Sunday, August 31, 2014

Published 11:34 PM by with 0 comment

(Ga Jadi Ke) Sempu


Oh thanks Allah, I finally will be in Sempu!” begitu teriakku setelah pulang makan bebek bersama dua orang dari departemen pelayanan. Setelah melalui segala hal menjemukan berkaitan dengan skripsi, kita memang ingin liburan. Bagiku, liburan bisa dengan siapa saja, teman yang mana saja. Ini adalah reward untuk otak yang berlelah-lelah dengan ikhlas demi skripsi. Sempu adalah pilihan terbaik karena kita sudah lama tidak berpetualang di alam bebas.

Aku dengan bangga bilang ke mama dan semua orang di rumah kalau aku mau ke Sempu. Adekku iri karena dia masih ospek jadi tidak mungkin ikut.

Singkat cerita, malam hari sebelum keberangkatan, aku packing dengan semangat, sementara adekku cemberut ngerjakan tugas ospeknya. Rencananya kami berangkat jam 3 petang, jadi jam 8 malam aku siap-siap berangkat ke kosan mbak Wingit, yang juga ikut ke Sempu, untuk menginap sampai berangkat. Begitu nyalain hp, ternyata salah satu anggota ngabarin kalau dia tidak diijinkan oleh orang tuanya berangkat ke Sempu. Hmm, batal nih. Adekku langsung tertawa bahagia. Giliran aku yang cemberut. Hidup memang seperti roda yang berputar, nak.

Tapi sungguh tidak mengecewakan. Jam 9 malam kami memutuskan untuk putar arah ke Coban Talun dan Coban Rais, air terjun yang ada di Batu.

Jam 6 pagi, setelah eker rebutan tempat duduk, berangkatlah kami dengan mobil dan pak sopir baik hati bernama pak Medi ke Coban Talun. Bismillah...

Ternyata, memang tidak mengecewakan! Kami disambut dengan hutan pinus dan sungai kecil yang luaaar biasa. Check these photos out!


Twilight2an
Familiar dengan tempat ini? Pernah liat di film? Iya benar, ini seperti tempat syuting film Twilight Saga! Subhanallah... Masyaallah... Tapi kenapa yang ada di situ malah sekawanan power ranger? Ada ranger merah, abu-abu, oren, biru dan hitam. *abaikan*
Keinginan kami untuk tracking pun terpenuhi. Kami membelah hutan pinus yang indah itu, hingga sampai ke jalan setapak di tengah semak belukar. Sekarang rasanya seperti ada di film Chronicles *lebay*.
Chronicles2an

Sekitar setengah jam kemudian, kita mendengar suara gerojokan air. Kami mengikuti jalan yang menurun dan sampailah kita di... bebatuan. Lho? Ternyata air terjunnya ada di balik batu-batu segede gajah ini. Dengan kata lain, kami salah jalan -.-

Nah sekarang seperti ada di film Narnia *lebay lagi*
Narnia2an
Yang ini stunt men-nya film Tarzan. Auoouoo...
Tarzan2an

Setelah Ulil, Hilal, dan Dani manjat-manjat ga jelas demi nyari jalan ke balik bebatuan, dan semua puas foto-foto, kami balik ke jalan setapak. Kali ini aku baru menyadari kalau ternyata jalannya bercabang dan kami dengan sotoy-nya milih jalan yang tadi.
And finally, SEEEMM...buran air terlihat!
ranger oren dan coban talun

Masyaallah, air terjunnya bagus. Batu-batuan raksasa di sekitarnya menambah kesan ancient yang mungkin tidak dimiliki air terjun lain. Kalau lihat seperti ini jadi ingat film Avatar. Bukan Avatar Aang atau Avatar Korra, tapi Avatar yang biru-biru itu lho. Btw, aku belum nonton Avatar Korra Book 3, padahal habis ini mulai kuliah... *salah fokus, abaikan*
Sayangnya sedang tidak ada pelangi di sekitar air terjun. Terakhir aku melihat pelangi di air terjun itu ketika di Madakaripura sama teman-teman KKN. Sejauh ini, Madakaripura yang paling amazing. Aku tidak akan bosan ke sana berkali-kali.

Hilal jadi orang yang pertama kali njebur. Diikuti Ulil, Dani, Nurul, Wingit, Yenyen. Aku yang terakhir. Kalau aku njebur juga, siapa yang ngefotoin mereka. *Alesan aja sih, aslinya takut air dingin. Pada akhirnya, aku njebur juga. Baru beberapa menit kaki terendam air, badan langsung menggigil. Aaah, sumpret gueh ga mau mandi habis ini! Jadi heran sama mereka yang betah banget di air. Nurul malah berdiri tepat di bawah air terjun. Ckckck. Mungkin mereka berdarah dingin, aku berdarah panas.

Selesai njebur dan ngebersihin sandal yang kena lumpur, kami kembali ke tempat parkir mobil Pak Medi. Kali ini kaki sudah pegel dan badan menggigil. Jalannya mendaki, dan saya hanya kuat jalan 5 menit – istirahat 3 menit – jalan lagi 5 menit – istirahat 5 menit. Begitu seterusnya. Hahaha. Maklum anak farmasi nggak pernah olahraga. Gini kok mau ke Sempu... belum sampe tengah-tengah hutan aja udah capek terus gelar tikar dan tidur mungkin ya.

Nah sekarang, kami eker lagi mau kemana habis ini.

Ke Coban Rais? Nggak kuat jalan. Bunuh hayati di rawa-rawa aja, bang... -___-

Ke Selecta? Kayak anak SD -___-

Ke Kebun Apel? Tadi udah metik apel di depan rumah orang.

Di tengah jalan, kami deal ke Selecta, foto di taman bunga. Yang cowok-cowok kalau nggak mau foto sama bunga, biar foto sama patung jerapah aja.

Tapi hati manusia mudah terbolak-balik. Begitu sampai di mobil, kami nggak minat lagi ke Selecta, capek. Percuma sudah ekernya itu tadi.

Akhirnya kami menuju ke Alun-Alun Batu. Sholat di masjid besarnya, mandi, ganti baju, lalu beli jajan di alun-alun. Susu sapi hangat, pentol bakar, ketan... nggak ada kenyangnya :D

And the best part is...

Naik bianglala!
bianglala!

Murah, hanya tiga ribu rupiah. Di Surabaya bisa lima kali lipatnya tuh.

Ulil ternyata takut naik bianglala -_-‘’

Setelah itu, kami memulai perjalanan pulang. Kami senang dan perut masih cukup menampung makan malam. Mampirlah kami ke Cak Pi’i, rumah makan yang sudah dipromosiin Dani ke anak-anak sejak jaman bahula. Alhamdulillah, mantap.

Jalan-jalan sudah, jajan sudah, makan malam sudah, jadi sekarang saatnya... tidur!

Semuanya tidur di perjalanan kecuali aku dan pak Medi. Dani semacam tidur-bangun-tidur-bangun nggak jelas. Hilal yang bertugas nemenin Pak Medi malah tidur pulas diiringi video klip One Direction yang disetel di lcd di depannya.

Ketika sampai di Surabaya, berakhirlah ekspedisi super spontan dan super nekat ini. SEEEMua senang meskipun tidak jadi ke SEEEMpu. Hahaha.

Terima kasih tim ekspedisi nekat. Semoga akan ada ekspedisi-ekspedisi selanjutnya yang bisa aku ikuti. Tidak perlu banyak wacana. Dari sini aku menemukan cara agar acara jalan-jalan tak sekedar jadi wacana : tentukan tanggal, kosongkan jadwal, kumpulkan duitnya, berangkat!
Read More
      edit

Wednesday, August 27, 2014

Published 10:01 PM by with 0 comment

Matahari Tidak Akan Mendapatkan Bulan



 Matahari tidak akan mendapatkan bulan. Jika menginginkan bulan, ia harus menjadi bumi, yang selalu berjalan beriringan dengannya, mendekat dan menjauh secara teratur pada tiap perputarannya namun tak pernah terlalu jauh hingga merasa terpisahkan. Bumi selalu bisa melihat wajah bulan. Ia tahu dimana bulan bersembunyi dan di sisi mana bulan akan menampakkan diri malam ini.

Atau mungkin bisa juga menjadi venus, yang tampak jauh tapi akan selalu berada di sisi bulan. Setidaknya ia akan berpapasan lebih dekat dengan bulan di fajar dan senja. Ia memiliki waktu yang istimewa untuk menyapa bulan. Dan ketika bulan pergi, ia tidak akan menangis karena esok akan bertemu lagi.

Sekurang-kurangnya ia bisa menjadi bintang-bintang yang berpendar di sekitar bulan. Mungkin ia tak akan berarti apa-apa bagi bulan, namun mereka adalah penghuni tetap di langit malam. Manusia akan memandang mereka bersamaan. Jika tidak ada bintang-bintang, manusia akan bertanya kepada bulan. Jika tidak ada bulan, manusia akan bertanya kepada bintang-bintang. Bagi manusia, mereka ditakdirkan bersama dan saling melengkapi.

Namun matahari tetaplah matahari, bintang terbesar di bimasakti. Ia tidak akan mendapatkan bulan meskipun ia begitu menginginkannya. Matahari pun mengalah. Cukup baginya membiarkan bulan beriringan dengan bumi, berpapasan dengan venus dan berdampingan dengan bintang-bintang lain. Matahari tetap merentangkan cahayanya untuk bulan, menjaganya agar tetap anggun di kegelapan malam. Memang ia tidak akan mendapatkan bulan, namun ia bahagia bisa melihat bulan memantulkan cahayanya untuk semesta.


sumber : google search
Read More
      edit
Published 9:46 PM by with 0 comment

Cerita Skripsi

Sebenarnya pada tahap ini, aku sudah muak mendengar kata skripsi, apalagi menuliskannya. Hahaha. Tapi bagaimanapun tetap pengen cerita.

Jadi begini ceritanya...

Skripsiku berada di bawah payung penelitian mengenai yogurt dan pasta tomat. Bahan-bahan makanan yang tidak asing, kan? Nah, aku kebagian menguji aktivitas antijamur kedua bahan itu baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasinya. Buat yang terbiasa dengan bidang mikrobiologi, sekilas penelitian ini terlihat biasa-biasa saja. Aku pun juga awalnya mengira ‘ah, tinggal campur-campur yogurt sama tomat, diuji dengan metode biasanya jadi deh’, TAPI TERNYATA... *maaf intonasi naik*

Sebenarnya sejak pertama kali berkunjung ke laboratorium mikrobiologi punya departemen Kimia Farmasi, Fakultas Farmasi tercinta, aku sudah jatuh cinta. Sejak dulu aku bermimpi jadi peneliti, dan lab yang ada di bayanganku ya lab yang seperti mikrobiologi itu. Makanya begitu memilih skripsi di sana, aku super semangat, namun segalanya berubah setelah... satu bulan... dua bulan... tiga bulan tidak mendapatkan data apapun.
Pertama kali ke lab mikro bersama Regu Macan
Apa masalahnya?

Bersama pembimbing-pembimbing yang expertise-nya di bidang analisis mikrobiologi, aku mencoba segala cara, mulai dari yang masuk akal hingga paling nggak masuk akal – yang nggak masuk akal inisiatifku sendiri sih. Hehehe. Bayangkan saja, tiga bulan ngelab terus di sela-sela kuliah semester delapan. Semua anak farmasi yang skripsinya eksperimental merasakan hal yang sama. Rasanya lab yang awalnya terang perlahan-lahan jadi suram, padahal lampunya masih nyala.

Sempat sedih, gundah gulana dan sejenisnya waktu ngelihat teman-teman yang uji antibakteri begitu enaknya bisa dapet data dengan satu metode, sementara aku terus menemui kegagalan. Mungkin ini ujian biar aku ‘naik kelas’ lebih tinggi daripada yang lain. Mungkin juga semacam terapi agar mentalku lebih kuat waktu jadi peneliti yang sebenarnya nanti. Aku mencoba berpikir positif dan memohon kekuatan pada Allah. Untungnya, masih bisa bersyukur kalau ngelihat teman-teman kelompok sebelah yang harus bekerja keras dua kali lebih berat daripada aku untuk penelitiannya. Keinginan untuk menyerah itu selalu menggoda, tapi kalau dilogika, tidak ada celah untuk menyerah. Ini harus diselesaikan! This is my first tribute to be researcher!

Mungkin aku satu-satunya peneliti amatir di dunia ini yang dikit-dikit berpuisi galau di tengah penelitiannya, yang dikit-dikit berbisik ‘semangat ya probiotik, kamu pasti bisa melawan jamur jahat’, dan berdoa ‘Ya Allah, kuatkan probiotikku dalam melawan jamur, Ya Allah...”

Orang yang paham kelakuanku itu hanya bisa berkeringat sejagung di kening kiri atau mengirimkan emoticon -____-‘’ kepadaku.

Entah bagaimana menjelaskannya, pokoknya aku sudah tak tau apa lagi yang harus aku lakukan selain mencoba dan terus mencoba. Jika Edison gagal 99 kali dan percobaannya yang ke-100 membuat hasil penelitiannya berguna sepanjang masa, tidak mungkin Allah tidak memberikan akhir sejenis itu sebagai jawaban atas percobaanku. Begitu pikirku.

Di akhir bulan ketiga penelitian, ketika tabung reaksi sudah banyak yang pecah dan kulkas tempat menyimpan sampel overload, dosen-dosen pembimbingku memberikan secercah harapan. Aku dituntun hingga akhirnya ganti metode dan dapat membuktikan bahwa yogurt yang aku buat punya aktivitas antijamur. Eureka! Selanjutnya pasta tomat terbukti tidak punya aktivitas antijamur. Waktu untuk ngelab tinggal satu bulan lagi dan akhirnya inilah awal dari kebangkitan skripsiku.

Di akhir bulan kelima ternyata aku menemukan data yang lebih berharga daripada yang tertulis di tujuan penelitianku. Aku menemukan mekanisme! Aku membuktikannya sendiri. Aku bisa menjelaskan bagaimana yogurt dan pasta tomat bisa menghambat jamur patogen. Sejauh ini teman-teman skripsi tidak ada yang melakukannya. Untuk menjelaskan banyak hal mengenai data penelitian, mereka hanya mengambil dari pustaka. Subhanallah. Rasanya bunga-bunga jatuh dari langit di sekelilingku.

Bagian yang mengharukan selanjutnya adalah sidang skripsi.

Berawal dari buru-buru bikin naskah, ngumpulin di departemen, hingga akhirnya namaku terpampang di jadwal sidang skripsi...
The Only One on Monday Morning

Masyaallah, skripsi di departemen ini memang penuh kejutan. Aku sidang hari pertama jam pertama pada putaran sidang minggu ini. Antara panik, cemas dan antusias, aku nggak doyan makan dan nggak bisa tidur sejak tiga hari sebelumnya. Tapi kok ya masih sempat-sempatnya ngasih makan rusa di kebun bibit. Hahaha.
Kalau ketemu teman yang ngasih semangat, aku menyahut dengan yakin, “aku akan segera menyusul kemerdekaan Indonesia!”, karena sidangnya satu hari setelah hari kemerdekaan.

Kegiatan menjelang sidang : makanin kijang
Dan ketika hari H tiba, dengan berbekal doa dari mama, om, tante, kakek, nenek, dan teman-teman yang heboh mengumumkan jadwal sidang di grup whatsapp, akhirnya aku berdiri juga di hadapan dosen pembimbing dan penguji. Satu dosen Kimia Organik, satu dosen Kimia Medisinal dan dua dosen Analisis Farmasi bagian Mikrobiologi. Mungkin untuk menceritakan bagaimana sidangnya akan butuh bab tersendiri. Intinya, aku down waktu dosen penguji pertama bertanya. Inilah sebab utama aku nangis bombay waktu keluar dari ruang sidang. Lebay? Biarin. Hahaha.
Showtime! "Bunuh hayati di rawa-rawa, Bang..."
“Lha mbokkiro drama korea pake nangis-nangis?” komentar Fuad yang hobi nonton drama korea.

Hmmm -___-

Gara-gara ini juga, aku nggak mau foto sama dosen. Jadi sekarang cuma aku yang nggak punya foto sama dosen setelah sidang skripsi.

Bagaimanapun aku lega. Nangisnya berlanjut setelah diumumkan lulus, tapi jadi nangis lega, dan langsung nyengir lebar waktu diajak foto sama teman-teman.
foto pasca-nangis dengan teman-teman tercintah
best partner in universe : IZZA :')
Terima kasih, Ya Allah, sudah membawaku melalui semua ini. Terima kasih Engkau mendengar doa mamaku. Terima kasih Engkau memberikan dosen pembimbing paling keren sedunia. Terima kasih Engkau memberikan teman-teman yang setia mendukung. Aku terharu... :’) *nangis lagi*

Dua hari setelah sidang, sang dosen pembimbing mencari-cariku dan menagih revisian. Ah, ternyata skripsi belum sepenuhnya berakhir.

RIP naskah skripsi

Read More
      edit

Saturday, August 2, 2014

Published 9:21 PM by with 0 comment

Negeri Tingkat Kriminalitas Nol



Aku akhir-akhir ini membayangkan tinggal di negara yang memiliki tingkat kriminalitas nol. Bagaimana ya rasanya?

Orang-orang tidak perlu mengunci rumahnya di malam hari. Toko-toko tak perlu berlapis pagar baja. Tak mungkin ada yang berpindah tangan jika tidak disepakati. Tidak ada yang mengambil yang bukan haknya.
Bayangkan ketika kita terpaksa pulang malam dari tempat kerja atau kuliah, meski jalanan sepi, kita bisa tetap tenang. Tak perlu terlalu takut kecuali fobia dengan hantu.

Ketika kita bangun pagi, membaca koran atau menonton berita di televisi, tak akan pernah kita temui sesi berita kriminalitas yang memilukan. Tak ada pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, perampokan. Tak ada. Setiap reporter akan mengawali laporan beritanya dengan “berita baik untuk Anda hari ini adalah...”
Juga tak ada kasus korupsi, kolusi, nepotisme di area pemerintahan. Pemimpinnya tentu pemimpin yang adil, amanah, hingga bisa memakmurkan rakyatnya.

Pengadilan akan sepi. Penjara akan sepi. Para penegak hukum tidak akan banyak disibukkan kasus kriminalitas. Aparat keamanan akan punya waktu untuk tersenyum dan membantu warga sekitar. Para pemimpin akan bangga menerima ucapan selamat dari dunia karena kriminalitas tidak terjadi di negaranya selama jangka waktu yang sangat panjang.

Dan kita pun bisa merasakan sampai pada hal-hal paling sederhana. Tak pernah ada teriakan ‘copet’ di pasar-pasar – bahkan semua orang lupa apa arti kosakata itu. Tak ada murid yang mencontek apalagi membeli jawaban dari joki ketika ujian. Bolpoin tertinggal di laci sekolah, besoknya kita tak perlu susah-susah berteriak ke teman-teman kita, pasti masih ada di laci itu. Hahaha.

Indahnya...

Kira-kira bagaimana negara seperti itu bisa terbentuk?

Menurutku, itu dimulai dari dalam akhlak. Akhlak mulia yang dibawa masing-masing individu, baik rakyat maupun pemimpinnya. Akhlak mulia itu menjadi nilai-nilai kebaikan yang ditularkan satu sama lain, memunculkan cinta sesama. Akhlak mulia yang lebih mulia dari logam paling mulia di muka bumi. Hingga tak ada lagi sisi jahat dalam jiwa manusia yang ditampakkan, tak mampu ditampakkan, terkalahkan oleh kemuliaan akhlak.

Seandainya negara itu adalah negaraku... Ah, semoga saja... :)
Read More
      edit
Published 9:18 PM by with 0 comment

Dua Puluh Satu



Aku sudah 21 tahun. Ah, aku hampir lupa. Ternyata di tengah kemelut skripsiku, usia masih bisa bertambah *yaiyalah*

Dua puluh satu. Usia dewasa. Sungguh aku bersyukur diberikan pandangan yang semakin luas dan jiwa yang positif dalam melihat kehidupan ini. Aku ingin menjadi bijak. Kapan aku bisa menjadi bijak? Tahun ini, bisakah? Aku ingin bijak dalam menjalankan peranku sebagai makhluk yang ditunjuk penciptanya untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan segala yang aku bisa, dan dengan ijin penciptaku, aku mau menjadi bijak.

Bagiku dunia masih sama indahnya seperti dahulu. Ya, aku tahu sudah terjadi kisah nyata manusia membantai manusia, tanah negeri yang dibanjiri darah syuhada, dan saudara sebangsa yang saling menikam demi kekuasaan. Aku tahu itu terjadi, namun bukan hanya kenyataan yang bisa kita lihat untuk dapat menilai sesuatu, melainkan cara kita memandang dan keyakinan kita akan adanya perbaikan. Aku memandang semua itu sebagai sesuatu yang pilu, namun aku masih yakin tentang sisi baik manusia. Fa alhamaha fujuurohaa wa taqwaaha. Maka Dia mengilhamkan jalan kejahatan dan ketaqwaannya. Jadi sudah jelas bahwa kebaikan itu ada dalam diri tiap manusia, maka rasanya tidak salah jika berharap sisi baik itu tercerahkan pada setiap manusia dan menjadi alasan terbaik untuk mendamaikan segala macam perang. Itulah mengapa aku masih bisa memandang dunia masih sama indahnya seperti dahulu, karena aku masih meyakini hal yang sama. Semoga ini merupakan salah satu cara untuk menjadi bijak.

Dua puluh satu. Aku merasa melayang. Dihembus angin yang juga meniup jarum jam hingga bergerak sedemikian cepatnya. Andai aku tahu aku berada di paruh waktu yang mana dalam hidupku ini. Apakah aku berada di setengah kehidupanku, sepertiga, atau tiga perempat. Andai aku tahu, aku mungkin tak akan bermimpi terlalu tinggi karena terlalu cermat memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk meraih setiap impian, hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak bermimpi jika akhir waktuku kurasa telah dekat. Aku merasa melayang. Aku akan ikut bergerak bersama jarum jam. Melayang. Bukan lagi melangkah. Bersama sejuta impianku.

Bagiku aku masih muda. Tak peduli sudah ada predikat mahasiswa semester tua melekat padaku. Tak peduli sudah berapa orang teman yang punya anak dan anak-anak itu memanggilku tante. Aku masih melihat jalanku terbentang jauh di depanku, dengan ujung yang tak bisa kuperkirakan namun kuharapkan itu surga yang menungguku dengan pintu terbuka. Aku masih muda. Aku masih bisa menari dan berlari di tengah badai. Aku masih bisa menutup mata dan merasa menjejakkan kaki di hamparan rumput lembut serta merasakan cahaya matahari sore menghangatkan wajahku yang tersenyum lebar. Aku masih bisa merentangkan tangan dan mengatakan diriku sedang memeluk langit.

Namaku Chyntia Tresna Nastiti. Aku dua puluh satu tahun dan aku akan memaknai hidupku dengan seindah-indahnya manusia bisa memaknainya.

Read More
      edit