Friday, December 10, 2021

Published 3:38 PM by with 0 comment

Menurut Kamu?

*latepost 

Hello.

Sorry that today I’m about to be sharp.


Aku kepikiran mengenai fenomena di dunia virtual belakangan ini, khususnya tentang influencer muda yang bertalenta, pintar, cerdas dan sekuler, yang kayaknya hampir semua anak muda mengenalnya. Kapan hari dia menjawab pertanyaan “menurut kamu, nikah beda agama itu gimana?”, dan kurasa dia kurang bijak menjawabnya. Sebelumnya dia juga melontarkan pendapat tentang childfree, yang juga kurang bijak. Sebenarnya, ini lebih mikirin mereka yang kena influence-nya, ya.


Aku pernah menjadi seperti mereka sekitar 15 tahun yang lalu. Saat itu belum ada instagram, tapi sebagai anak yang ingin melihat dunia lebih luas, aku ‘bermain’ di dunia virtual juga. Bagiku, yang paling keren saat itu adalah milis. Di sana kita bisa melihat banyak orang dengan minat yang sama saling melempar ide dan merespon. Aku bergabung dengan milis yang isinya penulis-penulis muslim se-Indonesia.


Mengenal pemikiran banyak orang membuatku overwhelmed. Sebagai anak yang cukup sering merasa kesepian di luar jam sekolah, aku menikmati cara berteman secara virtual ini. Dan tentu saja, muncul kekaguman pada beberapa tokoh di sana.


Saat itu aku juga berada pada fase clueless. Aku mempertanyakan banyak hal tanpa tau siapa yang tepat untuk ditanyai. Mungkin istilah jadulnya ‘mencari jati diri’. Aku juga suka menemukan bahasan hal-hal kontroversial, memperdebatkan hal remeh sampai penting, tak suka dibatas-batasi. Apakah sama dengan para follower si influencer itu yang saat ini masih berusia belasan tahun?


Aku pernah melempar pertanyaan ke milis mengenai mengapa tak boleh saling menyontek saat ujian walaupun dengan asas mau sama mau. Naif sekali, bukan?


Coba bayangkan apabila aku bertanya pada orang yang mempunyai value “Benar salah itu relatif aja. Tidak ada yang paling benar. Kalau menurut aku benar, ya aku lakukan, kalau menurutmu salah, ya jangan kamu lakukan.”, mungkin jawabannya akan begini, “Kalau menurut aku, itu gapapa, selama yang saling menyontek paham konsekuensinya. Yang penting dikomunikasikan. (emoticon senyum kelihatan gigi).”


Beruntungnya, saat itu aku berada di milis yang tepat, yang tidak memiliki value demikian. Orang-orang di milis ini jauh dari kata sekuler dan “sembrono”.


Jawaban yang kudapatkan saat itu kira-kira begini, “Kita tak bisa menormalisasi kesalahan yang umum terjadi. Menilai benar-salah atas suatu hal mestinya dari kacamata Tuhan, karenai pengetahuan dan pandangan manusia serba terbatas. Kita terbias oleh banyak faktor. Oleh karena itu, apapun pilihan yang kita punya, pedoman kita tetaplah aturan Tuhan”. Jadi kuncinya bukan “menurut aku” dan “yang penting dikomunikasikan”.


Aku butuh waktu lama sekali untuk mencerna jawaban tersebut, dan tidak puas karena itu bukan jawaban yang kuinginkan. Beberapa tahun kemudian, saat aku menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang saat ini, tetapi juga tentang mempersiapkan diri untuk akhirat kelak, aku akhirnya tahu bahwa itulah jawaban yang kubutuhkan.


Kukira jika aku mendapat sanggahan dari adik-adik usia remaja, bunyinya akan seperti ini,


“Memangnya tidak boleh menyatakan pendapat menurut aku sendiri?”


“Boleh dong. Media sosial memang bisa menjadi tempat bertukar pendapat.”


Aku tidak bilang influencer itu salah karena berpendapat. Hanya saja, pendapatnya lebih mendekatkan kita pada keburukan daripada kebaikan karena dasar pemikirannya yang sekuler. Kita harus peka terhadap hal seperti itu. Dan tentu saja, aku berharap dia lebih bisa membedakan mana pendapat yang harus bernas pada referensi yang jelas, dan mana yang boleh free talking aja. Begitulah tanggung jawab seorang influencer, I believe.


Ingat dik, umat Islam harus bangga dengan identitasnya, tidak boleh ikut-ikutan sekuler. (Lah, jadi kayak bapak2 id).


Pendapatnya harus kita perlakukan seperti informasi apapun yang berseliweran di monitor kita. Tidak bisa ditelan mentah-mentah dan harus dikroscek dengan ahlinya. Begitulah tanggung jawab follower ya, dik, apalagi kita tahu betul dia bukan pakarnya.


Jadi aku sangat memaklumi jiwa muda nan curious karena aku juga pernah seperti itu, namun juga ingin sekali mewanti-wanti agar kalian menajamkan intuisi pada kebenaran. Kudoakan banyak-banyak agar Tuhan membawa kalian bertemu dengan guru kehidupan yang baik dan menjauhkan dari segala pengaruh buruk yang menghancurkan peradaban.


Read More
      edit

Tuesday, January 1, 2019

Published 6:43 PM by with 0 comment

My Peaceful Quarter Life

2018. 25 years old.

Maw meracau boleh ya?

Waktu dengerin suara ngorok imutnya Khaza gini, tiba-tiba aku ingin meracau yang panjang biar lega. Hah siapa itu Khaza? Baby girl aku!!! Ah blog ini kudet amat ya, nggak tau cerita tentang adanya Khaza. Beda perlakuan dengan akun instagram aku yang tiap menit pengennya aku update terus. Ternyata sekarang aku lebih mengasihi instagram ya? Tapi kenangan denganmu tak lekang oleh waktu, meski kau bukan milikku. *lagunya siapa hayo?

Jadi nih, ada tokoh baru dalam kehidupan aku yang bernama Khazanah Inspiraya Muwafaqah Hamdani (iya panjaaang namanya). Saat ini hobinya nyusu, minta gendong, tengkurap, ketawa. Cerita kelahirannya aku tulis di feed instagram, tak sanggup nulis di sini. Dia amanah terbesar dari Allah sejak 2018 hingga nanti-nanti. Dia lahir di tahun yang sama dengan beberapa anak teman-teman aku, dan itu bikin aku bersyukur banget karena jadi punya banyak teman sharing tentang perbayian. Ah, jadi ibu baru tuh memang banyak tantangannya, baiknya cari teman seperjuangan untuk menghadapinya.

Lalu apa kabar bapaknya – yang memilih untuk dipanggil abi? Tetap seperti dulu, gemes-gemes romantis, ganteng dikit, nyebelin banyak. Hahaha. Aku bersyukur banget punya teman hidup macam dia. Semoga Khaza nantinya juga bersyukur punya abi seperti dia.

Sejak Khaza umur dua bulan, kami pindah ke rumah baru. Rumah kecil yang kami beli dengan segala perjuangan, yang juga diperjuangkan oleh orang tua kami, yang insyaallah terhindar dari riba. Lalu resmilah kami memulai jenis kehidupan baru : tinggal bertiga. Momi, Abi, Khaza. Siapa tuh Momi? Akuu dong. Waktu momi dan abi kerja, Khaza dititipkan di daycare. Jangan bayangkan repotnya. Apalagi tiap aku beranjak dari kasur, Khaza masih sering ikut bangun hahaha. Jangan bayangkan juga dramanya. Ibu mana yang pengen pisah sama anaknya walaupun hanya delapan jam sehari. Dulu Khaza masih belum akrab sama abi, jadi kalau dijagain abi, banyak nangisnya. Yaudah deh tiap pagi abi yang turun ke dapur, nyiapin sarapan, nyeterilin perintilan pompa asi, nyiapin air mandi Khaza, sampai nyiapin tas aku dan Khaza. Sementara aku nyusuin Khaza, lalu mandiin Khaza dan nyiapin diriku sendiri. Kadang-kadang tangan abi bau bawang dan bajunya bau minyak telon waktu kucium tangan dan peluk sebelum berangkat kerja. Gimana eike nggak mbrebes mili terharu coba. Nggak semua bapak-bapak rela kayak gitu.

Rumah kami kecil, jauh lebih kecil daripada rumah orang tua kami. Pas awal pindah, aku bawaannya sumpek mulu. Mau naruh apa-apa susah, kurang tempat. Belum punya meja dan kursi. Tempat jemuran seadanya. Kalau hujan, baju basah dijemur di teralis jendela. Dan masih banyak hal menantang lainnya yang bikin aku akhirnya nangis sesenggukan. Belum lagi nikmatnya krisis di tanggal tua yang sebelumnya nggak pernah aku rasain. Pernah juga malam-malam, pas aku sudah lelah sekali pulang kerja, hujan deras, lampu mati, rumah bocor, abi belum pulang dan Khaza rewel karena sumuk. Duh rasanya... tapi setelah listrik nyala, hujan reda, Khaza tidur dan abi pulang, semua kegundahan itu pergi. Benar-benar hidup di bumi manusia nih eike. Kemarin-kemarin sebelum punya bayi dan rumah baru, aku masih tinggal di kahyangan.

Mmmm.

Terus work life aku baik-baik saja. Pasca cuti melahirkan tiga bulan, kerjaan tiada habisnya. Alhamdulillah. Nggak apa lah kerjaan segunung, aku masih bersyukur dikasih kesempatan buat breast pumping walau mencuri waktu, berdusta pada guru. Sungguh aneh tapi nyata, tak kan terlupa~ eh udah. Beberapa hari sebelum masa cuti habis, aku update status tentang payung hukum asi eksklusif bagi working mom dong, biar dibaca sama atasan, biar takut dihukum kalau nggak ngasih kesempatan buat pumping. What a strategy yaa wkwk. Nanti kapan-kapan kita bahas work life story edisi kegalauan mamak-mamak ya.

Baiklah, sepertinya cukup sekian dulu. Sebentar lagi sudah tahun 2019 dan Khaza akan segera ngelilir mencari maknya. Semoga kita bisa menjalankan amanah kita semua dengan baik dan semakin baik. Next time semoga bisa segera #meracau lagi di sini. Wassalam.

2018. 23.09.
Read More
      edit

Monday, September 17, 2018

Published 11:32 AM by with 0 comment

Marriage Life #3.5 Latepost


Jangan tanya kenapa ada koma lima nya segala. Ini adalah tulisan jaman kapan yang rencananya mau dipost jadi #3 tapi yang nulis melupakan keberadaannya hingga sekarang.

Lagi banyak undangan nikahan dari temen nih. Tiap weekend kondangan bagaikan ritual wajib bagi kami. Selain menikah, banyak juga teman-teman yang lamaran, tunangan dan lain-lain yang berbau kembang melati. Nah sebagai pasangan yang baru saja menikah, kami kayak saingan romantis dengan mantennya. Kalau ketemu teman-teman, kami dikasih ucapan “eeh selamat ya kalian”, “eeh manten baruuuu.” Nggak salah apa ya? Tuh yang barusan nikah ada di kuade. Trus kami dengan leluasa pegang-pegangan tangan, saling nyuapin, saling bawain mangkok. Kalah tuh yang duduk di kuade. Kadang ada yang terkesiap gitu liatnya, “oiyaya udah boleh pegang-pegang ya sekarang.”

“Lebih dari pegang-pegang doang lho sebenernya.” Sahutku pelan sambil menyeruput es. Kalau keras-keras nanti dicubit Mas Dani.

Sepengamatanku, di kota besar gini pesta pernikahan menjadi bagian dari gengsi. Di daerah asal aku yang suburban alias ndeso, juga hampir sama sih, tapi di kota lebih “jor-joran”. Aku dari dulu sudah mikir, “nanti kalau aku nikah, nggak usah pake acara gede-gedean. Uangnya ditabung aja buat beli rumah.” Tapi nggak di ACC sama mami. Katanya sih, nggak mungkin nggak ngundang orang banyak. Saudara aja udah banyak bingit, belum lagi teman dan tetangga. Hmmm. Aku pengen acara seminimalis mungkin. Akad, salam-salaman, makan, foto, udah. Nggak usah pake musik, dekor, gaun dan lain-lain. Tapi kalau kata mami, “nggak pantes”. Nggak pantes menurut siapa? Akhirnya aku ngalah (sedikit). Aku mau dibikinkan acara akad, temu manten, resepsi, tapiiii sebisa mungkin tidak bermewah-mewah. Lagian mau bermewah-mewah pakai uang siapa juga, wkwk. Di tengah-tengah hedonnya masyarakat, aku ingin menampilkan betapa menikah itu bukan tentang gedung megah dan tamu konglomerat. Percuma tamunya memuji acaramu tapi nihil mendoakanmu. Percuma kalau mereka lebih pandai menyanyi dibandingkan berdoa syahdu “barakallahu lakuma…”. Gitu aja sih prinsipku.

Lalu tadi aku nggak sengaja baca di feed medsos, ada teman yang mengeluh, “maksiat dimudahkan, mau nikah dipersulit.” Aku jadi senyum miris bacanya. Semoga dimudahkan untukmu, teman. Kalau ada hajat hidupku yang kurasa sulit, biasanya aku bertanya kepada diriku sendiri, sudah benarkah niatku? Sudah lillahi ta’ala kah? Kalau belum, pantas saja dipersulit. Atau bisa jadi, ujianmu dimajukan sebelum menikah, lalu disusul kemudahan setelah menikah. Allah mungkin saja ingin memudahkanmu nantinya.

Life after marriage itu masih panjang lho. Percaya deh. Akan ada hal-hal yang lebih berarti untuk merayakan cinta dibandingkan dengan sekedar pesta pernikahan. Kalau masih nggak percaya, bolehlah kita tanya para senior kita dalam hal ini.
Read More
      edit

Friday, March 30, 2018

Published 12:23 PM by with 0 comment

A Marriage Life #7 : Sharing Ala Ibu-Ibu


Astagaaa tiba juga waktunya untuk nulis macam ibu-ibu lyfe gini, setelah sekian tahun nulis mellow-mellow lyfe. Memang ya, tulisan itu ikut bertumbuh bersama jiwa penulisnya. Berhubung penulisnya sudah (agak) berjiwa ibu-ibu, mari kita samber aja topik ibu-ibu yang sepertinya banyak dicari, yaitu tentang menunda kehamilan dan promil atau program hamil yang dua-duanya pernah saya jalani. Kali aja bermanfaat yak. Semoga yang sudah menikah bisa terinspirasi dan yang belum menikah bisa bertambah pengetahuannya.

Waktu awal menikah, saya dan hubby tidak merencanakan segera punya anak. Banyak alasannya, ada yang kami bicarakan dengan orang lain dan ada pula yang kami sembunyikan. Paling kalau pas bercanda, saya jawabnya, “kan kita pengen pacaran dulu mumpung masih muda.” Itu beneran, nggak bohong. Banyak yang mendukung, banyak juga yang tidak. Kontroversial. Hahaha. Secara kita tinggal di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, jadi ya wajar kalau ada aja orang yang bilang, “jangan ditunda ih, nggak baik lho.”, “nanti pamali.” dan lain-lain. Gimanapun mau punya anak, mau nggak punya anak, mau punya anak satu atau sepuluh, mau sekarang atau mau besok, itu tergantung keputusan kami dong ya, dan tentunya tergantung Yang Maha Pencipta, mau ngasih kapan untuk kami, dan kami yakin itu adalah momen terbaik yang diputuskan oleh-Nya buat kami. Toh nanti yang bertanggung jawab terhadap anak itu juga kami sebagai orang tuanya, bukan orang yang rajin nanyain kapan punya anak. Jadi kami merasa punya hak untuk mengatur tentang masalah punya anak.

Bahkan kami nggak ngomongin tentang penundaan ini ke orang tua dan mertua. Soalnya udah pada ngarep punya cucu. Tiap ketemu dikode-kode mulu. Hadeeh. Ya ya ya, saya paham kok, apa lagi sih harapan besar orang tua setelah menikahkan anak-anaknya selain punya cucu yang lucu-lucu. Jadi yaudah kami diem aja... sambil elus dada. Hahaha. Mereka taunya kami juga berusaha punya anak. Kalau misal hidup di barat, ya oke-oke aja kalau mau berencana kayak kami gini.

Walaupun menunda, kami nggak pakai alat bantu KB hormonal kok, soalnya pas kuliah dulu saya sempat mempelajari sendiri lumayan detail tentang hormon. Apa ya textbooknya dulu, udah lupa. Salah satu textbook yang dipakai di kuliah Farmasi Masyarakat kalau nggak salah. Dari situ saya tau kalau mengatur hormon tidak selalu semudah kata iklan pil KB, yang bilangnya kalau minum rutin pil KB nya, nanti begitu berhenti minum, bisa langsung ‘dung’. Tidak semua orang punya hormon yang ‘nurut banget’ sama alat bantu KB apapun. Apalagi yang kayak saya ini, siklus menstruasinya lebih lambat daripada orang kebanyakan, yaitu 40 hari, dan pernah ada riwayat gangguan hormon yang bikin perdarahan terus selama sebulan. Takutnya nanti malah nggak karu-karuan. Belum lagi efek sampingnya pil KB yang bikin frustasi. Jadi gimana cara menundanya? Pakai hitungan kalender masa subur aja, juga dengan cara tertentu dalam berhubungan (maaf) agar tidak terjadi pembuahan. For further info, bisa search tentang masa subur di google, terus baca di website yang kredibel yah.

Nah, kira-kira 8 bulan setelah menikah, setelah lumayan banyak kisah seru dan haru yang kita lalui, dan kayaknya sudah puas pacaran, kami mulai ingin punya anak. Jadi di fase ini banyak air mata tumpah karena berdoa ingin dikaruniai anak. Trus pernah kepikiran juga, apa promil ke dokter aja yah sambil check up kondisi genital, soalnya saya belum pernah periksa kesehatan yang semacam tes hiv, papsmear, dan semacamnya. Hubby alias Mas Dani sebagai suami yang baik selalu nyuruh sabar sambil terus berusaha yang alami dulu, nggak usah tergopoh-gopoh.

Sambil terus berdoa minta diberi anak, saya mulai belajar, baca-baca dan tanya sana-sini tentang promil. Kemudian dengan insting seorang apoteker (insting apaan ini wkwk), saya memutuskan untuk memperbaiki nutrisi saya dan hubby untuk mendukung kehamilan.

Kondisi kami seperti ini :

Mas Dani hampir tiap hari jajan gorengan di kantor, terus suka diam-diam beli fast food sebelum jemput saya pulang kerja, tiap hari terpapar polusi jalanan, trus kerjanya berkutat dengan obat dan kadang dispensing obat sitostatik yang saya pikir pasti ada resiko terpapar zat karsinogenik walaupun sudah dilakukan sesuai prosedur. Sedangkan saya, lingkungan kerja relatif aman karena kebanyakan stay di office. Hanya sesekali aja beresiko terpapar zat kimia. Tapi saya sering merasa capeeek banget tiap hari. Jadiii kesimpulannya, kami butuh antioksidan. Pilihan kami jatuh pada suplemen vitamin E, sayur hijau (sawi, bayam, kailan), wortel, tomat, alpukat. Trus buat saya sendiri, saya tambah suplemen asam folat dan susu (saya pakai prenagen esensis). Ada penelitian yang mengatakan bahwa wanita yang asupan asam folatnya tinggi punya kemungkinan hamil yang tinggi juga. Selain itu, kehamilan yang direncanakan dengan asam folat membuat resiko kerusakan batang otak janin lebih kecil daripada yang tidak direncanakan. 

Seminggu dua kali kami minum degan ijo karena secara empiris berkhasiat menyuburkan kandungan dan membersihkan toksin. Sesekali kalau ada kurma, saya bikinkan rendaman kurma dalam air, alias infus water, buat tambahan glukosa dan antioksidan dan untuk mendapatkan manfaat lain dari kurma, sesuai sunnah Rasulullah.

Mas Dani sudah saya kasih pengertian buat ngurangin gorengan dan fast food, kalau mau ngemil pilih yang sehat aja. Saya sendiri stop jajan yang aneh-aneh. Biar lebih fit, kami yang tidak pernah olahraga ini akhirnya memilih olahraga renang (sesekali hahaha).

Kami rutinkan dah itu semua. Prosesnya nggak instan, namanya juga secara alami. Saya yang lebih pegang kendali untuk perbaikan nutrisi ini, dan Mas Dani nurut-nurut aja dijejalin apapun hahaha.  Pokoknya kami bikin kondisi kami sesehat mungkin, kalaupun belum hamil, masih dapat manfaat sehatnya kan. Dosis dari suplemen dan makanan itu saya atur sedemikian rupa agar pas, pakai insting apoteker.

Eh tapi serius deh yang namanya insting apoteker itu. Untuk memutuskan dosis segala macem untuk diri sendiri, saya lebih banyak pakai insting daripada ilmu, dan banyak benernya. Tapi kalau buat pasien, instingnya nggak boleh terlalu dipakai, ntar para dukun kalah sama saya.

Balik ke topik.

Dan yang tak kalah penting, (maaf) merutinkan berhubungan agar tidak melewatkan masa ovulasi. Sebelum berhubungan, tidak lupa kami berdoa dan Mas Dani minum madu + air hangat atau STMJ agar tubuh selalu nyaman dan hangat.

Maaf ya kalau membuat tidak nyaman membacanya. Ini udah sehalus mungkin nih penyampaiannya. Kurang halus lagi? Mungkin perlu efek face beauty. Krik.

Selama proses itu, saya sering berharap-harap cemas yang agak lebai hahaha. Misal lagi nggak enak badan, pengen minum obat, saya tespek dulu. Takutnya ntar udah positif terus saya minum yang kontraindikasi sama ibu hamil ntar nyesel dong. Trus kalau mau diajak keluar kota atau aktivitas yang bikin capek, saya tespek dulu, biar nggak kecolongan. Mau renang, tespek dulu. Mau makan nanas, tespek dulu. Terima kasih pabrik alkes di Krian yang sudah memproduksi tespek dua ribuan yang tidak membuat dompet saya bolong.

Alhamdulillah, sekitar dua bulan kemudian, usaha kami membuahkan hasil. Waktu itu jadwalnya hari kedua menstruasi, badan udah nggak enak banget tapi belum mens juga. Akhirnya seperti biasa, sebelum minum obat, saya tespek dulu. Udah kayak latah pakai tespek. Selain itu, saya berencana periksa ke dokter karena pengen promil pakai hormon (wooh mulai nggak sabar). Trus ternyata hasilnya positif, garis dua!

Saya terkesiap melihatnya. Trus saya kasih tau ke suami yang waktu itu masih leyeh-leyeh habis sholat subuh. Dia liatin terus itu tespek, terus ditaruh, terus diliat lagi, terus ditaruh lagi, terus saya disuruh pakai tespek lain biar lebih yakin. Untung masih nyimpen satu lagi yang agak mahal, tapi nggak lebih peka dari yang murah. Hasilnya positif juga. Kami senang luar biasa. Alhamdulillah. Kayak gini ternyata rasanya liat tespek positif. Seingat saya, belum pernah kami se-excited ini setelah menikah.

Sungguh ini keajaiban dari Allah. Alhamdulillahirobbil aalaamiin.
Read More
      edit
Published 12:03 PM by with 0 comment

A Marriage Life #6 : Speaking about marriage plan


Karena saya dan Mas Dani sering ditanyain, menerima curhat dan dimintain tolong macam-macam sehubungan dengan pernikahan oleh teman, sahabat, saudara yang ingin segera menikah, saya jadi kepengen buka layanan konseling rencana pernikahan sekalian WO nya. Lagian kalau konselingnya tentang obat mulu, lama balik modalnya. *Lhah kok curhatnya kayak apoteker. Kikikik.

Ini dia dua frequently asked questions yang sering mampir ke saya.

Rencana menikah umur berapa?


Jujur nih, waktu jaman kuliah dulu, saya orangnya ambi banget sama ilmu pengetahuan, organisasi, jurnalistik, sains, social event. Kayak semua yang saya temukan di bangku kuliah itu ingin saya miliki selamanya. Trus tiba-tiba ada teman yang menikah waktu masih kuliah, yang bikin saya ‘ndomblong’.

Kok bisa sih dia sudah nikah? Gue inget aja enggak.

Teman-teman saya menjelang akhir masa kuliah juga pada sounding tentang nikah-nikah gitu. Suatu hari, ada yang nyeletuk nanya ke saya, “kamu rencana nikah kapan? Habis lulus langsung ya?” soalnya gosip saya dekat sama seorang cowok di angkatan lagi santer abis. Dan karena cowok itu anak rohis, nggak mau pacaran, kalau deketin saya pasti cepet ngajak nikah, gitu spekulasi mereka. Padahal saya masih nggak merasa dideketin sih waktu itu. Hahaha.

Saya jawab, “nanti, kalau sudah umur 40 tahun.”

“Whaaat?”

“Kenapa? Masalah?”

Saya nggak bohong. Memang itu rencana sungguhan. Seperti saya bilang tadi, saya jatuh cinta pada dunia saya sendiri. Dunia yang memberi saya kesempatan, tantangan, kebebasan. Buat orang yang belum genap 20 tahun, saya merasa hanya itu yang saya butuhkan sih. Dan saya mikirnya sampai nanti-nanti juga saya ingin sibuk dengan dunia saya yang penuh manfaat itu. Begitu sudah 40 tahun, sudah banyak yang saya capai, saya baru mikir buat nikah.

Terus kenapa berubah rencana?

Karena ada yang ngelamar sebelum usia 40 tahun. Hahaha. Pelamarnya sudah masuk spesifikasi, masak iya mau ditolak? Apalagi yang ngelamar adalah si anak rohis yang kata akun-akun gosip kampus, suka sama saya. Nggak taunya ternyata dia beneran ngelamar dan ngajak nikah.

Waktu itu saya sudah lulus kuliah profesi Apoteker, sudah kerja satu tahun. Pandangan saya mulai terbuka. Saya mulai kenal banyak macam orang, bukan hanya yang seumuran, bukan hanya yang berprofesi sebagai Apoteker.  Dari hasil observasi dan ngobrol-ngobrol dengan banyak orang, saya mulai berpikir bahwa menikah bukan penghalang untuk saya tetap berkiprah di bidang yang saya mau.

Teman saya yang nikah pas kuliah udah punya anak, dan saya mulai melirik kebahagiaannya. Betapa terasa lengkap hidupnya. Betapa tidak galaunya dia di saat teman-teman sepantaran masih beriman pada lirik lagu Afgan “jodoh pasti bertemu” demi menjaga optimisme dalam hidup.

Yaudah deh, nikah aja.

Kenapa milih lelaki yang ini?

Allah yang pilihkan. Kuasa Allah bener-bener kerasa di sini. Setelah lulus kuliah, saya dihadapkan dengan banyak pilihan, termasuk urusan jodoh. Waktu itu sering ada teman-teman mama yang nanyain saya buat dikenalkan sama anaknya, sering juga ada cowok-cowok yang saya kenal sebelumnya berusaha mendekati. Banyak yang bilang saya beruntung, tapi saya berusaha tidak jumawa. Kalau benar milih jodoh itu dari hati, saya sudah memilih satu nama di hati dan saya challenge. Apakah kalau ada lelaki lain yang mendekat, akankah satu nama ini tergeser? Kalau iya, ya sudah, let it go. Kalau ternyata tidak, wah saya berhasil nih milih pakai hati. Kalau milih pakai otak, saya sudah lumayan jago dari dulu. Kalau pakai hati, baru kali ini saya terampil. Hahaha.

Terus ternyata, satu nama yang saya pertahankan ini tidak bisa tergeser dengan yang lain. Saya pun tidak berminat repot-repot membandingkan dia dengan yang lain. Dia memang tidak menawarkan keindahan dunia apapun. Tidak naik mobil waktu datang ke rumah. Belum punya rumah sendiri. Tidak mengajak saya kencan di tempat-tempat mahal. Tidak pernah membawakan bunga atau cokelat. Bahkan mahar yang dijanjikannya pertama kali tidak berupa harta, tapi hafalan Al-Quran yang dimilikinya, meskipun belum banyak. Saya tidak pernah meminta itu semua. Saya merasa cukup dengan kehadirannya dan asing dengan kepergiannya. Saya membayangkan hidup bersama dengannya setiap hari, meskipun sepertinya tak sepenuhnya indah karena kami benar-benar membangun hidup dari nol, tapi saya bisa menerimanya. He completes me!

Oya, satu lagi. Saya sudah kenal dia dari dulu banget, sejak semester satu. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama sebagai teman belajar, partner praktikum, rekan seorganisasi, dan lain-lain. Bisa dibilang dia salah satu lelaki yang tidak keluar jauh dari perimeter saya selama lima tahun. Selama itu pula dia mencintai dalam diam, walaupun saya beberapa kali terlibat affair dengan yang lain. Ah, coba saya tau dari dulu ya... Ini pelajaran buat yang lain, buat selalu menjaga hati sebelum menikah, biar nggak ada penyesalan kemudian.

Mudah bagi Allah membuat hati saya ‘sreg’ sama lelaki yang satu ini.

Sekian dulu FAQ-nya. Ada lagi yang mau ditanyakan? Hahaha.

Oya, pesan dan kesan yah.

When you, girls, meet a guy that means to be ‘someone’ in your life, and you think that he is not 100% dream guy you wanna meet, or you have not been ready to marry, you may not consider the blessed life after marriage, which I believe it’s countless. But if you still feel like no or not yet or not this guy, it’s okay, don’t blame yourself for that. Maybe you’re right, he is not supposed to be ‘the someone’. It’s better than imposing yourself and regretting later.

Itu. (sambil ngacungin jari telunjuk kayak Mario Teguh) 

Read More
      edit