Thursday, August 9, 2012

Published 11:31 PM by with 0 comment

Berkecamuk di Hati


Tidak semua yang ada di dunia ini hanya dua sisi. Hitam-putih, gelap-terang, siang-malam. Tidak semua bisa diputuskan dengan ya-tidak.

Bahkan banyak hal yang harus diputuskan dengan segala pertimbangan yang rumit. Menimbang yang kanan dan kiri, menggeser tuas, menaik-turunkan beban, atau mungkin mengurangi muatan yang ditimbang. Membuat lelah? Iya, bisa saja. Mungkin di sinilah fungsi nalar manusia akan diketahui gunanya, menimbang-nimbang sebelum memutuskan. Tapi nalar pun tidak selalu melihat dari sudut yang benar.

Bagaimana agar nalar kita melihat dari sudut yang benar, dan mengarahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar, sesuatu yang disebut dengan adab atau akhlak mulia?

Yang saya tau adalah kita tidak hanya dibekali Tuhan dengan nalar buta, melainkan juga petunjuk-petunjuk yang disampaikan melalui berbagai cara. Lalu dengan petunjuk-Nya itu kita belajar menggunakan nalar untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup, yang mau tidak mau akan terus bertambah pelik seiring dengan semakin jauh kita melangkah.

Dan yang saya tau, ketika kita percaya Tuhan, kita akan tunduk patuh pada perintah-Nya. Itulah sudut yang benar, benar-benar benar menurut Tuhan. Mungkin manusia yang wawasannya hanya secuil daripada Tuhan Yang Maha Mengetahui, terpaku pada sudut yang dianggapnya benar, tanpa mau tau betapa ia sangat berseberangan dengan Tuhan. Jadilah ia manusia yang merasa dirinya benar – menurut ia sendiri. Dan akhlak mulianya adalah menurut ia sendiri juga.

Kalau mau diakui, ada juga manusia yang sudah tau dirinya salah, mengetahui apa yang benar, namun betah berada dalam kondisi salah karena salah miliknya tersebut terlalu nikmat, terlalu membuatnya nyaman. Ia merasa berat meninggalkannya, merasa apa yang benar menurut Tuhan tidak akan membuatnya sebaik saat ia berada di kondisi salah. Nalarnya terus mengejar kebenaran, namun sebelah hatinya dikuasai nafsu untuk bertahan dalam kondisi salah. Jadilah ia terus menggeser tuas, menaik-turunkan beban. Terkadang luluh dengan timbangannya yang mengarah ke benar, namun berat untuk melakukannya. Pernah juga ia berhasil meletakkan beban lebih di kanan, sebelah hatinya tidak rela kehilangan satu hal yang membuatnya bahagia di kiri. Galau.

Terjebak dalam kondisi menimbang-nimbang tidak selalu dapat membuat nalar terlatih, namun juga rentan tertatih. Ketika kita terlalu nyaman berada dalam kondisi salah, dan kita mengetahui yang benar, bukankah lebih baik menggunakan energi untuk menggertak diri sendiri agar berani memutuskan, apapun resikonya... meskipun itu berarti kehilangan.

Yang saya tau, saya trauma dengan kehilangan.

Memang bukan perkara mudah.

Allah, please guide me.
Read More
      edit

Saturday, August 4, 2012

Published 11:41 PM by with 0 comment

Kepada Mahasiswa yang Terjebak dalam Dunia Maya

Hidup mahasiswa!

Salam rekan-rekan mahasiswa. Anggaplah tulisan ini sebagai tulisan seorang kritikus amatir yang sok tahu, atau coretan seorang idealis kecil yang tidak pandai membela pemikirannya. Anggaplah begitu. Saya tidak peduli apakah Anda akan menertawakan saya, lalu menggulingkan pendapat saya dengan segala cara. Saya tidak peduli.

Saya hanya prihatin dengan ketimpangan yang ada di negeri saya. Bukannya ingin sok nasionalis, melainkan hanya mencurahkan apa yang terpendam di sisi kemanusiaan saya sebagai manusia, dan mahasiswa.

Ya, mahasiswa! Seseorang yang selalu dideskripsikan sebagai agent of change, pemuda berpendidikan tinggi yang diharapkan mampu membela bangsa dan negaranya. Anda mungkin lebih paham tentang konsep mahasiswa. Lalu, sebatas teori sajakah itu?

Ya, saya tahu, Anda yang berstatus mahasiswa aktif pasti sudah jenuh membaca protes-protes seperti ini, karena sebenarnya Anda juga mendengar protes serupa dari dalam diri sendiri. Sayangnya, Anda suka mengabaikannya. Bahkan Anda, dan saya, mungkin lebih suka bersembunyi di balik segala kedok teknologi yang ada saat ini.

Kedok teknologi? Apalagi kalau bukan jejaring sosial kesukaan Anda, wahai agent of change. Entah itu yang bikinan Mark Zuckerberg atau miniblog yang cuma menyediakan 140 karakter tiap post-nya, atau yang lainnya lagi. Yuk coba dipikir-pikir lagi, kalau ada agent of change yang sukanya menuangkan perasaan dan keluhan terhadap hidupnya sendiri, curhat dan mengolok-olok pihak lain yang belum tentu baca tulisan bernuansa ‘tidak penting’ itu... so what kind of change they do? *ampuun, frontal >.<

Mengutip kata-kata seorang inspiratif : menulis itu mengukir sejarah. Tidak usah berpanjang lebar, mari kita sama-sama meresapi kalimat tersebut. Intinya, kalau memang ingin dunia mengenal Anda sebagai seorang yang baik, maka menulislah yang baik. Begitu pula sebaliknya. Anda lah yang dapat menentukan bagaimana sejarah hidup Anda.

Lebih dari itu, menulis itu mengerahkan energi untuk mengungkapkan isi pikiran Anda. Jika Anda percaya dengan “semesta mendukung” atau sejenisnya, Anda pasti paham bahwa energi tersebut akan ditangkap oleh “semesta” dan dipantulkan kembali kepada Anda. Jadi Anda yang akan mendapatkan konsekuensi dari energi yang Anda keluarkan tersebut.

Atau jika Anda beriman pada Tuhan, Anda pasti mengerti bahwa Tuhan Maha Mendengar dan kata-kata Anda adalah doa yang setiap saat didengar. Lalu Tuhan akan membalasnya dengan balasan yang sesuai.

Kembali kepada Anda yang masih terjebak di dunia maya.

Anda sebenarnya sudah tau bahwa Anda diberkahi kemampuan untuk berpikir dan menuangkan pikiran Anda dalam bentuk verbal.

Anda sebenarnya juga tau bahwa terlalu banyak mengungkapkan diri di jejaring sosial akan menampakkan isi pikiran dan perasaan Anda, yang harusnya tidak boleh overexpossed demi kebaikan Anda sendiri.

Anda pun sebenarnya tau bahwa Anda mahasiswa. Kalau Anda terjebak dalam pesona jejaring sosial terus, apa bedanya Anda dengan anak SMA yang suka Anda bilang alay itu?

Tanggung jawab Anda besar, agent of change. Hisab atas tugas dan tanggung jawab Anda entah akan meringankan atau memberatkan ketika diadili di hadapan-Nya nanti.

Anda sebenarnya banyak tau, tapi apalah guna tau tanpa memanfaatkan ‘tau’ tersebut untuk kebaikan. Apalah guna ‘tau’ tersebut jika tidak membuat Anda menjadi orang yang berguna.

Ketika Anda nge-mention teman-teman Anda (yang tiap hari juga ketemu di kampus) dengan tweet-tweet guyonan yang not worth, entah itu untuk mendobrak popularitas atau iseng nggak ada kerjaan setelah sholat tarawih... Anda mungkin lupa bahwa popularitas yang Anda ciptakan dengan cara begitu hanya akan dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Anda mungkin juga kurang kreatif memanfaatkan iseng Anda. Be out of the box!

Ketika Anda bilang di update status Anda, “habis jalan2 sama xx di bla bla bla. Huaa senengnya”... Anda mungkin tak tau kalau ada 1 comment di pikiran orang yang membacanya, “So? Penting ya?”

What do you expect about things like that, guys?

Kalau Anda masih muda, Anda harusnya bisa berkarya lebih dari sekedar tulisan-tulisan spam seperti itu.

Kalau Anda masih muda, Anda harusnya masih bisa berpikir dua kali sebelum membuat tulisan-tulisan spam seperti itu.

Kalau Anda masih muda, Anda harusnya mampu mencari popularitas dengan cara yang lebih profesional, sehingga orang bisa lebih menghargai Anda.

Kalau Anda masih mahasiswa, Anda harusnya bisa lebih menjaga kualitas mahasiswa Anda. You are an agent of change, bro and sist! Perubahan apa yang bisa Anda lakukan dengan update status dan tweet seperti itu? (Palingan perubahan mood pembacanya).

Iya, saya tau, Anda lebih hebat dari saya. Anda lebih banyak tau tentang apa yang boleh, apa yang tidak boleh, yang harusnya gini, harusnya gitu, Anda harus begini, Anda harus begitu. Haqqul yaqin, Anda lebih banyak tau.

Saya semata-mata menuangkan isi pikiran saya di tempat yang sedikit lebih bernilai daripada update status dan tweet.

Kepada rekan-rekan saya yang terjebak di dunia maya, ayo kembali ke dunia nyata. Tau tidak, sementara kalian berada di dalam sana, rakyat di dunia nyata sedang resah menghadapi balada kedelai yang harganya naik. Kita bisa melakukan sesuatu untuk membela mereka, kan? :)

 Ayo kembali ke dunia nyata. Ada banyak hal positif yang bisa kita lakukan di sana. Tugas-tugas kita sebagai mahasiswa ada di dunia nyata, menunggu untuk diselesaikan. Jangan sampai ketika sudah habis waktu kita, tugas-tugas kita masih numpuk kita tinggalkan begitu saja.

Salam muda, karya dan kata. Hidup mahasiswa!

*kritik ditujukan kepada diri saya sendiri*
Read More
      edit