Saturday, December 30, 2017

Published 7:52 PM by with 1 comment

Competition and Sur/petition




Aku barusan baca tentang bedanya competition dan sur/petition. Sejujurnya aku baru tau ada istilah sur/petition ya sekarang ini, waktu baca buku Fitrah Based Education. *Makanya, yang dibaca jangan website cumicumi mulu, sis. Hahaha. Dan begitu baca tentang ini, aku merasa ada yang salah dengan sistem-sistem bikinan manusia yang sering menjebak diri di kehidupan ini. *Mulai ruwet nih.

Apa sih bedanya competition dan sur/petition? Kita lihat kutipan kalimat dari Edward de Bono berikut ini :

Competition, with its focus on what others are doing, is only the baseline for survival. Sur/petition focuses on value creation, going beyond traditional strategic competition to exploit the vast potential of “integrated values”.

Intinya, competition itu perlombaan dengan orang lain. Pembanding kita adalah orang lain. Motivasi kita adalah menjadi lebih baik dari orang lain. Misal, si A dan si B bersaing di sekolah. Mereka berebut posisi ranking 1 di kelasnya. Ketika si A berhasil jadi nomor satu, berarti si A pemenangnya, dan si B adalah loser. Meskipun sudah dihibur-hibur bahwa yang penting sudah berusaha maksimal jadi mereka sama-sama baiknya, tetap saja pasti ada perasaan kalah dalam diri si B. Lalu apakah kemenangan itu baik untuk si A? Apakah kekalahan itu baik untuk si B? Ternyata belum tentu. Si A dan B sama-sama kehilangan banyak hal karena terlalu sibuk belajar, seperti waktu untuk melakukan hobi, bermain bersama teman-temannya, bahkan kehilangan jati diri karena yang dipikirkan hanya bagaimana bisa ranking 1, mengalahkan rivalnya. Mereka belajar hanya untuk menjadi ranking 1, bukan untuk meraih ilmu dan menggali potensi. Lalu setelah ranking 1, what next? It's all done.

Sedangkan sur/petition adalah usaha untuk memajukan potensi diri, tanpa perlu membandingkan dengan orang lain. Misal, si A dan si B tidak bersekolah di tempat yang mengedepankan persaingan. Si A suka Biologi sedangkan si B suka Seni Musik. Dengan bakatnya masing-masing, mereka menunjukkan kebermanfaatan dirinya di masyarakat. Si A sedang suka sekali menanam tanaman sereh di dalam pot-pot kecil, merawatnya dan mengamatinya setiap pagi. Kemudian tanaman sereh itu dibagikan ke tetangga-tetangganya untuk diletakkan di dekat jendela kamar, gunanya untuk mengusir nyamuk. Lain lagi dengan si B, yang hobinya main biola. Setiap akhir pekan ia datang ke panti jompo dekat sekolahnya untuk memainkan biola di depan para penghuni panti, membuat suasana menjadi hangat dan menyenangkan. Apakah A dan B bersaing? Tidak. They do what they love to do, dan hasilnya sama-sama baik, sama-sama bermanfaat bagi orang lain. Mereka belajar apa yang mereka suka dan melakukan apa yang mereka suka juga. Dalam hal ini si A dan B tidak bisa dibandingkan, dan memang tidak perlu dibandingkan.

Aku merasa selama sekolah terjebak dalam competition. Ukuran sukses waktu jaman sekolah adalah ranking 1, sekolah di sekolah paling baik, masuk jurusan IPA, trus masuk universitas negeri, jurusan yang gradenya paling tinggi, trus ambil S2 di luar negeri, berhasil hidup di luar negeri. Padahal itu ukuran suksesnya siapa? Ukuran suksesnya orang lain, alias harapan orang lain, belum tentu sesuai dengan ukuran sukses eike kan? Akhirnya, waktu aku bercita-cita ingin jadi penulis fiksi, kuliah di jurusan sastra dan pengen main teater, aku dibilang nggak ada gunanya; pilih jurusan yang linier sama IPA aja; nanti kamu cari kerjanya susah lho. Lalu aku bercita-cita ingin jadi pilot. Orang malah bilang aku aneh. Jangan aneh-aneh, gitu katanya.

Sekarang kalau aku dibilangin gitu, aku berani bilang, “kalau menurutmu aneh, it’s okay, aku memang tidak didesain menjadi seperti dirimu. Let us focus on sur/petition.”

Waktu memilih jurusan kuliah, aku jadi memutar otak : jurusan apa yang ada hubungannya sama Kimia (pelajaran favorit), kuliahnya cukup menantang (karena aku mudah bosan), cari kerjanya gampang, dan walaupun aku nggak suka-suka banget, nanti pas lulus aku bisa dapat kerja dengan mudah, dan yang paling penting orang bilang jurusanku keren. Ketemu deh : Farmasi. Lalu aku memutuskan itu sebagai passionku.

Selama kuliah aku aktif di banyak kegiatan, terutama di jurnalistik, buat menyalurkan bakat menulisku. Kalau ada waktu luang, aku menulis buku harian dan personal blog. Selebihnya, aku menggunakan waktuku untuk belajar dan belajar. Jadi yang harusnya jadi passionku farmasi apa menulis? Hahaha.

Salah nggak jalanku? Nggak sih, tapi sekarang aku tau bahwa ada cara berpikir yang lebih benar.

Bahwa aku tidak seharusnya termotivasi oleh pencapaian orang lain. Bahwa aku tidak harus menilai suatu kondisi dengan mata selalu menoleh kesana kemari, memastikan tidak ada orang yang menyalahkanku.

Aku menjadi sangat kompetitif, dan menurut orang lain itu baik karena aku bisa jadi orang sukses. Bahkan ada semacam kuisioner psikologis yang pernah aku ikuti, hasilnya bilang kalau aku punya nilai competitiveness yang besar. Yaiyalah gimana nggak besar, emang diajarin berlomba mulu.

Dampaknya kalau kita suka berkompetisi, jiwa kita jadi tidak menentu. Banyak insecure-nya. Kita dengan mudah membandingkan diri kita dengan orang lain. Liat temen bisa juara di karya ilmiah, kita galau, padahal bidangnya beda dengan kita. Liat temen bisa dapat nilai A di Farmakokinetik, kita jadi mem-push diri kita untuk dapat nilai A, padahal kita tau kita tidak akan memerlukannya waktu kerja nanti. Kita jadi susah mengembangkan potensi kita sendiri karena sibuk berkaca pada pencapaian orang lain.

Nah, waktu lulus kuliah, aku baru menghayati rencana-rencana hidupku, yang tentunya berbeda dengan orang lain. Pelan-pelan aku mulai berusaha mengaburkan pandangan pada dunia orang lain. Ketika teman-teman banyak yang mencari kerja di perusahaan besar di tempat yang jauh, gaji besar, banyak-banyak overtime biar totalitas demi segera mapan, aku berani menetapkan : NO! It’s not something I am searching for. Ketika orang ramai membeli barang-barang mewah dari seantero dunia, aku bilang : I will not spend my money for those thing! Dan sebagainya.

Cara pandangku kepada orang lain pun jadi berbeda. Waktu aku melihat adek yang nggak bisa Fisika, aku tenang-tenang aja, it’s alright, you can be good on other subject. Pas ada teman yang cerita kalau dia mau resign dari industri farmasi dan ingin jadi pialang saham, if you find it fits to you, go get it. Trus pas suami lebih suka melukis daripada membaca buku, I understand you, sir, tapi jangan beli-beli buku terus ya, pemborosan, nggak dibaca. Hahaha.

Jiwa yang terbiasa berkompetisi ini terlihat seperti lelah, tapi sesungguhnya jauh di dalamnya ia merasa tenang. It’s okay if I cannot be as great as other people. I am happy to be myself and happy to walk in my own way. Farewell, competition. Let us focus on sur/petition.

Inspired by Fitrah Based Education Ver 3.0 - Harry Santosa.

Read More
      edit