satu Apoteker yang bertanggung jawab di sini. Walaupun kebanyakan aku kurang setuju dan kurang bisa mengerti kenapa dia memutuskan obat ini dan obat itu, aku tetap saja menyimaknya. Harus menyimaknya. Karena ini adalah terakhir kalinya aku bisa melakukan itu.

Esok aku sudah tak di sini lagi.

“When will your flight?” tanya Mr. Sedat sambil memegang cangkir cay-nya.

“Saturday, at 00.40, so I will go to airport on Friday night.” jawabku.

Ini semua seperti mimpi. Rasanya baru kemarin aku terbang ke tempat ini. Bertemu Vildan di airport dan kami naik kereta metro subway ke flatnya. Jet lag-nya sudah hilang, tetapi aku masih ingat sensasinya. Rasanya baru kemarin juga aku berbicara dengan Biljana, gadis Serbia yang menjadi partnerku di Eczane ini. Minggu lalu dia sudah kembali ke negaranya. Bahasa inggrisku sudah membaik, tetapi aku masih menertawakan diri kalau ingat betapa pendiamnya aku saat minggu pertama di sini. Sekarang sudah minggu keempat. Hampir dua puluh sembilan hari.

Dua puluh sembilan hari yang seperti mimpi, dan menjadi momen terwujudnya mimpi.

Aku terkadang masih tak percaya telah tiba di sini. Aku masih memandangi Blue Mosque dengan takjub meskipun sudah berkali-kali sholat di sana. Aku masih membawa kamera kemanapun aku pergi karena aku siap menemukan hal baru setiap hari.

Dan kini aku harus mengemasi lagi barang-barangku.

“Someday if you come back to Istanbul, we can spend time together, okay? We can eat and drink together.” kata Mr. Sedat ketika aku berpamitan. Ah, pharmacist-ku itu selalu baik dan ramah.

Aku mengangguk sambil mengulang-ulang ‘of course’ dan ‘definitely I will’. Hujan gerimis di luar sudah berhenti, dan kini berpindah tempat ke hatiku. Aku melangkah keluar Eczane untuk terakhir kali. Aku menyebrangi jalur tramvay dan mengeluarkan kamera. Mengambil gambar Ayasofia Eczane di antara keramaian Sultanahmed.

Daerah Sultanahmed tak pernah sepi, namun aku berharap masih ada tempat untuk aku menaruh hati padanya.

Ku pandangi lekat-lekat situs-situs bersejarah di sekitar sana. Ku ucapkan selamat tinggal.

Ketika kembali ke Fatih, aku tau aku akan merindukan semua ini. Merindukan Biljana, Chen, Amr, Ammar, Doaa, Vladan, Husna, Vildan, dan kawan-kawan lain yang kutemukan di kota ini. Merindukan Blue Mosque. Merindukan simit dan acma. Merindukan cahaya matahari yang menyilaukan. Merindukan Cosmo City. Merindukan Burak Apartment. Merindukan tramvay dan bus.

Merindukan Istanbul.

Rasa rindu itu berbaur dengan rasa syukur tak terkira.

Sekali lagi kulirik tulisan berjalan di sudut kios. Dua puluh tiga derajat celcius. Musim gugur dimulai. Dan perjalananku berakhir. Aku berjanji ini hanya sementara, lain waktu aku akan melanjutkannya lagi. Dunia masih terlalu luas untuk dijelajahi.

Güle güle, Istanbul. Tessekür ederim. Kau kini jadi kepingan hidupku yang berharga.


Read More
      edit

Monday, September 16, 2013

Published 11:58 PM by with 0 comment

Balada Hilang

Jika boleh diakui, hati sudah menangis sejadi-jadinya. Teriris ribuan kali oleh rasa yang sama. Seakan tak belajar dari pengalaman, hingga segalanya menjadi seperti ini, menyisakan banyak tanya yang semakin menyesakkan dada.

Kau tau, jika boleh mengulang waktu, aku tak akan segan mencegah hati untuk memunggungi. Tak perlu memulai kisah. Tak perlu terpukau oleh kondisi. Aku bukannya menyesali kebahagiaan yang pernah terjadi, melainkan hanya menyesal karena terlalu larut dan tidak bisa menghalau diri untuk menjauh.

Kau tak pernah tau, betapa besarnya keberanian yang aku coba lepaskan saat itu. Betapa aku rela menomorduakan egoku hanya untuk membuka mataku, menatapmu. Aku sebenarnya takut. Sangat takut. Tapi aku begitu menghargaimu, mencoba melihatmu dari sisi yang membuatku tersenyum. Kalaupun aku ceritakan, kau tidak akan mengerti betapa takutnya aku.

Jika boleh diakui, aku sebenarnya tau bahwa aku akan meretakkan hati. Memaksanya mengambil resiko yang paling sukar dihadapinya : merasakan kehilangan. Membuatnya semakin lemah, bukan semakin kuat. Jika kau ingin tau, inilah mengapa aku membangun dinding yang mengurungku dari segala sisi, agar hati tak perlu menderita lagi untuk kesekian kalinya.


Di titik ini, sekali lagi, Allah mengajarkanku untuk sabar. Sabar atas takdirnya. Sabar atas apa yang akan Ia berikan selanjutnya. Sabar dan jangan takut. Hadapi dulu sekuat hati.

Aku akan sabar. Jika nanti keadaan sudah lebih baik, aku yakin hati akan sembuh seperti sedia kala - tersembuhkan oleh sabar.
Read More
      edit

Sunday, September 1, 2013

Published 4:35 PM by with 0 comment

Renungan di Rantau

ISTANBUL DAY #22

Sebuah perantauan ke negeri orang selalu mengajarkan banyak hal. Tak hanya belajar tentang kefarmasian, di sini aku merasa dekat dengan Islam karena menyaksikan dengan mata kepala sendiri peninggalan kejayaan Islam di masa lalu. Hagia Sophia, Blue Mosque, Topkapi Palace, Panorama Museum, dan dinding benteng setinggi ratusan meter mengisahkan segala tentang Sultan Ahmed dan perjuangannya merebut Istanbul. Ketika aku memahami sejarah itu, aku semakin mencintai agamaku.

Dan satu lagi, aku belajar sesuatu yang berharga - sesuatu yang baru aku mengerti setelah 20 tahun hidup di Indonesia. Sesuatu yang awalnya aku anggap tak perlu dihiraukan tetapi beberapa waktu kemudian menggelegak ingin dihiraukan. Sesuatu yang benar-benar aku sadari ketika aku rindu tanah airku dan pertama kalinya aku menitikkan air mata ketika menyanyikan lagu ini...

Tanah airku tidak ku lupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai, engkau kuhargai

Mungkin ini yang disebut nasionalisme. Dan aku baru mempelajarinya ketika aku jauh dari negeriku.

Dua puluh tahun aku tinggal di Indonesia. Berbagai keluhan tentang carut-marut negeri itu kudengar setiap hari. Aku hampir saja membencinya.

Lalu aku meninggalkannya selama satu bulan. Aku selalu bisa menceritakan kepada mereka dengan bangga : negeriku sangat luas, memiliki ribuan pulau, ratusan juta penduduk, dan aku dilahirkan di sana. Dan mereka takjub dengannya.

Kini aku tak akan pernah berpikir untuk membencinya. Aku mencintainya.
Read More
      edit