Friday, March 30, 2018

Published 12:03 PM by with 0 comment

A Marriage Life #6 : Speaking about marriage plan


Karena saya dan Mas Dani sering ditanyain, menerima curhat dan dimintain tolong macam-macam sehubungan dengan pernikahan oleh teman, sahabat, saudara yang ingin segera menikah, saya jadi kepengen buka layanan konseling rencana pernikahan sekalian WO nya. Lagian kalau konselingnya tentang obat mulu, lama balik modalnya. *Lhah kok curhatnya kayak apoteker. Kikikik.

Ini dia dua frequently asked questions yang sering mampir ke saya.

Rencana menikah umur berapa?


Jujur nih, waktu jaman kuliah dulu, saya orangnya ambi banget sama ilmu pengetahuan, organisasi, jurnalistik, sains, social event. Kayak semua yang saya temukan di bangku kuliah itu ingin saya miliki selamanya. Trus tiba-tiba ada teman yang menikah waktu masih kuliah, yang bikin saya ‘ndomblong’.

Kok bisa sih dia sudah nikah? Gue inget aja enggak.

Teman-teman saya menjelang akhir masa kuliah juga pada sounding tentang nikah-nikah gitu. Suatu hari, ada yang nyeletuk nanya ke saya, “kamu rencana nikah kapan? Habis lulus langsung ya?” soalnya gosip saya dekat sama seorang cowok di angkatan lagi santer abis. Dan karena cowok itu anak rohis, nggak mau pacaran, kalau deketin saya pasti cepet ngajak nikah, gitu spekulasi mereka. Padahal saya masih nggak merasa dideketin sih waktu itu. Hahaha.

Saya jawab, “nanti, kalau sudah umur 40 tahun.”

“Whaaat?”

“Kenapa? Masalah?”

Saya nggak bohong. Memang itu rencana sungguhan. Seperti saya bilang tadi, saya jatuh cinta pada dunia saya sendiri. Dunia yang memberi saya kesempatan, tantangan, kebebasan. Buat orang yang belum genap 20 tahun, saya merasa hanya itu yang saya butuhkan sih. Dan saya mikirnya sampai nanti-nanti juga saya ingin sibuk dengan dunia saya yang penuh manfaat itu. Begitu sudah 40 tahun, sudah banyak yang saya capai, saya baru mikir buat nikah.

Terus kenapa berubah rencana?

Karena ada yang ngelamar sebelum usia 40 tahun. Hahaha. Pelamarnya sudah masuk spesifikasi, masak iya mau ditolak? Apalagi yang ngelamar adalah si anak rohis yang kata akun-akun gosip kampus, suka sama saya. Nggak taunya ternyata dia beneran ngelamar dan ngajak nikah.

Waktu itu saya sudah lulus kuliah profesi Apoteker, sudah kerja satu tahun. Pandangan saya mulai terbuka. Saya mulai kenal banyak macam orang, bukan hanya yang seumuran, bukan hanya yang berprofesi sebagai Apoteker.  Dari hasil observasi dan ngobrol-ngobrol dengan banyak orang, saya mulai berpikir bahwa menikah bukan penghalang untuk saya tetap berkiprah di bidang yang saya mau.

Teman saya yang nikah pas kuliah udah punya anak, dan saya mulai melirik kebahagiaannya. Betapa terasa lengkap hidupnya. Betapa tidak galaunya dia di saat teman-teman sepantaran masih beriman pada lirik lagu Afgan “jodoh pasti bertemu” demi menjaga optimisme dalam hidup.

Yaudah deh, nikah aja.

Kenapa milih lelaki yang ini?

Allah yang pilihkan. Kuasa Allah bener-bener kerasa di sini. Setelah lulus kuliah, saya dihadapkan dengan banyak pilihan, termasuk urusan jodoh. Waktu itu sering ada teman-teman mama yang nanyain saya buat dikenalkan sama anaknya, sering juga ada cowok-cowok yang saya kenal sebelumnya berusaha mendekati. Banyak yang bilang saya beruntung, tapi saya berusaha tidak jumawa. Kalau benar milih jodoh itu dari hati, saya sudah memilih satu nama di hati dan saya challenge. Apakah kalau ada lelaki lain yang mendekat, akankah satu nama ini tergeser? Kalau iya, ya sudah, let it go. Kalau ternyata tidak, wah saya berhasil nih milih pakai hati. Kalau milih pakai otak, saya sudah lumayan jago dari dulu. Kalau pakai hati, baru kali ini saya terampil. Hahaha.

Terus ternyata, satu nama yang saya pertahankan ini tidak bisa tergeser dengan yang lain. Saya pun tidak berminat repot-repot membandingkan dia dengan yang lain. Dia memang tidak menawarkan keindahan dunia apapun. Tidak naik mobil waktu datang ke rumah. Belum punya rumah sendiri. Tidak mengajak saya kencan di tempat-tempat mahal. Tidak pernah membawakan bunga atau cokelat. Bahkan mahar yang dijanjikannya pertama kali tidak berupa harta, tapi hafalan Al-Quran yang dimilikinya, meskipun belum banyak. Saya tidak pernah meminta itu semua. Saya merasa cukup dengan kehadirannya dan asing dengan kepergiannya. Saya membayangkan hidup bersama dengannya setiap hari, meskipun sepertinya tak sepenuhnya indah karena kami benar-benar membangun hidup dari nol, tapi saya bisa menerimanya. He completes me!

Oya, satu lagi. Saya sudah kenal dia dari dulu banget, sejak semester satu. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama sebagai teman belajar, partner praktikum, rekan seorganisasi, dan lain-lain. Bisa dibilang dia salah satu lelaki yang tidak keluar jauh dari perimeter saya selama lima tahun. Selama itu pula dia mencintai dalam diam, walaupun saya beberapa kali terlibat affair dengan yang lain. Ah, coba saya tau dari dulu ya... Ini pelajaran buat yang lain, buat selalu menjaga hati sebelum menikah, biar nggak ada penyesalan kemudian.

Mudah bagi Allah membuat hati saya ‘sreg’ sama lelaki yang satu ini.

Sekian dulu FAQ-nya. Ada lagi yang mau ditanyakan? Hahaha.

Oya, pesan dan kesan yah.

When you, girls, meet a guy that means to be ‘someone’ in your life, and you think that he is not 100% dream guy you wanna meet, or you have not been ready to marry, you may not consider the blessed life after marriage, which I believe it’s countless. But if you still feel like no or not yet or not this guy, it’s okay, don’t blame yourself for that. Maybe you’re right, he is not supposed to be ‘the someone’. It’s better than imposing yourself and regretting later.

Itu. (sambil ngacungin jari telunjuk kayak Mario Teguh) 

      edit

0 komentar:

Post a Comment

yuuk komen yuuk . . .