Monday, October 22, 2012

Published 12:23 AM by with 0 comment

Pagi dan Aku

Pagi dunia! Hari ini aku akan menjadi orang terbaik untukmu. Aku akan jadi luar biasa. Semangatku akan membakar, mengalahkan terik mataharimu siang nanti. Aku siap belajar dan berjuang agar bisa jadi hebat. Ya Allah, bukalah pintu hati dan pikiranku agar aku mudah menerima ilmu dari dosenku dan guru-guruku yang lain. Berikan aku ilmu yang bermanfaat, beri aku kemampuan untuk memahaminya. Birrohmatika yaa arhamarrohimiin.... Hey, lampu merah, lama amat sih! Nggak tau apa ada mahasiswa telat *Langsung disambung sama marah-marah ._.

Pagi adalah saat dimana embun menyejukkan subuh, disusul dengan berkas-berkas sinar matahari yang menembus jendela kamarku.

Pagi adalah saat dimana tubuh harus bangun dari istirahatnya sepanjang malam – atau mata dipaksa melek kesekian kalinya setelah begadang, mengingat manusia pada hakikatnya bukan makhluk nocturnal ya. *Makanya aku suka heran sama ilmuwan-ilmuwan yang bisa tidak tidur bermalam-malam tapi pikirannya masih tetap jernih, jangan-jangan mereka dari lahir sudah dicekoki kafein.

Pagi... juga merupakan saat dimana aku meloncat bangun dari tidur ayam, bernegosiasi dengan detak jam dinding besar di ruang tengah biar nggak ‘nggupuhi’. Lalu sesegera mungkin melesat ke kampus, demi kuliah atau praktikum jam 7 pagi. Yang di paragraf pertama itu adalah doa, ikrar dan gerutuan yang keluar berentetan setiap pagi. Ya habis mau gimana. Jalan raya jam segitu lagi rame, kelakuan orang-orang di jalan kayak ibu-ibu ngejar diskonan baju menjelang lebaran, maunya duluan semua.

“Jangan gitu dong. Liat nih, ada mahasiswa farmasi mau praktikum jam 7! Kalau telat bisa kena semprot dosen, itu masih mending daripada disuruh pulang.” Pengen rasanya ngomong gitu kalo lagi macet. Siap-siap dikeroyok orang se-Kertajaya-Pucang. Hahahaha.

Coba ya, ada rambu-rambu semacam ini :

“DAHULUKAN MAHASISWA PRAKTIKUM”


Jadi begitu orang-orang menyadari aku lewat, mereka langsung minggir ke trotoar lalu bilang “monggo, silakan duluan” plus senyum tiga jari. Polisi pun mengawal agar aku segera nyampe kampus. Dan kalau dengan cara itu masih aja telat, polisi yang bertugas mengawal tadi ngelapor ke Bu Asri dan Pak Jarwo, “Maaf, Pak, Bu, anak ini tadi telat karena saya tidak sigap dalam mengawal dan mengantarkan dia sampai ke sini. Maaf, mohon diijinkan ikut praktikum.”

Dan aku tersenyum jumawa sambil ngelirik-lirik mas iwan minta soal pre tes.

*Ada-ada aja maunya -___-
Read More
      edit

Sunday, October 14, 2012

Published 9:46 PM by with 0 comment

Satu dua tiga!

Aku suka sekali menghitung satu-dua-tiga setiap akan melakukan sesuatu, apapun itu. Penting atau tidak penting. Sesuatu yang besar atau kecil. Secara lisan atau hanya dalam benak. Seperti waktu mau menuliskan ini. Satu, dua, tiga, buka new document di word!

Itu hitungan yang bisa menggertak diriku sendiri, biar nggak lelet-lelet, dan sebuah paksaan untuk berpikir cepat juga. Ketika hitungannya cepat, artinya aku yakin sekali. Kalau hitungannya lambat, artinya aku belum siap. Tapi siap atau tidak, kalau sudah sampai hitungan ke-tiga, harus beranjak, karena kalau tidak ada gertakan seperti itu, aku cuma stuck di posisi menimbang-nimbang dan tidak segera memutuskan.

Kadang-kadang hitungan itu juga diikuti secara refleks sama orang-orang di sekitarku, terutama ketika kita sama-sama ragu atau malas untuk melakukan sesuatu. Entah gimana mekanisme pengaruhnya, pokoknya kalau mereka dengar aku berseru seperti ini, “Ayo tanya ke dosen bareng-bareng, ayo cepet berdiri. Satu, dua, tiga!” dan kami berdiri serentak, mungkin secara tidak sadar, aku memasukkan kekuatan magis pada hitungan ke-tiga yang bisa memerintah alam bawah sadar mereka – atau lebih sederhananya, kami semua sudah sepakat untuk berdiri, tetapi menunggu ada yang mengawali, lalu yang lain mengikuti. Memang sih, jadi follower lebih mudah dalam hal ini – dan mungkin dalam segala hal.

Sering juga satu-dua-tiga ini keluar saat memimpin rapat. “Jadi, gimana keputusannya? Iya atau tidak? Atau ada pertimbangan lain? Putuskan dalam hitungan ke-tiga. Satu-dua-tiga!” -> maksa banget nggak sih :p

Satu-dua-tiga secara harfiah sebenarnya tidak berarti apa-apa, hanya tiga angka yang mengawali angka-angka lainnya, tapi buat aku, tiga angka itu cukup mewakili fantasiku. Satu, dua, tiga! Power ranger berubah! *eh, sejak kapan power ranger kalau mau berubah ngitung satu-dua-tiga dulu -.-

Nggak beda jauh dengan sim salabim, satu-dua-tiga mengawali keajaiban. Dari yang tidak ada menjadi ada. Dari tidak ada yang berdiri untuk tanya ke dosen, menjadi ada. Dari tidak membuka ms word, jadi membuka. Apa lagi yaa... Banyak deh.

Juga nggak beda jauh dengan ready-set-go, satu-dua-tiga adalah perintah untuk berlari, cepat, jangan ragu, kalahkan yang lain. Seperti itu lah.

Jadi, jangan heran kalau dikit-dikit aku suka berhitung sampai tiga. Keliatannya memang aneh – dan mungkin benar, memang aneh – tapi biar saja, mereka tidak tau  hidup terasa kurang lengkap kalau tidak sampai angka tiga... :)

Read More
      edit

Sunday, October 7, 2012

Published 1:05 AM by with 0 comment

Being Higher


Hari-hari rasanya semakin cepat berlalu. Apa jangan-jangan jatah manusia 1 hari 24 jam sudah berkurang?

Pikiran rasanya penat, hampir penuh dengan serangkaian eksipien dan bahan aktif, ketidaksesuaian mereka, kemungkinan mereka menjadi 'ramuan' yang benar-benar menyembuhkan. Apa jangan-jangan benar yang mereka katakan ketika mereka menyerah, bahwa 'kapasitas otakku ndak cukup'; 'otakku ndak nyampek' ? Padahal manusia sudah dianugerahkan sekian juta sel otak, sekian juta sel memori berkapasitas sekian juta gigabyte.

Rasanya segala hal semakin kompleks... semakin terlihat hubungannya meski sebagian masih samar, membuat manusia semester 5 ini sering memainkan jari-jari tangannya di depan mata menjelang tidur, mencoba meraba yang samar, menggambar peta imajinatif yang menurutnya semakin mirip rantai tak beraturan, sampai lelah dan tertidur.

Entah ini karena idealisme atau filosofis.


Yang jelas, 24 jam masih utuh...

Dan jangan pernah meragukan potensi yang sudah dianugerahkan Allah pada kita.

Harusnya ini jadi upgrading kehidupanmu, nduk...

Sederhananya, ketika ada mata kuliah yang menuntutmu jadi formulator hebat, jadilah lebih hebat. Beranilah berlelah-lelah, biar saja mereka tidak melakukan seperti yang kamu lakukan. Ketika gagal membuat sediaan, jangan berkecil hati, nduk. Menerima ke-belumberhasil-an itu artinya belajar ikhlas. Bangkit untuk berjuang lagi bukanlah sesuatu yang hina.

Dan ketika menjalankan sisa amanah terasa berat, buktikan bahwa potensi manusia-mu digunakan sebaik-baiknya. Kau masih harus menjadi 'ibu' bagi 'anak-anakmu' di luar sana. Masih ada tempat dimana kau harus mencurahkan semangatmu.

Ibaratnya sama halnya dengan dasar formulasi. Kalau di semester lalu hanya diharuskan mengaduk bahan obat pulveres dalam satu mortir kecil, sekarang diharuskan mengaduk emulsi dalam satu kontainer besar. Jadi apa yang harus dilakukan? Yap, memakai mesin pengaduk yang lebih canggih. Artinya : jangan pakai standar yang lama, gunakan standar baru yang lebih TINGGI untuk menjadi lebih luar biasa.

Tidak ada latihan kepemimpinan manapun yang lebih sarat makna dibandingkan dengan university of life buatan-Nya, kan? :)

For being higher, there should be a higher jump
For a higher jump, there should be a brave...
Be higher 'till you see that the world is round
Higher... and higher...

Read More
      edit