Tuesday, April 15, 2014

Published 10:47 PM by with 0 comment

Keajaiban (?)



Rasanya seperti punya hutang kalau tidak menceritakan ini.

Semua sudah tau kisah petualanganku di Turki, kan? Tak terasa sudah hampir satu tahun yang lalu, tetapi kenangannya masih saja membekas. Mungkin bagi kalian ke luar negeri itu mudah, tetapi bagiku ini luar biasa.

Ada satu bagian penting yang mungkin belum sempat terceritakan...

Saat itu sedang pertengahan semester lima. Di antara tumpukan materi kuliah dan praktikum yang menantang setengah membosankan, aku mulai berpikir tentang hal-hal lain mengenai ‘sudah semester lima, setelah ini enam, tujuh, delapan...’. Aku buru-buru me-recall impian-impianku, target-targetku sebelum aku lulus kuliah. Ada yang belum tercapai rupanya – dan banyak! Tinggal tiga semester di depan. Oh, ngapain aja gueh selama ini!

Salah satu yang tertarget sebelum lulus kuliah adalah go to foreign. Tujuan utamanya adalah kota tempat menara Eiffel bersemayam menungguku : Paris! Selain itu aku punya janji untuk bertemu seseorang di sana, tepat di depan patung Victor Hugo. Jadi, aku harus segera ke sana.

Sebelum kerontang tanah terbasahi ribuan kubik rintik air, jalan mulai tersibak. Pendaftaran Student Exchange Programme (SEP) oleh IPSF dibuka. Aku yang saat itu kelebihan energi dan semangat dan sering berkhayal tentang Eropa, sangat antusias menyambutnya. Daftar keanggotaan IPSF (padahal sebelumnya tidak pernah ingin melakukannya), membuka lagi buku ‘Belajar Cepat Bahasa Perancis’ (setelah satu jam membongkar laci dan menemukan buku itu di dasar), membuat paspor (ternyata merepotkan sekali) dan berdoa (lebih seperti merajuk).

Namun semangat itu segera menukik tajam begitu melihat Perancis tak terjangkau... dalam hal finansial. Negara itu sudah menggunakan mata uang Euro dan itu berita buruk karena segalanya menjadi sangat mahal. Satu semester mengumpulkan uang dari manapun tidak akan mencukupi pengeluaran untuk SEP di Perancis. Bahkan jika aku memenangkan SEP Grant pun aku tidak yakin itu akan mencukupinya. Aku benar-benar tanpa dana. Maka dengan segala pertimbangan aku memilih negara lain yang masih satu benua dengan Perancis. Saat itu pilihan jatuh pada Turki, Ceko dan Spanyol. Ketiganya belum menggunakan euro dan meskipun mahal, masih agak besar kemungkinan aku mencukupkan dana untuk ke sana.

Singkat cerita, aku meng-apply dan beberapa bulan kemudian diterima menjadi delegasi ke Turki, di bawah organisasi IUPSA. Tisa juga diterima di tempat yang sama.

Satu semester terlampaui. Hingga tiba saatnya memesan tiket untuk berangkat ke Turki bulan Agustus, ternyata aku belum juga berhasil mengumpulkan dana. Aku tidak memenangkan SEP Grant. Semua permohonan sponsor yang aku ajukan ditolak. Beasiswa tiba-tiba macet. Jangankan untuk itu, untuk membayar SPP semester enam saja aku harus menanggung malu meminta uang ke ibu – sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

Hanya tersisa dua juta rupiah di rekening. Entah apa yang kupikirkan waktu itu, satu juta langsung aku tarik tunai dan kuputuskan untuk menjadi hak orang lain yang lebih membutuhkan.

Sementara orang-orang IPSF dan IUPSA terus mengabarkan lewat email mengenai jaminan akomodasi dan tempat praktek di Istanbul, dan kawan-kawan yang menjadi delegasi ke luar negeri memesan tiket pesawat, aku mulai menitikkan air mata.

Apakah aku harus melepaskannya?

Bulan terus bergerak mengitari bumi hingga Ramadhan tiba. Sebagai seorang pemimpi yang tak mudah menyerah, aku berdoa hingga mengigau selama beberapa minggu. Aku mengharapkan keajaiban dari Allah di bulan yang penuh berkah ini. Saat itu aku berada di Probolinggo, di tengah kehangatan kawan KKN dan keluarga Pak Imam. Segalanya berjalan indah sekali. Seindah alam pegunungan di tepian Probolinggo. Seindah sungai tempat aku bermain bersama anak-anak kecil di sana. Seindah suara adzan magrib yang selalu disambut ceria oleh kami semua.

Hingga rasanya keindahan itu menjadi isyarat untukku. Isyarat untuk melepaskannya... untuk ikhlas... untuk sekali lagi mengembalikannya pada Allah.

“Aku ikhlas, Ya Allah. Aku sudah bilang kutitipkan impianku padaMu. Tidak jadi ke Turki, tidak apa-apa. Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan. Jika KKN yang indah ini merupakan penghiburan yang Kau coba berikan untukku sebagai gantinya, itu sudah cukup. Aku ikhlas.” begitu bisikku suatu malam setelah sholat Tahajjud.

Dan keesokan harinya aku mengirimkan email ke SEO-ku yang sudah begitu baik mengurusi akomodasi dan jadwal kegiatanku selama di Turki. Email yang penuh kata “I’m sorry” dan “please forgive me.” Email sedih yang kutekan send-nya sambil tersenyum ikhlas.

Kemudian aku melanjutkan kehidupan yang indah di Probolinggo sana. Aku masih tetap mendongengkan kisah Keong Mas dan mengajarkan bahasa Inggris di teras rumah Pak Imam. Aku masih mengobrol di tepi tungku yang hangat dengan Bu Imam. Aku masih sering berkeliaran ke Probolinggo kota dengan seorang teman. Aku masih bahagia dan baik-baik saja.

Dan segalanya berubah ketika... negara api menyerang!

Saat itu sepuluh menit setelah aku buka puasa di alun-alun kota – pertama dan terakhir kalinya aku pulang malam di Probolinggo. Aku sedang menuju ke masjid agung untuk sholat ketika Tisa menelepon. Aku hanya memandangi layar hp hingga nama Tisa menghilang. Ada yang aneh.

“Siapa?” tanya temanku.

“Temanku di Sampang. Entah ada apa.”

“Chyntia bisa pulang ke Surabaya?” tanya Tisa lewat sms.

“Ngapain Tisa nyuruh-nyuruh pulang? Ini KKN-ku yang indah tinggal beberapa hari lagi.” gerutuku.

Begitu sampai di rumah, Tisa menelepon lagi. Aku menjawab sambil mengerutkan kening. Kemudian apa yang dikatakan Tisa membuatku menganga dan kemudian bertasbih sambil menangis.

Intinya, keajaiban yang aku inginkan dikabulkan oleh Allah. Tisa harus bangga menjadi orang terpilih untuk menyampaikannya. Tisa bilang ada orang yang entah kenapa mau membiayai transportasiku ke Turki yang mencapai belasan juta. Meski tidak mengerti, aku harus segera pulang ke Surabaya untuk memesan tiket karena dua minggu lagi kami berangkat.

Dan lebih aneh lagi, keesokan harinya adalah hari ulang tahunku yang ke-20. Jadi kesannya seperti Tisa sedang memberi kejutan untuk hari ulang tahunku. Jika ia bohong saat itu pun, aku tidak akan marah.

Ibuku tercengang ketika aku berkata bahwa aku akan berangkat ke Turki. Aku tidak pernah menceritakan hal ini sebelumnya. Sedangkan aku terharu karena Allah tidak pernah absen mengejutkanku, membahagiakanku pada waktu yang tepat.

Ketika aku sampai di Surabaya, seorang perantara keajaiban bernama Pak Mukid yang ternyata sudah kenal lama dengan keluarga Tisa, langsung mengajakku memesan tiket pulang-pergi dan menguruskan visaku. Di cerita ini, Pak Mukid seperti jin botol yang tiba-tiba muncul dan mengabulkan semua permintaanku.

Ketika tiket belasan juta sudah di tangan, aku tidak tau harus berkata apa. Habis sudah rasa sedihku, terganti oleh bahagia berlipat-lipat. Habis sudah bebanku, terganti oleh rasa melayang setinggi-tingginya. Ini memang bukan ke Paris, tetapi ke Istanbul, yang merupakan rencana Allah yang lebih indah. Satu lagi impianku terwujud.

Maka begitulah janji Allah selalu terbukti, yaitu bahwa beserta kesulitan itu ada kemudahan. Beserta kesulitan itu ada kemudahan...

Masih ragu untuk bermimpi? Bagiku, keberanian bermimpi dan meyakini terwujudnya mimpi adalah pembuktian kualitas iman seseorang.

Sayang Allah selalu :’)
      edit

0 komentar:

Post a Comment

yuuk komen yuuk . . .