Karena saya dan Mas Dani sering
ditanyain, menerima curhat dan dimintain tolong macam-macam sehubungan dengan
pernikahan oleh teman, sahabat, saudara yang ingin segera menikah, saya jadi
kepengen buka layanan konseling rencana pernikahan sekalian WO nya. Lagian
kalau konselingnya tentang obat mulu, lama balik modalnya. *Lhah kok curhatnya
kayak apoteker. Kikikik.
Ini dia dua frequently asked
questions yang sering mampir ke saya.
Rencana menikah umur berapa?
Jujur nih, waktu jaman kuliah
dulu, saya orangnya ambi banget sama ilmu pengetahuan, organisasi, jurnalistik,
sains, social event. Kayak semua yang saya temukan di bangku kuliah itu ingin
saya miliki selamanya. Trus tiba-tiba ada teman yang menikah waktu masih
kuliah, yang bikin saya ‘ndomblong’.
Kok bisa sih dia sudah nikah? Gue
inget aja enggak.
Teman-teman saya menjelang akhir
masa kuliah juga pada sounding tentang nikah-nikah gitu. Suatu hari, ada yang
nyeletuk nanya ke saya, “kamu rencana nikah kapan? Habis lulus langsung ya?”
soalnya gosip saya dekat sama seorang cowok di angkatan lagi santer abis. Dan karena
cowok itu anak rohis, nggak mau pacaran, kalau deketin saya pasti cepet ngajak
nikah, gitu spekulasi mereka. Padahal saya masih nggak merasa dideketin sih waktu
itu. Hahaha.
Saya jawab, “nanti, kalau sudah
umur 40 tahun.”
“Whaaat?”
“Kenapa? Masalah?”
Saya nggak bohong. Memang itu
rencana sungguhan. Seperti saya bilang tadi, saya jatuh cinta pada dunia saya
sendiri. Dunia yang memberi saya kesempatan, tantangan, kebebasan. Buat orang yang
belum genap 20 tahun, saya merasa hanya itu yang saya butuhkan sih. Dan saya
mikirnya sampai nanti-nanti juga saya ingin sibuk dengan dunia saya yang penuh
manfaat itu. Begitu sudah 40 tahun, sudah banyak yang saya capai, saya baru
mikir buat nikah.
Terus kenapa berubah rencana?
Karena ada yang ngelamar sebelum
usia 40 tahun. Hahaha. Pelamarnya sudah masuk spesifikasi, masak iya mau
ditolak? Apalagi yang ngelamar adalah si anak rohis yang kata akun-akun gosip
kampus, suka sama saya. Nggak taunya ternyata dia beneran ngelamar dan ngajak
nikah.
Waktu itu saya sudah lulus kuliah
profesi Apoteker, sudah kerja satu tahun. Pandangan saya mulai terbuka. Saya
mulai kenal banyak macam orang, bukan hanya yang seumuran, bukan hanya yang
berprofesi sebagai Apoteker. Dari hasil
observasi dan ngobrol-ngobrol dengan banyak orang, saya mulai berpikir bahwa
menikah bukan penghalang untuk saya tetap berkiprah di bidang yang saya mau.
Teman saya yang nikah pas kuliah
udah punya anak, dan saya mulai melirik kebahagiaannya. Betapa terasa lengkap
hidupnya. Betapa tidak galaunya dia di saat teman-teman sepantaran masih beriman
pada lirik lagu Afgan “jodoh pasti bertemu” demi menjaga optimisme dalam hidup.
Yaudah deh, nikah aja.
Kenapa milih lelaki yang ini?
Allah yang pilihkan. Kuasa Allah
bener-bener kerasa di sini. Setelah lulus kuliah, saya dihadapkan dengan banyak
pilihan, termasuk urusan jodoh. Waktu itu sering ada teman-teman mama yang
nanyain saya buat dikenalkan sama anaknya, sering juga ada cowok-cowok yang
saya kenal sebelumnya berusaha mendekati. Banyak yang bilang saya beruntung,
tapi saya berusaha tidak jumawa. Kalau benar milih jodoh itu dari hati, saya
sudah memilih satu nama di hati dan saya challenge. Apakah kalau ada lelaki
lain yang mendekat, akankah satu nama ini tergeser? Kalau iya, ya sudah, let it
go. Kalau ternyata tidak, wah saya berhasil nih milih pakai hati. Kalau milih
pakai otak, saya sudah lumayan jago dari dulu. Kalau pakai hati, baru kali ini
saya terampil. Hahaha.
Terus ternyata, satu nama yang
saya pertahankan ini tidak bisa tergeser dengan yang lain. Saya pun tidak
berminat repot-repot membandingkan dia dengan yang lain. Dia memang tidak menawarkan
keindahan dunia apapun. Tidak naik mobil waktu datang ke rumah. Belum punya
rumah sendiri. Tidak mengajak saya kencan di tempat-tempat mahal. Tidak pernah
membawakan bunga atau cokelat. Bahkan mahar yang dijanjikannya pertama kali
tidak berupa harta, tapi hafalan Al-Quran yang dimilikinya, meskipun belum
banyak. Saya tidak pernah meminta itu semua. Saya merasa cukup dengan kehadirannya
dan asing dengan kepergiannya. Saya membayangkan hidup bersama dengannya setiap
hari, meskipun sepertinya tak sepenuhnya indah karena kami benar-benar
membangun hidup dari nol, tapi saya bisa menerimanya. He completes me!
Oya, satu lagi. Saya sudah kenal
dia dari dulu banget, sejak semester satu. Banyak hal yang sudah kami lalui
bersama sebagai teman belajar, partner praktikum, rekan seorganisasi, dan
lain-lain. Bisa dibilang dia salah satu lelaki yang tidak keluar jauh dari
perimeter saya selama lima tahun. Selama itu pula dia mencintai dalam diam,
walaupun saya beberapa kali terlibat affair dengan yang lain. Ah, coba saya tau
dari dulu ya... Ini pelajaran buat yang lain, buat selalu menjaga hati sebelum
menikah, biar nggak ada penyesalan kemudian.
Mudah bagi Allah membuat hati
saya ‘sreg’ sama lelaki yang satu ini.
Sekian dulu FAQ-nya. Ada lagi
yang mau ditanyakan? Hahaha.
Oya, pesan dan kesan yah.
When you, girls, meet a guy that
means to be ‘someone’ in your life, and you think that he is not 100% dream guy
you wanna meet, or you have not been ready to marry, you may not consider the
blessed life after marriage, which I believe it’s countless. But if you still feel
like no or not yet or not this guy, it’s okay, don’t blame yourself for that.
Maybe you’re right, he is not supposed to be ‘the someone’. It’s better than
imposing yourself and regretting later.
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .