Monday, September 17, 2018

Published 11:32 AM by with 0 comment

Marriage Life #3.5 Latepost


Jangan tanya kenapa ada koma lima nya segala. Ini adalah tulisan jaman kapan yang rencananya mau dipost jadi #3 tapi yang nulis melupakan keberadaannya hingga sekarang.

Lagi banyak undangan nikahan dari temen nih. Tiap weekend kondangan bagaikan ritual wajib bagi kami. Selain menikah, banyak juga teman-teman yang lamaran, tunangan dan lain-lain yang berbau kembang melati. Nah sebagai pasangan yang baru saja menikah, kami kayak saingan romantis dengan mantennya. Kalau ketemu teman-teman, kami dikasih ucapan “eeh selamat ya kalian”, “eeh manten baruuuu.” Nggak salah apa ya? Tuh yang barusan nikah ada di kuade. Trus kami dengan leluasa pegang-pegangan tangan, saling nyuapin, saling bawain mangkok. Kalah tuh yang duduk di kuade. Kadang ada yang terkesiap gitu liatnya, “oiyaya udah boleh pegang-pegang ya sekarang.”

“Lebih dari pegang-pegang doang lho sebenernya.” Sahutku pelan sambil menyeruput es. Kalau keras-keras nanti dicubit Mas Dani.

Sepengamatanku, di kota besar gini pesta pernikahan menjadi bagian dari gengsi. Di daerah asal aku yang suburban alias ndeso, juga hampir sama sih, tapi di kota lebih “jor-joran”. Aku dari dulu sudah mikir, “nanti kalau aku nikah, nggak usah pake acara gede-gedean. Uangnya ditabung aja buat beli rumah.” Tapi nggak di ACC sama mami. Katanya sih, nggak mungkin nggak ngundang orang banyak. Saudara aja udah banyak bingit, belum lagi teman dan tetangga. Hmmm. Aku pengen acara seminimalis mungkin. Akad, salam-salaman, makan, foto, udah. Nggak usah pake musik, dekor, gaun dan lain-lain. Tapi kalau kata mami, “nggak pantes”. Nggak pantes menurut siapa? Akhirnya aku ngalah (sedikit). Aku mau dibikinkan acara akad, temu manten, resepsi, tapiiii sebisa mungkin tidak bermewah-mewah. Lagian mau bermewah-mewah pakai uang siapa juga, wkwk. Di tengah-tengah hedonnya masyarakat, aku ingin menampilkan betapa menikah itu bukan tentang gedung megah dan tamu konglomerat. Percuma tamunya memuji acaramu tapi nihil mendoakanmu. Percuma kalau mereka lebih pandai menyanyi dibandingkan berdoa syahdu “barakallahu lakuma…”. Gitu aja sih prinsipku.

Lalu tadi aku nggak sengaja baca di feed medsos, ada teman yang mengeluh, “maksiat dimudahkan, mau nikah dipersulit.” Aku jadi senyum miris bacanya. Semoga dimudahkan untukmu, teman. Kalau ada hajat hidupku yang kurasa sulit, biasanya aku bertanya kepada diriku sendiri, sudah benarkah niatku? Sudah lillahi ta’ala kah? Kalau belum, pantas saja dipersulit. Atau bisa jadi, ujianmu dimajukan sebelum menikah, lalu disusul kemudahan setelah menikah. Allah mungkin saja ingin memudahkanmu nantinya.

Life after marriage itu masih panjang lho. Percaya deh. Akan ada hal-hal yang lebih berarti untuk merayakan cinta dibandingkan dengan sekedar pesta pernikahan. Kalau masih nggak percaya, bolehlah kita tanya para senior kita dalam hal ini.
Read More
      edit