Sunday, December 25, 2016

Published 7:40 AM by with 0 comment

Little Reunion


For a melancholic person, having friends like them is something worth to write.

Dani dan Ulil. Dua cowok ini aku temukan di kehidupan kampus yang hectic luar biasa. Yang satu polos tapi agak kaku, yang satu lagi konyol tapi polos. Dua-duanya kreatif dan suka bikin karya yang anak farmasi kebanyakan pada nggak bisa.

Kami bertiga sebenarnya sibuk sendiri-sendiri, berdiri di atas kepentingan organisasi yang berbeda, yang satu ikut lomba karya ilmiah mulu, yang satu sibuk di rohis mulu, yang satu sibuk jadi sekretaris mulu (bisa ditebak kan siapa yang jadi sekretaris mulu). Somehow aku bahagia sering menemukan mereka di sekitaran kampus walaupun dalam kondisi mengenaskan semacam lagi duduk bengong di depan laptop di depan lab kimed atau berjalan terlunta-lunta dengan dahi berkerut-kerut akibat kebanyakan mikir. Hahaha.

Waktu musim ujian, kami berjuang agar terjaga sampai dini hari, kalau bisa sampai pagi. Mereka berdua kadang belajar bareng di kosan lalu menghubungi aku lewat sms atau chat. Jadi ceritanya belajar bersama jarak jauh. Ya kadang resek juga sih kalau dipikir-pikir, jam setengah dua malam, kalau aku sudah selesai belajar tapi mereka belum, hpku nggak berhenti bunyi.

"Cin iki yaopo?"

“Ngantuuuk.”

"Duh aku durung mari, ojok ditinggal turuu."

Ulil nih yang biasanya kayak gitu.

Lalu besoknya waktu ujian lingkaran mata rasanya udah lebih hitam dari matanya panda.

Aku sering terlibat organisasi dan kompetisi yang sama dengan Dani, tapi kalau sama Ulil sepertinya saat kepanitiaan SE aja. Itupun lagi-lagi jadi sekretaris. Kalau bukan dia yang jadi ketua, nggak bakalan aku terima job itu *jadi ini ceritanya terpaksa? hahaha, eh nggak boleh terpaksa ding, nanti nggak dapat pahala.

Selain itu, kami sering sekelompok praktikum dan tugas. Mulai dari praktikum di lab sampai kelompok tugas yang beraneka macam semacam bikin presentasi, acara talkshow atau bikin video. Dan kelakuannya ada-ada aja.

Dulu sempat terbesit pikiran, if one day i marry one of these guys, i will be the luckiest woman in earth. At least, another man that looks alike. Secara aku mengenal mereka nggak sebentar, tau kalau mereka tipe orang yang baik dan bertanggung jawab, punya nilai plus dibandingkan orang di sekitarnya. Walaupun kadang saling bertingkah menyebalkan, kami nggak pernah sampai bertengkar. Yaiyalah mereka cowok. Trus mereka ini tipe yang one for a lifetime. Sekalinya mencintai seorang wanita, berarti itu untuk selamanya. Tssaaahh.

Lama-lama Ulil terlihat mempunyai niat menjodohkan aku dengan temannya yang polos tapi agak kaku itu. Waktu itu aku istilahnya "moh moh temen". Padahal ya Lil, itu cuma bilang nggak mau di mulut doang. Di dalam hati siapa tau malah berdoa mengaminkan. Hahaha. Akhirnya Ulil pun mengurungkan niatnya menjadi perantara antara aku dan Dani.

Aku juga sempat berharap, sampai nanti-nanti walaupun kami sudah lulus, sudah berkeluarga, sudah jadi orang sukses, kami akan saling mengunjungi. Waktu itu aku belum tau apakah kami ini tipe orang yang deket pas lagi ada butuhnya aja atau yang selamanya bisa saling berbagi, tapi semoga sajalah yang kedua, karena tipe teman yang pertama sudah banyak, baik pas ada butuhnya aja, terutama butuh pas ujian, pas belajar, pas ngerjakan tugas. Setelah masa belajar selesai, aku nggak dianggep. *no offense*

Sekarang, saat aku dan Dani akhirnya 'dipertemukan' oleh Allah, dan semakin dekat dengan hari pernikahan. Tentu saja Ulil jadi orang yang sangat berbahagia. Dia juga tau garis besar rencana kami ke depannya. Seringkali aku bilang, "dungakno yo lil.", lalu dia menjawab dengan penuh takzim, "takdungakno cin, mugo-mugo yo. Aamiin." Berasa minta doa ke mbah kyai aja ya.

Begitu juga dengan kisah hidup Ulil. Aku dan Dani sudah jelas akan selalu mendukung (dan menggodanya sampai salting sebagai balasan kelakuannya dulu yang sering membuat aku dan Dani salting).

Aku baru menyadari, ternyata ketulusan untuk saling mendoakan itu memperkuat silaturahim. Doa menembus jarak dan waktu, jadi keduanya bukan masalah selama kita masih ingat mendoakan satu sama lain. Kalau ada teman-teman kita yang terasa menjauh dan tidak kunjung kembali, mari kita lihat apakah kita masih saling mendoakan satu sama lain?

So, Ulil, which side are you now? My bridesmaid or his best man? Hmm... I understand if you don’t want to be my bridesmaid as the attire doesn’t fit in you, so you could be his best man (and let your spouse to be my bridesmaid maybe hahaha).

Read More
      edit

Tuesday, December 13, 2016

Published 8:51 PM by with 0 comment

Saat gurumu bertanya, “ada pertanyaan?”








“Ada pertanyaan?”

Begitu biasanya guru dan dosen kita bertanya setelah selesai menjelaskan suatu materi. Sebagai jawaban, murid-muridnya hanya diam tak bersuara. Kalaupun ada yang bertanya, paling satu-dua, dan hanya anak itu-itu saja. Lainnya diam seribu bahasa, entah sudah paham atau tidak paham sama sekali.

Ketika jaman sekolah, aku termasuk yang paling tidak berani bertanya. Kadang karena nggak ngerti sama sekali. Kadang punya pertanyaan tapi hanya berani nanya di dalam hati. Mungkin juga karena gurunya nanya “ada pertanyaan?” dengan muka tidak ingin ditanyai makanya yang mau nanya jadi takut. Hahaha.

Ketika kuliah aku juga masih sempat seperti itu. Saat dosen melontarkan pertanyaan “ada pertanyaan?”, hatiku langsung bergemuruh *halah lebai. Mau nanya, deg-degan. Mau nggak nanya, sedih. Galaunya udah kayak lagi ditembak aja. Memang dasarnya tukang nanya, tukang protes, tukang kepo gini, terasa sedih kalau nggak nanya. Akhirnya, ketika sudah susah payah menguatkan hati, sesi pertanyaan ditutup.

“Yak kalau sudah tidak ada pertanyaan, kuliah saya akhiri sampai di sini.”

Akupun lemas. Kelamaan sih mikirnya.

Kalaupun aku bertanya biasanya karena tangan diangkat paksa atau habis sikut-sikutan sama teman sebelah karena dia sebel sama aku yang dari tadi penasaran tapi nggak berani bertanya.

Sampai akhirnya aku bertemu teman yang bercerita tentang masa kecilnya. Ketika sekolah dasar, dia termasuk anak yang tidak pintar. Nilai-nilainya jelek. Dia banyak nggak ngertinya. Lalu dia nangis ngadu ke papanya. Oleh papanya dia dibilangin gini, “kamu kalau nggak ngerti, tanya ke gurunya. Jangan malu dan takut. Orang bilang kamu bodoh, biarin. Orang bilang apapun biarin, pokoknya kamu jangan pernah takut bertanya kalau nggak ngerti.” Kemudian sejak saat itu dia jadi anak yang kritis dan berani bertanya. Percaya dirinya pun meningkat, belajarnya semakin rajin, sehingga nilai rapornya membaik.

Dari cerita itu aku belajar bahwa bertanya itu bukan sesuatu yang salah. Jadi nggak boleh malu, nggak boleh takut. Aku sejak kecil juga sudah terbiasa bertanya macam-macam ke mami dan papa. Jadi kenapa waktu sudah besar nggak berani bertanya ke dosen?

Aku pun berubah sedikit demi sedikit untuk berani mengangkat tangan dan bertanya di kelas. Kalau masih ragu, aku mengangkat tangan sambil merem. Nekat aja dah, nggak burket juga kok. Meskipun kadang kalau nanya suka belepotan dan harus diulang karena dosennya bingung, aku tetap bertanya. Kadang ada juga teman yang waktu aku nanya dia menunjukkan ketidaksukaan karena kuliahnya jadi agak memanjang akibat pertanyaanku, atau karena dia sudah tau jawabannya dan melengos. Aku acuh tak acuh. Mumpung masih kuliah, mumpung masih ada orang yang bisa ditanyain. Belum tentu orang lain yang tidak bertanya itu lebih pintar, bukan?

Seiring berjalannya waktu, aku berkesempatan mengisi materi di seminar dan semacamnya di kampus. Di kesempatan menjadi public speaker itu, aku semakin memahami makna “ada pertanyaan?” yang terlontar di akhir materi. And who knows the grateful feeling when the questions come, and what a relief when they don’t come hahaha.

Sekarang salah satu job desc-ku adalah menjadi trainer untuk level staff dan operator di perusahaan. Setelah memberikan training, kalimat “ada pertanyaan?” sudah otomatis keluar dari mulut. Sering juga di awal materi aku bilang, “kalau ada pertanyaan, boleh langsung angkat tangan ya.” It means that I really wonder your question and feedback, so come on ask me something. Ternyata setelah menjelaskan lalu ada yang bertanya itu rasanya bener-bener penghargaan banget buat seorang speaker. Oh berarti aku didengarkan. Level semangatku langsung naik beberapa tingkat.

Aku selalu berharap ada pertanyaan, apapun pertanyaannya. Penting atau tidak penting. Sulit atau gampang. Kalau aku tidak bisa menjawab, biasanya aku menjanjikan untuk mencari jawabannya dan menghubungi si penanya kalau sudah menemukan jawabannya. Seringkali pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan bahwa materinya ada yang kurang sehingga harus ditambahkan atau diperbaiki di kelas berikutnya.

Jadi sekarang saya ngerti perasaan dosen, guru, trainer, speaker ketika mereka mendapat pertanyaan. Percayalah, mereka senang sekali mendapat pertanyaan (tapi nggak tau sih ini berlaku untuk semua orang atau nggak). Nggak setiap speaker dapat sertifikat atau plakat di akhir materi, jadi berilah penghargaan berupa feedback dan pertanyaan. Itu sudah sangat membahagiakan mereka kok. Buat adek-adek yang masih sekolah atau kuliah, jangan pernah ragu untuk bertanya. Pandanglah tindakan bertanya itu sebagai tindakan untuk menyenangkan hati guru kita, bukan sesuatu yang menakutkan dan akan membuatmu dibenci. Okay? Pesan ini disampaikan oleh trainer yang lagi curhat. Hahaha.
Read More
      edit

Sunday, October 23, 2016

Published 10:15 AM by with 0 comment

Weekend Ngapain?



Ah, long time no see you, blog.

Aku lagi terjebak malming sendiri di depan TV nonton Harry Potter. Laptopku sedang rusak, kalau dinyalakan cuma nyala bentar lampu powernya terus mati lagi. Mati pet. Mau booting aja dia nggak sanggup. Kasian dia kelelahan. Lebih kasian lagi aku sih. Pas lagi ada yang harus dikerjain, penting banget. Huhuhu. Beruntungnya, pas si laptop rusak lagi diservis, tiba-tiba dapet pinjeman laptop spesial dari camer. Makasih ibuk camer. :)

Kalau weekend gini, kegiatanku biasanya berputar pada dua kota : Surabaya dan Nganjuk. Kalau minggu ini di Surabaya, bearti minggu depan di Nganjuk. Begitu seterusnya. Tapi kali ini agak berbeda. Minggu lalu aku di Surabaya, dan minggu ini juga di Surabaya. Terus ada mas baik hati yang ngajak jalan dan belanja apa saja yang aku mau. Aku langsung merasa seperti princessss.

“Aku mau sepatu sama sandal di matahari ya.”

“Iya, boleh.”

“Aku nanti ke carefour ya beli alat-alat mandi.”

“Iya, boleh.”

“Nanti beliin mobil ya di dealer depan.”

“……..”

Aku sampai ngebatin, ternyata hari yang diimpikan semua cewek di dunia ini beneran ada ya. Belanja apapun boleh. Apapun dibeliin. Wuuuw. Yang dibelanjain lama-lama jadi ngelunjak, dan yang ngajak belanja pening kepalanya. Belanja harta-harta tersebut tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk seserahan. Ah, the best part of being a bride to be emang “shopping for seserahan” kok. In this case, Im thankful Im a Javanese, yang prosesi pernikahannya adaaa aja, termasuk ngasihin sesearahan dari pihak pengantin pria ke wanita. Hahaha. Emang nikahnya kapan? Rahasia. Berita pernikahan dan khitbah tidak akan diumumkan sebelum waktunya, kecuali pada orang-orang terdekat, bukan? Hehe.

Strategi untuk beli seserahan kami adalah : CATAT DAN CICIL. Catat listnya. Sedikit-sedikit. Kumpulin barangnya. Lalu wow, tiba-tiba udah selemari! Biar nggak kerasa berat belinya dan bisa mikir apa yang kurang, apa yang sudah kebeli. Ini penting, terutama buat cewek yang sense of shoppingnya nggak asik kayak aku gini. Kalau belanja nggak kuat lama-lama, sekalinya belanja nggak pernah lengkap, ada aja yang kelupaan.

Minggu depan harusnya aku pulang ke Nganjuk, tapi tiba-tiba mami ngasih tau ada jadwal workshop di Batu minggu depan. Aaaa. Terus di Surabaya lagi dong. Si mas minggu depan ada pengajian di Malang. Aaaa. Nggak ada temennya dong eke minggu depan. Itu artinya 'mbatang' seharian di rumah. Kalau dipikir-pikir, ternyata di umur segini lingkup kehidupanku makin lama makin menyempit. Rasa semacam ingin balas budi ke orang tua dan keluarga semakin besar. Aku sudah nggak ambil pusing kalau nggak punya waktu buat diriku sendiri, atau jalan sama teman-teman. Itu prioritas ke sekian. Jadi kalau weekend, tidak ada yang lebih indah daripada menghabiskan waktu bersama mami atau ngurusin persiapan ini itu sama mas.

Doakan semuanya lancar ya.

Aku mau melanjutkan kerjaan yang sangat teramat penting. Have a great weekend.

#latepost
Read More
      edit

Sunday, June 26, 2016

Published 2:21 PM by with 1 comment

Worklife Story #2


Nggak kerasa udah hampir setahun aku kerja. Time flies! Berarti kan tandanya aku mayan sibuk dan berguna ya haha.

Kalau diliat2 sih kerjaanku seasonable. Pas high season ya sibuk banget, ngerjain ini itu, jalan kesana kemari. Pas low season, seharian cuman duduk depan komputer - jalan ke tempat printer - tanda tangan - baca-baca - update gosip sama ibuk2 - duduk depan komputer lagi. Contohnya sekarang ini niiih. Selama puasaan low season udah dua minggu, bikin tambah mager, dan tambah banyak ghibah aja. Beginilah kalau gaulnya sama ibuk-ibuk (p.s. di bagianku semua karyawannya wanita dan rata-rata sudah menikah, sudah punya anak).

Well, kalau boleh diakui, ternyata pengalaman kerja setelah lulus itu penting juga. Meskipun kita punya rencana lain seperti kuliah di jenjang yang lebih tinggi, atau mau menikah dan membangun keluarga, tapi pekerjaan pertama kita setelah lulus kuliah itu somehow membantu kita menemukan arah, menetapkan langkah selanjutnya, membantu mengukur pencapaian tujuan hidup kita.

Aku sama sekali nggak berencana bekerja langsung setelah lulus pendidikan profesi karena mikirnya jadi praktisi itu nggak keren-keren amat, dan pasti rutinitasnya bikin jenuh. Jadi aku pengeeeen banget kuliah S2 kemudian jadi dosen, konsultan dan peneliti. Aku suka sekali hal-hal berbau akademik dan saintifik semacam itu. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Akhirnya sekarang aku jadi praktisi di industri.

Mmmm... kalau boleh jujur, aku memasuki dunia kerja dengan kepercayaan diri yang runtuh, rendah diri dan merasa tidak berharga karena gagal di seleksi LPDP. Hahaha lebai, tapi emang gitu kok.

Kemudian Allah menggantinya dengan hal-hal indah setelah aku mengikhlaskannya.

Salah satu motivasiku dalam bekerja adalah ngumpulin duit (ah elaah matrek wkwkwk). Salah satu lho, bukan satu-satunya atau nomor satu. Catat itu hahaha. Kenapa? Karena aku ingin segera mandiri. Malu cuy, usia udah 22 tahun, usia produktif, masih minta duit ke mami. Biarkan mami fokus ngumpulin uang untuk biaya nikah anak-anaknya (mangat mi, biar anaknya cepet nikah hahaha). Aku juga ngumpulin modal buat les IELTS, tes IELTS, apply ke uni. Impianku untuk kuliah lagi masih terus kuperjuangkan, dan bakalan lebih bangga kalau untuk meraih itu semua, kita nggak ngerepotin orang tua. Ya, kan?

And do you know what is the best part of earning money? Kita bisa ngasih uang saku ke adek-adek kita, atau ke saudara-saudara kita. Kalau ada krucil-krucil minta dibeliin ini-itu dan kita bisa ngebeliin, even the simplest thing like jajan di indomaret atau sebungkus pentol, rasanya tuh seneeeeng banget. Ya kadang pada ngelunjak dan aku gemes pengen ngejitak.

Itulah yang membuat aku bersyukur ketika
bekerja. Jadi motivasinya bukan ngumpulin uang buat hedon-hedon, beli sepatu satu jutaan atau hp sepuluh jutaan, tapi untuk membuat diri kita dan orang lain merasakan manfaat dan keberkahan dari pekerjaan kita.

Beruntungnya sebagai cewek, aku nggak dikenai kewajiban menghidupi keluarga. Beda sama cowok, begitu masuk dunia kerja, harus siap ngumpulin uang untuk membangun keluarganya kelak. Biasanya sih gitu. Ada juga yang langsung menjadi tulang punggung keluarganya, membiayai sekolah adeknya, dll. Itu benar-benar keren.

Sebenarnya gajiku nggak seberapa dibandingkan teman-teman yang bekerja di jakarta dan sekitarnya, tapi alhamdulillah selalu cukup dan bisa nabung soalnya tinggal di rumah sendiri, nggak ngekos, nggak mikir beli makan hihihi. Berdasarkan hasil kepo ke beberapa teman yang kerja di industri di sekitaran jakarta, aku masih merasa beruntung. Ternyata jumlah saving kami sama, bahkan kadang aku bisa lebih banyak. Ini pertimbangan penting lho dalam memilih pekerjaan. Percuma gaji besar, tapi biaya hidup besar dan gaya hidup waah banget. Selain nggak bisa saving banyak, resiko punya penyakit degeneratif kayak diabetes, hiperlipidemia dan hipertensi juga lebih tinggi, karena beban kerja berat dan suka makan yang nggak sehat. Mmm aslinya ya sama aja, aku suka jajan nggak sehat, padahal beban kerjaku nggak berat.

Oya satu lagi yang harus dipikirkan waktu milih pekerjaan: keluarga. Dulu aku pengeeen banget kerja di tempat yang jauh, di perusahaan keren, gaji besar, dan semacamnya. Ala-ala ambisi freshgrad lah. Tapi sayangnya nggak dibolehin mami. Aku dibolehin kerja di sekitaran Jawa Timur aja. Kesel awalnya, apalagi liat teman-teman merantau ke jakarta dengan bangga. Semakin minder aja gueh. Oke akhirnya aku ngalah, kerja nggak jauh-jauh. Surprisingly, aku merasakan hikmahnya beberapa bulan kemudian. Ternyata rasanya seneng banget bisa menyeimbangkan waktu untuk bekerja dan bertemu dengan keluarga, sedangkan teman-teman yang kerjanya jauh di rantau udah pada pengen balik, kebanyakan homesick. Itu baru beberapa bulan lho, belum setahun.

Akhirnya aku menyadari, kerja itu beda dengan kuliah. Ketika kita bekerja, pulang ke rumah adalah sesuatu yang membahagiakan, lebih dari ketika kuliah. Semua kepenatan menguap begitu kita melihat keluarga kita di rumah, apalagi makanan sudah tersedia di meja. Jadi aku bersyukur banget bisa tiap hari pulang ke rumah, kalau weekend bisa kencan atau ngumpul sama teman-teman, bahkan seminggu tiga kali aku bisa les bahasa inggris. Memang gajiku nggak seberapa, tapi sebagai gantinya Allah memberikan aku semuuuaaa itu, yang aku yakin nggak bisa dibayar dengan gaji sebesar apapun. Buat kalian yang akan segera lulus (terutama lulus pendidikan profesi Apoteker), you have to consider it well. Nggak usah ikut-ikutan teman. Dapat tempat kerja prestis bukan berarti kalian punya segalanya. Toh sama aja kalian jadi karyawan. Nggak usah gengsi juga. Rejeki orang sudah diatur dengan spesifik. Selama pekerjaannya halal dan barakah, dan kalian bisa berdiri di atas kaki sendiri, bahkan bisa membantu orang-orang di sekitar kalian, don't ever doubt your own decision.

Last but not least, kita masih muda. Jangan sampai berpikir kalau hidup cuma beralur kuliah-lulus-kerja-nikah, dan selama kerja cukup puas dengan kegiatan bangun-kerja-tidur-hedon2-kerja. No way. Masih banyak kesempatan untuk menjadikan hidup kita lebih seru. Misalnya kejar beasiswa s2 kek, ikut les-les yang disukai kek, ikut pengajian kek, ikut komunitas hobi kek, ikut lomba fotografi kek, jadi ketua RW kek. Dan kek kek lainnya. Pilih mana, "work hard, play hard" atau "work hard, live a life"? ;)

Sekian meracau hari ini. Selamat menjalankan ibadah puasa. Selamat menikmati THR.

*ditulis sambil ngantri tiket kereta buat mudik lebaran* *ngantrinya tiga jam cuy, sampe bisa selesai ngetik satu artikel gini di hp*

Read More
      edit

Thursday, March 17, 2016

Published 7:51 PM by with 0 comment

Dari Kegagalan



Allah sedang mengajariku dari kegagalan.

Tidak semua harapan harus terpenuhi. Tidak semua angan harus terwujud. Begitu kah?

Mungkin kegigihanku sedang diuji. Aku hanya harus berusaha melewatinya, sebisa mungkin, sambil terus berdoa memohon kekuatan.

Aku mungkin belum cukup baik untuk kuliah ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin Allah sedang menyiapkan diriku.

Yang aku tau, takdirnya tak pernah salah, tak pernah mengecewakan.

Aku hanya membutuhkan waktu untuk bangkit. Dan aku akan bangkit.

Mungkin bukan sekarang waktunya menikmati bangku kuliah lagi. Mungkin bukan sekarang waktunya berkutat dengan tugas dan ujian. Mungkin bukan sekarang waktunya mengabdi pada negeri.

Mungkin nanti.

Teruslah berprasangka baik. Allah sedang merajutkan kehidupan terbaik untukmu. #Latepost
Read More
      edit