Wednesday, April 10, 2013

Published 9:42 PM by with 0 comment

Kelinci Anestesi In Memoriam


“Itu aja! Yang kepalanya keluar-keluar dari kandang!” seruku saat kami memilih kelinci percobaan. Aduh, lucunya. Aku jadi inget mantan kelinciku, Alfa. Sama-sama putih, kupingnya pink dan panjang. Gemesiiin banget pokoknya. Kemudian kami berebutan menggelitiki hewan berwajah innocent itu. Anehnya, si kelinci yang diuyel-uyel ini gayanya kayak orang nge-fly.

“Ci, kamu tadi malem habis begadang di diskotik apa ngerjain laporan, ci?” tanyaku. Si kelinci diam, tampangnya tetep nge-fly dan matanya merah. Nah, beneran habis ajojing dia ini. Kembalilah ke jalan yang benar, ci, gumamku sambil narik-narik kumisnya.

Kelinci inilah yang jadi objek dalam praktikum anestesi kami. Sebenarnya dari awal aku was-was dengan kelompok yang suka rada-rada sableng pas praktikum ini. Biasanya ada aja silly mistake-nya. Kalo nggak ngulang percobaan berkali-kali baru dapet hasil yang bener, nge-adkan zat sambil ngelamun sampe lebih dari garis tanda, datanya aneh, dan lain sebagainya. Yang bikin tambah was-was adalah karena saya penyumbang tetap kesalahan bodoh itu .___. Masalahnya ini objeknya makhluk Allah, yang punya nyawa, pengen hidup dan lucu. Haash, tega-nggak tega harus tetep praktikum! Aku berusaha meyakinkan diri sendiri.

Lalu kelompok yang terdiri dari 6 macan, 3 orang tua, 1 Leha dan 1 Farmut ini ribet berebutan tugasnya dalam praktikum. Ada yang menawarkan diri megangin kelinci biar posisinya pewe, ngamatin pernapasan, nyubitin kaki kelinci untuk melihat stadium analgesia, nyentrong pupil matanya untuk melihat respon midriasis, mencatat waktu, ada juga yang menawarkan diri untuk mengelus-elus kelinci itu selama percobaan (yang terakhir ini bukan termasuk prosedur.red). Aku sendiri awalnya menawarkan diri untuk duduk manis aja, tapi nggak jadi karena takut disenggrong yang lain. Akhirnya aku memutuskan untuk pegang stetoskop, mengamati irama detak jantungnya.

Tugas praktikum kita waktu itu adalah membius (anestesi) si kelinci dengan meneteskan eter ke sungkup yang ditutupkan ke mulutnya. Anestesi sendiri ada 4 stadium. Target kita adalah membius sampai stadium 3 plane 3. Itu adalah stadium yang aman untuk dilakukan operasi yang cukup dalam. Stadium 3 plane 4 adalah stadium terlarang karena dekat dengan stadium 4 yang menuju ke kematian. Oke, sampai di sini aku paham teorinya, juga resiko yang dapat terjadi. Ah, sudahlah, kan ini hewan, begitu pikirku.

Ternyata yang mengamati detak jantung berperan sebagai leader dalam praktikum ini. Tugasnya adalah memberi aba-aba kepada yang lain untuk melakukan tugasnya, karena detak jantung adalah penentu utama stadium anestesi.

Setelah semuanya siap di posisinya dan kupingku yang lubangnya kecil sudah terbiasa dengan stetoskop, aku berdoa penuh keresahan, agak gemetaran juga, ngalah-ngalahin orang mau akad nikah *eh.

“Stadium 1. Analgesia.” kata Farmut.

Oke, mulai masuk ke stadium 2 sekarang. Eter terus diteteskan.

“Takikardi!” seruku. Sementara napas kelinci mulai naik-turun nggak teratur. Jangan grogi atuh, ci... (prasaan orangnya yang grogi -.-)

“Takikardi! Ronchi!” seruku lagi.

Beberapa saat kemudian, ketika aku terus diam, anak-anak mulai nggak sabaran.

“Gimana woi?”

“Udah lewat belum stadium 2 nya?”

“Kok lama?”

“Sabaar... Takikardi, tetep takikardi!” seruku, tapi ragu juga, kenapa lama sekali. Udah 6 menit lebih  masih stadium 2 terus..

Masuk ke menit ke-8, aku panik. Jantungku ikutan takikardi juga. Kelinciii, yang kuat yaah... Ayo lewati stadium 2 nya, bahaya lho.

“Matanya mendelik!” seru temenku yang mengamati pupil mata.

Kerudungku rasanya basah sama keringat, padahal ruangan sejuk. Irama jantung si kelinci lewat stetoskop memenuhi pikiranku.

“Stabil! Stabil! Bradikardi!” seruku akhirnya. Yang lain mulai agak rileks. Tetesan eter dihentikan. Waktu itu aku berpikir sudah benar sampai ke stadium 3, tapi kenapa matanya masih mendelik? Harusnya dia merem.

Beberapa detik kemudian...

Denyut jantungnya hilang. Napasnya berhenti. Sementara anak yang pegang stetoskop ini semakin takikardi.

Kelincinya mati!

Aku lemes. Rasanya pengen nangis seember. Ya Allah, aku gagaaaal... maafkan aku, kelincinya mati... Beberapa temen sekelompok melongo nggak percaya. Mati? Kok bisa sih? Apa yang salah?

Dan suasana berubah menjadi semi dramatis.

Dokter yang membimbing kami membantu mengevaluasi matinya si kelinci. Aku semakin pengen nangis.

“Tadi stadium 3 nya cuma sebentar, Bu... lalu tiba-tiba masuk stadium 4, lalu mati.” aku mewek-mewek.

Beliau menghibur, “sudah, ndakpapa... mungkin memang kelincinya aja yang nggak kuat. Yang penting kalian sudah tau prosesnya.”

Aku langsung menunduk membaca literatur. Setidaknya untuk menahan air mata. Masa’ iya mau nangis bombay di sini. Kelompokku berduka, dan mulai deh mellow-mellownya, semua menyalahkan diri sendiri atas gugurnya sang kelinci. Sementara kelompok lain kayak dapet tontonan drama komedi.

Nasib seekor kelinci percobaan sebenarnya bisa diterka. Kalau nggak mati, kejang-kejang, pingsan, atau kabur menyelamatkan diri. Dan kebetulan ini yang mati. Aku mungkin nggak akan se-shock ini kalau bukan aku yang memimpin praktikum. Dan karena tragedi matinya kelinci ini, namaku jadi trending topic di angkatan -___- Jadi, seharian itu, dimanapun aku ketemu anak-anak seangkatan, mereka dengan antusias bertanya,

“Eh, kelincimu mati ya?”

“Iya nih, nggak sengaja. Hahaha.”jawabku, berasa kayak habis neplok nyamuk.

“Hee Chyn, kamu apain kelincinya kok sampe almarhum gitu?”

“Sudah takdir, nak. Tadi mungkin nggak sengaja ada malaikat maut lewat.”

“Chyntiaa... kamu jahat!”

Aku langsung diem. Meskipun itu diucapkan dengan nada bercanda, rasanya nge-jleb banget.

Akhirnya aku bener-bener nangis di rumah. Udah nggak bisa ditahan-tahan lagi. Aku dulu juga pernah sayang sama kelinci, tauk! T.T

Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku heran sendiri, ngapain sih sesedih itu? Pake nangis segala, padahal nonton Termehek-mehek aja nggak nangis. Itu malah keuntungan buat kelompokku. Kelompok yang lain memang kelincinya masih hidup, tapi mereka nggak dapet kesempatan belajar anestesi sampai stadium 4. Kita harusnya bersyukur karena diberi kesalahan untuk kita pelajari lebih.

Besoknya ketika ada yang bilang gitu lagi, aku udah bisa ketawa-ketawa. Bahkan waktu cerita ke mama, aku ketawa ngakak. Aduuh, siapa sih yang nangisin matinya kelinci percobaan kemaren? Nggak dewasa bangeet. Gitu kok mau jadi peneliti. Hahaha. Padahal di praktikum lainnya kita akan pakai hewan coba lagi. Kalau mati lagi masa’ mau nangis lagi?

Sebenarnya ada satu yang aku takutkan. Nanti waktu aku mati, lalu dihisab, takutnya si kelinci ngadu ke pencipta-Nya dan memberatkan aku. Huaa. Maafkan aku, kelinci. Selebihnya, aku dan teman-teman sekelompok yang telah mengalami drama yang cukup ironis ini pengen berterimakasih kepadanya. Karena dia lah, kita bisa mengamati proses anestesi hingga stadium 4. Rest in peace, ci.

*Mengenang gugurnya kelinci anestesi

Read More
      edit