Tuesday, December 30, 2014

Published 11:48 PM by with 0 comment

Is it still my day?


Matahari beranjak naik. Aku hanya menatap bias sinarnya dari balik kaca jendela, belum sanggup beranjak dari tempat tidur. Kepalaku terasa berat ketika diangkat. Mungkin pusat gravitasi sedang berpindah di dalamnya. Jika kupaksakan bangkit, pandanganku berputar. Beginilah kalau tekanan darah sering jauh di bawah normal. Aku berbaring lagi dengan pasrah. Tidur lagi enak kali ya.

Jadwalku hari ini adalah ke kampus untuk berdiskusi masalah leaflet penyuluhan dengan preseptor, ke masjid untuk memenuhi janji bertemu beberapa orang, kemudian ke apotek untuk jaga shift malam.

Kuraih gadget yang berteriak nyaring subuh tadi. Sepertinya ia frustasi karena tidak dihiraukan pemiliknya yang masih geletakan. Ada beberapa pesan masuk. Ketika membacanya, kepalaku berasa runtuh. Takut dan khawatir menyergapku sepagi itu. Seseorang di seberang sana mengabarkan bahwa gejala sakitnya semakin parah. Kubenamkan wajahku ke bantal sambil mengucap istighfar. Astagfirullahaladzim. Innalillah. Aku ingin menangis dan mulai membayangkan yang tidak-tidak. Malah si objek yang dikhawatirkan ini yang menenangkan.

“Sudah, gapapa. Insyaallah gapapa.” begitu katanya.

Yang sakit siapa sih sebenarnya?

Usaha assessment-ku terus ditanggapinya dengan “sudah, gapapa”, membuat skill dalam pelayanan kefarmasian ini tidak ada artinya.

Setelah akhirnya bangkit, aku menyadari harus bergegas berangkat ke kampus. Bisa ruwet ceritanya kalau batal ketemu pak preseptor hari ini. Sekitar 45 menit kemudian aku sudah di ruang dekanat kampus dan... beliau sedang rapat. Aku berdiri di depan pintu ruangan sambil menghela napas. Nyeri kepala masih membekas, sekarang diikuti pegal-pegal seluruh tubuh, pertanda kualitas hidup menurun. Baiklah, aku bisa menunggu.

Sepuluh menit. Dua puluh menit. Kulirik jam berkali-kali. Ah sudahlah, aku menyerah. Toh tidak pasti juga harus menunggu beliau sampai jam berapa. Aku bergegas ke masjid. Selama perjalanan tak henti aku berdoa dan mencemaskan orang yang sama sejak bangun pagi tadi.

Ternyata masjid yang kutuju sepi sekali. Saat itu jam sepuluh pagi. Di tempat sholat wanita tidak ada orang. Well, sepertinya harus menunggu lagi.

Kira-kira setengah jam kemudian, sekelompok anak yang aku rindukan sudah berkumpul. Hanya satu orang teman yang belum datang. Aku mulai cemberut. Cukup sudah aktifitas menunggu hari ini.

Kami melakukan rutinitas seperti biasa. Setoran hafalanku kacau. Malu rasanya hafalan satu surat selama satu bulan belum selesai. Memang akhir-akhir ini aku malas las las, ngalah-ngalahin kerbau lagi cuti hamil. Maunya tidur mulu di kandang.

Aku tertunduk lesu.

Is it still my day, Allah? Will I have something worse today?

Tiba-tiba teman yang terlambat datang dengan tergopoh-gopoh. Karena agak jengkel, aku tidak antusias menyambutnya.

“Maaf, tadi ayahnya teman sekuliahanku meninggal. Temanku nggak bisa pulang karena rumahnya jauh sekali dari Surabaya. Aku harus menghiburnya dulu.”

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Aku menunduk memejamkan mata, rasanya malu memandangi diri yang kurang sabar ini. Dari tadi aku mengeluh karena menunggu tanpa mau memahami keadaan orang lain. Allah sedang mengingatkanku.

Ba’da sholat dhuhur, sambil melepas mukena kudengar kajian rutin dari ustadz. Sudah tradisi di masjid ini setelah sholat berjamaah ada kajian selama beberapa menit. Biasanya anak-anak SMA meramaikan masjid di saat seperti ini, keliatannya sih bagus dengerin kajian, padahal niatnya wifi-an gratis. Hahaha, pengalaman pribadi nih. Topik kajiannya waktu itu adalah “Apakah Anda sudah berprestasi?”

Aku merengut tersindir mendengarnya. Jangankan berprestasi, Tad. Portofolio aja numpuk dua minggu, bussiness plan baru bab satu. Ampun dah. Kemudian beliau menceritakan tentang pemimpin-pemimpin yang disegani karena berprestasi. Contohnya Erdogan, presiden Turki ini selama masa kepemimpinannya sudah memperbaiki perekonomian negaranya secara signifikan. Rakyatnya makmur sejahtera. Selain itu dia memperhatikan sektor pariwisata, membuat jumlah kunjungan turis ke Turki meningkat sekian kali lipat. Ia membentuk kekuatan yang membuat dunia segan kepadanya.

Baiklah, sepertinya Allah menyindir ketidakproduktifanku dalam mengerjakan tugas-tugas PKP. Saya mengerti, Ya Allah. Nanti saya usahakan tidak malas lagi. Nanti? Astagfirullah, pancet ae.

Lalu kembali lagi ke kampus. Sudah kayak setrikaan ini bolak-balik mulu. Cak Sur heran melihat aku yang sudah tiga kali lewat di depannya dalam kurun waktu beberapa jam. Aku hanya meringis. Ketika masuk ruang dekanat, aku kecewa lagi karena pak preseptor tidak ada. Katanya ke kantor pusat.

Saat aku akan bertanya ke mbak sekretaris dekanat, samar-samar kudengar suara Bu Is dari ruangannya. Ah, tiba-tiba aku kangen. Sudah lama tidak ngobrol dengan beliau.

“Ehmm... mbak, Bu Is lagi sibuk ndak ya?” tadinya aku mau tanya kapan preseptorku balik.

“Nggak. Silakan.”

Aku berputar balik. Sudah tinggal dua langkah lagi untuk sampai ke ruangan Bu Is, tapi aku ragu dan belok kanan ke ruang tunggu. Memang ada hal khusus yang ingin aku diskusikan dengan beliau, tapi hmmm... entahlah.

Ke Bu Is... enggak... ke Bu Is... enggak. Ah, daripada bengong di ruang tunggu, ya sudahlah ke Bu Is. Dengan langkah tegap aku memasuki ruangan beliau. Selanjutnya aku ngobrol sambil cengengesan dengan ibu dosen yang banyak berperan dalam kehidupan S-1 ku ini.

“Ini lho, nak, ada program double degree di sini (Fakultas Farmasi Unair. red),” kata Bu Is sambil menyodorkan brosur. Kemudian beliau menjelaskan banyak hal tentang program tersebut.

Aku mengangguk-angguk antusias.

“Bu, sebenarnya saya punya pilihan sendiri...” aku menjelaskan jurusan dan universitas tujuanku.

“Bagus itu. Kalau memang mau, segera diurusin. Kapan apply-nya?”

“Deadline Juli 2015, Bu.”

“Ya sudah. Diusahakan ya. Terserah mau yang mana. Semoga sukses.”

Hatiku berbunga-bunga, malah mungkin berbuah sebentar lagi. Satu lagi cara Allah menyemangatiku. Alhamdulillah.

Usai urusan dengan preseptor, aku pulang ke rumah. Dua jam lagi waktunya jaga apotek.

Emosiku bercampur aduk. Bahagia, khawatir, takut. Tubuhku masih meronta-ronta merasakan nyeri, terlebih kepala, namun tak kuhiraukan.

Aku tak sabar menceritakan banyak hal pada objek yang kukhawatirkan sepanjang hari ini. Ah, cepatlah sembuh. Semoga kau sungguh tidak apa-apa.

Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah atas segalanya. Ampuni hamba-Mu yang sering lalai ini. Dan berikan kesembuhan padanya, Ya Allah. Aku mohon.
Read More
      edit

Friday, December 19, 2014

Published 11:35 AM by with 0 comment

Macam-Macam Pasien



Selama menjalani praktek kerja profesi di puskesmas, apotek, dan magang  di klinik, sudah banyak pasien yang saya hadapi. Namanya juga sedang belajar, jadi waktu melayani kadang benar, kadang setengah benar – pokoknya nggak fatal-fatal amat lah ya. Haha. Dulu kalau habis jaga klinik pas jaman-jaman S1, waktu perjalanan pulang saya selalu berdoa, Ya Allah, selamatkanlah pasien-pasien tadi. Kalau saya salah menyampaikan informasi, tolong beri tau yang benar pada mereka sebelum terjadi sesuatu.

Dan melalui pengalaman pelayanan itu, saya menemukan bermacam-macam pasien. Berikut contohnya.

Pasien standar
Di klinik...
C : Bu, ini obatnya ada tiga. Ini namanya X, gunanya untuk menurunkan tekanan darah. Diminum tiga puluh menit sebelum makan bla bla bla bla bla......
P : Oh iya iya.
C : Ada yang kurang jelas, Bu?
P : Nggak, sudah.
C : ada obat lain yang diminum di rumah, Bu?
P : Nggak. (padahal ada, tapi males mengingat-ingat)
C : Ya sudah. Obatnya diminum teratur. Dikurangi makan yang asin-asin. Jangan lupa kontrol kembali tanggal sekian ya, Bu... (kemudian closing)
P : makasih ya, mbak.
C : sama-sama.(cukup senang karena konselingnya lengkap)

Pasien cuek
Di puskesmas...
C : Bu, ini obatnya ada tiga. Ini namanya X, gunanya untuk menurunkan tekanan darah. Diminum tiga puluh menit sebelum makan bla bla bla bla bla......
P : Hm.
C : Ada yang kurang jelas, Bu?
P : (menggeleng, lalu meraih obat, buru-buru memasukkan ke kantong) makasih, mbak.
C : (lemes) terima kasih, Bu. Semoga cepat membaik. (merasa kena karma, kebanyakan nyuekin orang)

Pasien tanggap
Di klinik...
C : Bu, ini obatnya ada tiga.
P : Lho kok tiga? Biasanya dua.
C : (melihat rekam medik) oh iya biasanya dua. Sekarang dikasih tiga. Ini yang dua obat untuk menurunkan tekanan darah, jadi dikombinasi, Bu, untuk meningkatkan efeknya.
P : Oh gitu ya, mbak.
C : Iya, karena ibu tekanan darahnya belum normal ketika diberi satu macam obat saja. Makanya ini nanti diminum yang teratur bla bla bla bla bla.
P : Oh ya ya ya ya ya. (banyak amat ‘ya’ nya)
C : Ada yang kurang jelas, Bu?
P : Trus saya kembali ke sini waktu obatnya habis ya?
C : Kalau bisa sebelum obatnya benar-benar habis, Bu.
P : Oh ya ya ya ya ya. Makasih ya, mbaaaaak.
C : Iya Bu, sama-sama. Semoga cepat membaik.

Pasien bandel
Di klinik...
C : (lihat rekam medik) Pak, gula darahnya jelek lho, Pak. Minggu kemarin sudah turun, kok sekarang naik lagi? Bapak makannya nggak dijaga ya?
P : Hehehe, ya gimana ya mbak. Akhir-akhir ini saya suka ditraktir minum es sama teman saya.
C : (melototin paknya) Selain itu suka makan apa lagi, Pak?
P : Apa ya, kayaknya memang banyak makan nih mbak saya. Hehehe.
C : Trus tadi dokternya bilang apa?
P : Yaa hati-hati makannya, jangan yang manis-manis. Sama olahraga teratur.
C : Obatnya yang kemarin sudah habis?
P : Hmm, sudah.
C : Sudah apa sudah?
P : Hehe, masih ada sih mbak, saya malas minum obat.
C : (Ngasih ceramah ke paknya) Dihabiskan lho ya, Pak, obatnya! Diminum yang teratur. Minum es boleh, tapi yang nggak manis. Oke, Pak? Minggu depan kontrol lagi, gula darahnya harus sudah turun!

Pasien urgent
Di apotek...
P : Mbak, obat diare, mbak!!
C : (lagi asik nonton Aisyah Putri) Eeeh, iya, Bu. (mengambil beberapa produk obat diare) Kenapa diarenya? Sudah berapa kali buang air besar?
P : Masuk angin kayaknya. Haduh mules nih, mbak.
C : (panik) Nih, Bu. Yang ini saja. Segera diminum dua tablet, Bu.
P : Makasih, mbak. Saya pulang dulu, sudah nggak tahan. (berlari pulang, rumahnya dekat apotek)
C : (bengong)

Pasien sotoy
Di apotek...
P : mbak, saya butuh obat batuk.
C : (lagi makan stik bawang) Berdahak atau tidak, Pak? Krauk krauk.
P : Berdahak, tenggorokan saya gatal.
C : Krauk krauk (masih makan sambil mengambil satu produk obat batuk) ini sepertinya cocok, Pak.
P : Nah iya ini maksud saya!
C : (maksud saya apaan, Pak?)
P : Ehmm, sama itu, mbak, antibiotik X.
C : KRAUUK (sebal sekali sama orang yang minta antibiotik seenaknya) memangnya Bapak batuknya sudah berapa lama?
P : Barusan aja, mbak. Kena asap rokok ini tadi barusan.
C : Nah, kan batuknya karena alergi asap, bukan karena bakteri, jadi nggak perlu antibiotik, Pak.
P : Nggak nggak, harus antibiotik ini. Biar cepet sembuh.
C : (mendelik sambil menelan stik bawang) Tidak semua batuk perlu antibiotik, Pak. (sok galak tapi gagal)
P : Antibiotik aja lah, mbak.
C : (menghilang di balik lemari, membiarkan pegawai apotek yang menangani bapak itu, dan pada akhirnya miris melihat antibiotik diserahkan) KRAUK KRAUK KRAUK. Memang yang apoteker siapa, Pak? Yang paham obat siapa? (marah-marah sendiri).

Pasien banyak nanya
Di apotek...
P : Mbak, aku belum pernah pakai krim jerawat sebelumnya. Kira-kira alergi nggak ya mbak?
C : Gini, nanti kamu coba oleskan dulu krimnya di pergelangan tangan. Jangan dipakai di wajah dulu. Coba diliat efeknya satu hari kemudian, ada kemerahan, panas, gatal atau tidak. Kalau ada berarti alergi.
P : Oh oke, mbak. Oya, kan ada kapsul buat jerawat juga nih mbak. Saya perlu pakai juga nggak ya?
C : (menunjukkan kapsul jerawat) yang ini?
P : Iya. Di tv katanya manjur banget lho mbak.
C : Hemm, kalau kamu mau coba, silakan. Sepertinya tidak apa-apa.
P : Mbak tau gimana cara kerjanya obat ini?
C : (garuk-garuk kepala) ini termasuk jamu, cara kerjanya bagaimana belum diketahui pasti, yang sudah jelas adalah efek mengurangi jerawatnya. Nanti coba saya carikan informasi lagi, ya.
P : (terlihat bingung)
C : (sudah, please, sudah cukup. Pulang sanaaa.)

Pasien curhat
Di puskesmas...
C : Bu, sudah pernah pakai salep mata sebelumnya?
P : Belum, mbak.
C : (menjelaskan sambil memperagakan cara pakai salep mata)
P : Wah susah ya, mbak. Saya takut nggak bisa pakai di rumah. Yuk, mbak ikut saya pulang aja.
C : -__-‘’ (dalam hati : sediakan makanan yang banyak lho, Bu) Mau dicoba dulu sekarang salep matanya?
P : Nggak deh, mbak. Eh, mbak praktek di sini sampai kapan?
C : Sampai minggu depan, Bu.
P : Ooh, kurang seminggu ya. Kemarin di sekolah tempat ibu ngajar, ada mahasiswa praktek juga mbak. Kayaknya dari universitas mbak. Beda-beda jurusan gitu.
C : Hmm, mahasiswa KKN ya, Bu?
P : Iya mungkin ya. Anak-anak senang sekali sama mereka, mbak. Ibu juga senang ada yang bantu ngajar bla bla bla bla bla.
C : (angguk-angguk, senyum-senyum)
Sepuluh menit berlalu. Tiba-tiba antrian pasien sudah panjang.

Begitulah. Masih banyak jenis pasien lain. Ada yang baik, penurut, ramah. Ada juga yang susah dibilangin. Macam-macam lah ya. Semua memberikan tantangan tersendiri buat apoteker di bidang pelayanan. And somehow, rasanya senang sekali bisa bertemu dan berbicara dengan orang banyak... :)
Read More
      edit

Saturday, December 6, 2014

Published 7:52 PM by with 0 comment

jenuhku

few months to go to be real pharmacist.

Aku memang punya masalah dengan kejenuhan. Aku mudah sekali jenuh, baik dalam hal yang 'passionate me as well', dan yang tidak. Oke, aku mudah sekali impressed dengan hal-hal baru, tapi begitu sudah tidak terasa baru, aku bosan. Everythings being dull once.
Dan kegiatan PKP apotek ini jelas saja menjadi sesuatu yang membosankan dengan cepat. Baru dua hari di apotek, aku sudah mengirim emot nangis-nangis ke seseorang, bilang aku bosan. Dia mungkin geleng-geleng kepala. Dasar anak ini, maunya apa sih, ini baru dua hari, keterlaluan, mungkin begitu pikirnya.
Buruknya, ketika kejenuhan melanda, senyum akan semakin sulit dan ucapan syukur terlupakan. Astagfirullah. Segala yang dilakukan akan menjadi lebih berat kalau tidak bersyukur.
Kalau kata DR. Aidh Al Qardhi, jangan biarkan kejenuhan mengisi hari-harimu. Setiap manusia fitrohnya adalah mudah jenuh. Makanya, kita tidak bisa melakukan hal yang sama secara teruz-menerus. Harus ada sesuatu yang mengusir kejenuhan kita.
Hmm, ayo chyntia, lakukan sesuatu untuk mengusir kejenuhan kronis ini! :)
Read More
      edit

Friday, October 31, 2014

Published 3:21 PM by with 0 comment

Baca Aja (kalo mau) #random

Assalamualaikum... Kembali lagi ke acara kesayangan kita, Membaca Blog Chyntiaaaa *tepuk tangan*

Yak setelah sekian lama kita tidak berjumpa karena aksi pemblokiran blog ini dengan alasan terlalu tinggi ratingnya hingga dianggap pesaing berat liputan acara nikahannya Raffi Ahmad, akhirnya kita sudah bernapas lega setelah berhasil meloadingnya. Sebenernya saya masih heran kenapa orang-orang suka banget mantengin acara nikahannya orang di tv, yang sama sekali bukan sodara atau kerabatnya. Kenapa? Kenapa? Dan kayaknya berhasil menaikkan rating stasiun tvnya sampe selangit tuh. Yang gueh pikirin bukan acara nikahannya yang laksana nikahan putri dan pangeran jaman kerajaan kuno, tapi Mcnya yang suka nanya ke tamu undangannya, “ini desainer bajunya siapa nih?” Duh, untung bukan gueh yang ditanya begitu. Mungkin jawabannya bakalan, “ini desainernya mbak Puji, penjahit langganan mama.” Hahaha. Udah udah, jangan ngomongin itu... ngomongin nikahan aku aja *eh. Jangan ding, belum ada yang bisa diomongin *melas.

Sebenernya sejak aku yudisium, banyak yang mengira hidupku di kampus sudah berakhir. Trus mulai deh ada pertanyaan klasik, “kapan nikah?”, dan malahan ada aja yang bilang, “kapan wisuda? habis wisuda siap-siap yaa, ada yang mau ngelamar.” Aku hanya bisa bilang, “hm”. Terima kasih kawan-kawan, kalian perhatian sekali, tapi mohon lebih diperhatikan, habis yudisium saya masih ada program profesi. Belum bisa ini lepas dari kuliah-ujian-sidang, dan malah sekarang ada PKP (Praktek Kerja Profesi). Kalian nggak usah bikin aku ngerasa sudah tua gitu deh. Inget, kalian sama tuanya.

Sekarang ini aku barusan keluar dari kehidupan kuliah dan ujian profesi yang hzzz dan hrrrgh itu. Masih hidup setelah melewati itu semua aja rasanya udah alhamdulillah banget. Jadi kalau sekarang aku dengar anak S-1 mengeluh tentang kuliah, praktikum, proposal, skripsi, aku akan berkata sama seperti apa yang dikatakan mbak Gina dulu, “nikmatilah selagi kamu masih S-1, dek...” dan enggan sekali kalau ditanya, “mbak, kuliah profesi gimana?”, “mbak, kok sekarang pake kemeja terus?” Duuh...
Aku yang memang dari sononya berlabel “tukang protes” dan “banyak nanya”, nggak bisa diam di awal minggu kuliah. Ada aja yang bikin gemes. Pokoknya kalo aku jadi kudet dan kuper, salahin kuliah profesi (padahal aslinya emang gitu). Bayangkan aja deh kuliah profesi yang lumayan tidak berperikemahasiswaan ini.

Kuliahnya satu setengah bulan. Masuk hari senin-sabtu, dari jam 8 pagi sampe jam 3 sore, kadang sampe jam 5. Kalo jumat masuk jam 7 pagi. Istirahat jam 12 sampe jam 1. Jadi kami para mahasiswa profesi ini kerjaannya duduk mendengarkan – makan – sholat – bengong sebentar – duduk mendengarkan lagi – pulang. Persis kayak anak SMA full-day. Bedanya, kalo SMA istirahatnya dua kali, kalo ngantuk tinggal naruh kepala di atas meja trus ngorok, kalo males mikir tinggal nyontek temen, kalo bosen tinggal ngusilin temen. Dan yang paling penting, anak SMA kalo sabtu kan libur. Lha anak profesi? T.T Maka weekend-ku berubah menjadi week(without)end. Anak-anak yang super dan hiper-rajin belajar sih, mereka akan ngereview materi kuliah setiap hari, belajar lagi setiap weekend, karena menyadari materinya banyak. Nah yang kayak aku gini... pas awal-awal modal niatnya udah gede banget, udah sok-sok nanya ke temen-temen, dan mendapat motivasi banyak untuk belajar rajin tiap hari, tapi pada prakteknya, minggu ketiga kuliah aku sudah mulai takluk dengan sebelah hati yang mengatakan, “kan ujiannya masih lama :)”. Efek samping dari sistem kuliah ini mulai terlihat pada minggu ketiga. Banyak yang mengeluh konstipasi dan ambeyen gara-gara kebanyakan duduk, membuat aku pengen nulis keluhan-keluhan itu di form Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan aku kirim langsung ke BPOM.

Kalau masalah ketepatan waktu, oh jangan ditanya... aku jagonya... jago telat, jago molor *pengakuan nih*. Saingan konstanku adalah si rektor. Mindsetku dari dulu tidak berubah. Kuliah jam 8 artinya berangkat dari rumah jam 8, akibatnya nyampe kampus jam 8.15. Sambil senyum-senyum ke dosen dan ngelirik jam dinding, aku langsung duduk di tempat yang telah disediakan Dhenok di baris depan. Itu sudah paling pagi. Sekali lagi, ITU SUDAH PALING PAGI. Nah, kalau kuliah jam 7 artinya bangun jam 7, akibatnya... bolos kuliah. Ngahahaha. Kalau yang ini sainganku nambah satu, Kiki, yang suka pasrah datang jam 9, sedangkan aku lebih pasrah lagi, datang jam 9.20 dengan muka bangun tidur. Kita pun masuk kelas setelah dosen yang ngajar jam 7 keluar. Parah paraaah. Jadi keinget pas ngelab skripsi dulu. Aku dengan reputasi telatku, tiba-tiba datang ke lab jam 7 pagi dan dipergokin Jefri. Mukanya kayak liat setan waktu ketemu aku, dan aku langsung difoto buat dimasukin ke grup whatsapp kelompok skripsi. Taglinenya : prestasi baru rek, Chyntia datang jam 7. Anak-anak menyambutnya dengan tepuk tangan meriah. Sial. Sekalian aja tempel di mading. -___-

Trus bajunya anak profesi. Entah karena tradisi atau kesadaran universal, baju anak-anak jadi serba formal hingga tak pantas disebut anak-anak lagi. Yang cowok apalagi. Lagi seneng-senengnya pake kemeja rapi dimasukkan, celana kain, kadang lengkap dengan dasi, sepatu fantovel mengkilap. Padahal biasanya pake kaos berkerah, jaket, celana jins dan sepatu kets. Yang cewek juga lumayan sih. Pokoknya mereka sudah no-jins gitu. Aku yang sehari-harinya suka pake kaos, rok, pin jerapah, sekarang nggak berani pake kaos kecuali kuliah hari Sabtu. Bros jerapahnya pensiun diganti bros bunga. Bosen sebenarnya pake kemeja. Tapi yah... yasudahlah, mari kita naik ke jenjang profesional.

Itu baru kuliahnya. Ujiannya lebih wow lagi. Sebagai penganut aliran kebut semalam, aku begadang seminggu lebih dua hari demi ujian yang kalo liat tumpukan materinya aja udah bikin muntah. Bahkan ada yang aku kebut sejam, yaitu ujian Manajemen Farmasi, dan kebut dua jam, yaitu ujian Manajemen Produksi 2. Tepuk tangan untuk si pengebut handal ini. Dan terima kasih kepada teman-teman Kece, Pita, Tisa yang menyelamatkan pengebutan saya. Jujur pas Manajemen Produksi 2 itu saya nggak bisa ngerjakan soal vaksin karena soalnya ternyata beda dengan tahun lalu, jadi mohon maaf kepada Bu Neny yang sudah jauh-jauh dari Bandung demi memberikan kuliah vaksin dan ternyata saya nggak bisa ngerjakan ujian padahal soalnya gampang *ketauan banget sih cuma ngapalin jawaban soal doang*.

Lebih parah lagi, waktu dua hari ujian terakhir tubuhku meronta-ronta kena demam dan hidung meler hebat, sampe aku curiga sinusku bocor. Mau tidur itu rasanya berdosa karena besok ujian. Mau nerusin begadang rasanya berdosa karena tubuh nggak kuat. Akhirnya sebagai seorang calon Apoteker, aku memutuskan untuk minum obat flu (yang jelas-jelas bikin ngantuk) dan kopi untuk menangkal ngantuk, dengan dosis dan waktu yang diatur sedemikian rupa agar gejala flu teratasi dan tidak ngantuk. *Pak Didik harus bangga karena muridnya sudah lumayan pinter ngitung dosis*

Pada hari terakhir ujian, aku dan teman-teman mendapatkan toga untuk wisuda. Rasanya bahagia-bahagia gimanaa gitu setelah ujian kita dapat toga. Senyum tiga jari mengembang seiring ingatan tentang ujian menghilang. Hahaha, alay.

Sampai di rumah, aku baru ingat kalau aku sudah tidak makan sejak kemarin malam. Kasian tubuhku, sudah sakit, nggak dikasih makan, minum kopi begadang. Untung-untungan nih maag nggak ikut berpartisipasi. Sebagai permintaan maaf aku makan, tidur, mengistirahatkan tubuh, minum obat dan say goodbye to caffein. Tidur. Tidur. Tidur. Tidak peduli dunia sedang apa. Tidak peduli tembok kamar menghantarkan panas dari luar. Dan ternyata dalam tidur aku bermimpi mengerjakan soal ujian. What the... -__- Tidur panjang dan mimpi mengerjakan soal itu berakhir saat adekku datang dan berisik nyobain baju togaku.

Ah, baju toga... Empat tahun kami berjuang untuk bisa mengenakan baju hitam sewaan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kami ke orang tua yang telah membiayai kuliah. Diam-diam aku ingin menangis kalau melihat toga. Semua beban kuliah dan ujian sudah melayang entah kemana, mungkin takut melihat aura toga yang arogan. Semua bayangan tentang hari wisuda juga ada di toga, termasuk orang yang akan bahagia sekali menghadirinya : mamaku. Apakah ia akan bangga? Aku bisa melihat dari sinar matanya. Dan jelas-jelas aku akan merindukan papaku ketika melihat papa-papa teman-teman nanti. Jika kau ingin tau, Pa, aku hanya ingin bertanya padamu apakah kau bangga kepadaku. Bukan hanya karena toga ini, tapi tentang aku selama ini. Aku tau aku sering mengecewakan diriku sendiri, dan orang-orang di sekitarku. Jadi aku tau bahwa bagi orang lain, aku tidak cukup membanggakan, tidak cukup pantas dianggap apa-apa. Hanya kau, yang aku tidak tau... dan jawabanmu adalah yang paling berpengaruh dibandingkan jawaban semua orang di dunia ini. Kau yang menanamkan sejuta harapanmu padaku, meski aku tidak tau pasti apa harapanmu, jadi pantaslah kau menilaiku saat ini. Jauh lebih pantas daripada semua orang di dunia ini.

Jika bukan karena mama dan eyangku yang selalu bertanya kapan wisudaku, jika bukan karena adekku yang menggerutu karena aku buta tentang make up, jika bukan karena teman-teman yang ngajak survei studio foto, jika bukan karena teman-teman yang  berjanji akan datang tanpa diminta... mungkin aku akan benar-benar tidak ikut wisuda. Aku tidak merasa memerlukannya. Papaku tidak akan datang menyaksikannya dan aku tidak akan tau apakah dia bangga padaku.

Ah, sudahlah...

Ada banyak hal penting selain wisuda. Masih ada Sumpah Apoteker tahun depan. Jalannya masih panjang. Ada banyak hal menarik yang akan kutemui di praktek kerja profesi nanti. Dan aku harus tes IELTS tahun ini!!! Harus!!! Kemudian daftar beasiswa tahun depan!!! Harus!!! Aku masih cinta kampus, Tuhan, meskipun aku tukang protes, sebenarnya aku suka hidup di kampus. Hahaha.

Baiklah... terima kasih sudah menyimak obrolan, eh, monolog random ini. Jangan salahkan saya jika Anda sakit mata atau tidak merasa tambah pinter setelah baca apapun di sini. Sampai jumpa di episode berikutnya. Wassalamualaikum wr. wb.
Read More
      edit

Sunday, August 31, 2014

Published 11:34 PM by with 0 comment

(Ga Jadi Ke) Sempu


Oh thanks Allah, I finally will be in Sempu!” begitu teriakku setelah pulang makan bebek bersama dua orang dari departemen pelayanan. Setelah melalui segala hal menjemukan berkaitan dengan skripsi, kita memang ingin liburan. Bagiku, liburan bisa dengan siapa saja, teman yang mana saja. Ini adalah reward untuk otak yang berlelah-lelah dengan ikhlas demi skripsi. Sempu adalah pilihan terbaik karena kita sudah lama tidak berpetualang di alam bebas.

Aku dengan bangga bilang ke mama dan semua orang di rumah kalau aku mau ke Sempu. Adekku iri karena dia masih ospek jadi tidak mungkin ikut.

Singkat cerita, malam hari sebelum keberangkatan, aku packing dengan semangat, sementara adekku cemberut ngerjakan tugas ospeknya. Rencananya kami berangkat jam 3 petang, jadi jam 8 malam aku siap-siap berangkat ke kosan mbak Wingit, yang juga ikut ke Sempu, untuk menginap sampai berangkat. Begitu nyalain hp, ternyata salah satu anggota ngabarin kalau dia tidak diijinkan oleh orang tuanya berangkat ke Sempu. Hmm, batal nih. Adekku langsung tertawa bahagia. Giliran aku yang cemberut. Hidup memang seperti roda yang berputar, nak.

Tapi sungguh tidak mengecewakan. Jam 9 malam kami memutuskan untuk putar arah ke Coban Talun dan Coban Rais, air terjun yang ada di Batu.

Jam 6 pagi, setelah eker rebutan tempat duduk, berangkatlah kami dengan mobil dan pak sopir baik hati bernama pak Medi ke Coban Talun. Bismillah...

Ternyata, memang tidak mengecewakan! Kami disambut dengan hutan pinus dan sungai kecil yang luaaar biasa. Check these photos out!


Twilight2an
Familiar dengan tempat ini? Pernah liat di film? Iya benar, ini seperti tempat syuting film Twilight Saga! Subhanallah... Masyaallah... Tapi kenapa yang ada di situ malah sekawanan power ranger? Ada ranger merah, abu-abu, oren, biru dan hitam. *abaikan*
Keinginan kami untuk tracking pun terpenuhi. Kami membelah hutan pinus yang indah itu, hingga sampai ke jalan setapak di tengah semak belukar. Sekarang rasanya seperti ada di film Chronicles *lebay*.
Chronicles2an

Sekitar setengah jam kemudian, kita mendengar suara gerojokan air. Kami mengikuti jalan yang menurun dan sampailah kita di... bebatuan. Lho? Ternyata air terjunnya ada di balik batu-batu segede gajah ini. Dengan kata lain, kami salah jalan -.-

Nah sekarang seperti ada di film Narnia *lebay lagi*
Narnia2an
Yang ini stunt men-nya film Tarzan. Auoouoo...
Tarzan2an

Setelah Ulil, Hilal, dan Dani manjat-manjat ga jelas demi nyari jalan ke balik bebatuan, dan semua puas foto-foto, kami balik ke jalan setapak. Kali ini aku baru menyadari kalau ternyata jalannya bercabang dan kami dengan sotoy-nya milih jalan yang tadi.
And finally, SEEEMM...buran air terlihat!
ranger oren dan coban talun

Masyaallah, air terjunnya bagus. Batu-batuan raksasa di sekitarnya menambah kesan ancient yang mungkin tidak dimiliki air terjun lain. Kalau lihat seperti ini jadi ingat film Avatar. Bukan Avatar Aang atau Avatar Korra, tapi Avatar yang biru-biru itu lho. Btw, aku belum nonton Avatar Korra Book 3, padahal habis ini mulai kuliah... *salah fokus, abaikan*
Sayangnya sedang tidak ada pelangi di sekitar air terjun. Terakhir aku melihat pelangi di air terjun itu ketika di Madakaripura sama teman-teman KKN. Sejauh ini, Madakaripura yang paling amazing. Aku tidak akan bosan ke sana berkali-kali.

Hilal jadi orang yang pertama kali njebur. Diikuti Ulil, Dani, Nurul, Wingit, Yenyen. Aku yang terakhir. Kalau aku njebur juga, siapa yang ngefotoin mereka. *Alesan aja sih, aslinya takut air dingin. Pada akhirnya, aku njebur juga. Baru beberapa menit kaki terendam air, badan langsung menggigil. Aaah, sumpret gueh ga mau mandi habis ini! Jadi heran sama mereka yang betah banget di air. Nurul malah berdiri tepat di bawah air terjun. Ckckck. Mungkin mereka berdarah dingin, aku berdarah panas.

Selesai njebur dan ngebersihin sandal yang kena lumpur, kami kembali ke tempat parkir mobil Pak Medi. Kali ini kaki sudah pegel dan badan menggigil. Jalannya mendaki, dan saya hanya kuat jalan 5 menit – istirahat 3 menit – jalan lagi 5 menit – istirahat 5 menit. Begitu seterusnya. Hahaha. Maklum anak farmasi nggak pernah olahraga. Gini kok mau ke Sempu... belum sampe tengah-tengah hutan aja udah capek terus gelar tikar dan tidur mungkin ya.

Nah sekarang, kami eker lagi mau kemana habis ini.

Ke Coban Rais? Nggak kuat jalan. Bunuh hayati di rawa-rawa aja, bang... -___-

Ke Selecta? Kayak anak SD -___-

Ke Kebun Apel? Tadi udah metik apel di depan rumah orang.

Di tengah jalan, kami deal ke Selecta, foto di taman bunga. Yang cowok-cowok kalau nggak mau foto sama bunga, biar foto sama patung jerapah aja.

Tapi hati manusia mudah terbolak-balik. Begitu sampai di mobil, kami nggak minat lagi ke Selecta, capek. Percuma sudah ekernya itu tadi.

Akhirnya kami menuju ke Alun-Alun Batu. Sholat di masjid besarnya, mandi, ganti baju, lalu beli jajan di alun-alun. Susu sapi hangat, pentol bakar, ketan... nggak ada kenyangnya :D

And the best part is...

Naik bianglala!
bianglala!

Murah, hanya tiga ribu rupiah. Di Surabaya bisa lima kali lipatnya tuh.

Ulil ternyata takut naik bianglala -_-‘’

Setelah itu, kami memulai perjalanan pulang. Kami senang dan perut masih cukup menampung makan malam. Mampirlah kami ke Cak Pi’i, rumah makan yang sudah dipromosiin Dani ke anak-anak sejak jaman bahula. Alhamdulillah, mantap.

Jalan-jalan sudah, jajan sudah, makan malam sudah, jadi sekarang saatnya... tidur!

Semuanya tidur di perjalanan kecuali aku dan pak Medi. Dani semacam tidur-bangun-tidur-bangun nggak jelas. Hilal yang bertugas nemenin Pak Medi malah tidur pulas diiringi video klip One Direction yang disetel di lcd di depannya.

Ketika sampai di Surabaya, berakhirlah ekspedisi super spontan dan super nekat ini. SEEEMua senang meskipun tidak jadi ke SEEEMpu. Hahaha.

Terima kasih tim ekspedisi nekat. Semoga akan ada ekspedisi-ekspedisi selanjutnya yang bisa aku ikuti. Tidak perlu banyak wacana. Dari sini aku menemukan cara agar acara jalan-jalan tak sekedar jadi wacana : tentukan tanggal, kosongkan jadwal, kumpulkan duitnya, berangkat!
Read More
      edit