Friday, March 30, 2018

Published 12:23 PM by with 0 comment

A Marriage Life #7 : Sharing Ala Ibu-Ibu


Astagaaa tiba juga waktunya untuk nulis macam ibu-ibu lyfe gini, setelah sekian tahun nulis mellow-mellow lyfe. Memang ya, tulisan itu ikut bertumbuh bersama jiwa penulisnya. Berhubung penulisnya sudah (agak) berjiwa ibu-ibu, mari kita samber aja topik ibu-ibu yang sepertinya banyak dicari, yaitu tentang menunda kehamilan dan promil atau program hamil yang dua-duanya pernah saya jalani. Kali aja bermanfaat yak. Semoga yang sudah menikah bisa terinspirasi dan yang belum menikah bisa bertambah pengetahuannya.

Waktu awal menikah, saya dan hubby tidak merencanakan segera punya anak. Banyak alasannya, ada yang kami bicarakan dengan orang lain dan ada pula yang kami sembunyikan. Paling kalau pas bercanda, saya jawabnya, “kan kita pengen pacaran dulu mumpung masih muda.” Itu beneran, nggak bohong. Banyak yang mendukung, banyak juga yang tidak. Kontroversial. Hahaha. Secara kita tinggal di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, jadi ya wajar kalau ada aja orang yang bilang, “jangan ditunda ih, nggak baik lho.”, “nanti pamali.” dan lain-lain. Gimanapun mau punya anak, mau nggak punya anak, mau punya anak satu atau sepuluh, mau sekarang atau mau besok, itu tergantung keputusan kami dong ya, dan tentunya tergantung Yang Maha Pencipta, mau ngasih kapan untuk kami, dan kami yakin itu adalah momen terbaik yang diputuskan oleh-Nya buat kami. Toh nanti yang bertanggung jawab terhadap anak itu juga kami sebagai orang tuanya, bukan orang yang rajin nanyain kapan punya anak. Jadi kami merasa punya hak untuk mengatur tentang masalah punya anak.

Bahkan kami nggak ngomongin tentang penundaan ini ke orang tua dan mertua. Soalnya udah pada ngarep punya cucu. Tiap ketemu dikode-kode mulu. Hadeeh. Ya ya ya, saya paham kok, apa lagi sih harapan besar orang tua setelah menikahkan anak-anaknya selain punya cucu yang lucu-lucu. Jadi yaudah kami diem aja... sambil elus dada. Hahaha. Mereka taunya kami juga berusaha punya anak. Kalau misal hidup di barat, ya oke-oke aja kalau mau berencana kayak kami gini.

Walaupun menunda, kami nggak pakai alat bantu KB hormonal kok, soalnya pas kuliah dulu saya sempat mempelajari sendiri lumayan detail tentang hormon. Apa ya textbooknya dulu, udah lupa. Salah satu textbook yang dipakai di kuliah Farmasi Masyarakat kalau nggak salah. Dari situ saya tau kalau mengatur hormon tidak selalu semudah kata iklan pil KB, yang bilangnya kalau minum rutin pil KB nya, nanti begitu berhenti minum, bisa langsung ‘dung’. Tidak semua orang punya hormon yang ‘nurut banget’ sama alat bantu KB apapun. Apalagi yang kayak saya ini, siklus menstruasinya lebih lambat daripada orang kebanyakan, yaitu 40 hari, dan pernah ada riwayat gangguan hormon yang bikin perdarahan terus selama sebulan. Takutnya nanti malah nggak karu-karuan. Belum lagi efek sampingnya pil KB yang bikin frustasi. Jadi gimana cara menundanya? Pakai hitungan kalender masa subur aja, juga dengan cara tertentu dalam berhubungan (maaf) agar tidak terjadi pembuahan. For further info, bisa search tentang masa subur di google, terus baca di website yang kredibel yah.

Nah, kira-kira 8 bulan setelah menikah, setelah lumayan banyak kisah seru dan haru yang kita lalui, dan kayaknya sudah puas pacaran, kami mulai ingin punya anak. Jadi di fase ini banyak air mata tumpah karena berdoa ingin dikaruniai anak. Trus pernah kepikiran juga, apa promil ke dokter aja yah sambil check up kondisi genital, soalnya saya belum pernah periksa kesehatan yang semacam tes hiv, papsmear, dan semacamnya. Hubby alias Mas Dani sebagai suami yang baik selalu nyuruh sabar sambil terus berusaha yang alami dulu, nggak usah tergopoh-gopoh.

Sambil terus berdoa minta diberi anak, saya mulai belajar, baca-baca dan tanya sana-sini tentang promil. Kemudian dengan insting seorang apoteker (insting apaan ini wkwk), saya memutuskan untuk memperbaiki nutrisi saya dan hubby untuk mendukung kehamilan.

Kondisi kami seperti ini :

Mas Dani hampir tiap hari jajan gorengan di kantor, terus suka diam-diam beli fast food sebelum jemput saya pulang kerja, tiap hari terpapar polusi jalanan, trus kerjanya berkutat dengan obat dan kadang dispensing obat sitostatik yang saya pikir pasti ada resiko terpapar zat karsinogenik walaupun sudah dilakukan sesuai prosedur. Sedangkan saya, lingkungan kerja relatif aman karena kebanyakan stay di office. Hanya sesekali aja beresiko terpapar zat kimia. Tapi saya sering merasa capeeek banget tiap hari. Jadiii kesimpulannya, kami butuh antioksidan. Pilihan kami jatuh pada suplemen vitamin E, sayur hijau (sawi, bayam, kailan), wortel, tomat, alpukat. Trus buat saya sendiri, saya tambah suplemen asam folat dan susu (saya pakai prenagen esensis). Ada penelitian yang mengatakan bahwa wanita yang asupan asam folatnya tinggi punya kemungkinan hamil yang tinggi juga. Selain itu, kehamilan yang direncanakan dengan asam folat membuat resiko kerusakan batang otak janin lebih kecil daripada yang tidak direncanakan. 

Seminggu dua kali kami minum degan ijo karena secara empiris berkhasiat menyuburkan kandungan dan membersihkan toksin. Sesekali kalau ada kurma, saya bikinkan rendaman kurma dalam air, alias infus water, buat tambahan glukosa dan antioksidan dan untuk mendapatkan manfaat lain dari kurma, sesuai sunnah Rasulullah.

Mas Dani sudah saya kasih pengertian buat ngurangin gorengan dan fast food, kalau mau ngemil pilih yang sehat aja. Saya sendiri stop jajan yang aneh-aneh. Biar lebih fit, kami yang tidak pernah olahraga ini akhirnya memilih olahraga renang (sesekali hahaha).

Kami rutinkan dah itu semua. Prosesnya nggak instan, namanya juga secara alami. Saya yang lebih pegang kendali untuk perbaikan nutrisi ini, dan Mas Dani nurut-nurut aja dijejalin apapun hahaha.  Pokoknya kami bikin kondisi kami sesehat mungkin, kalaupun belum hamil, masih dapat manfaat sehatnya kan. Dosis dari suplemen dan makanan itu saya atur sedemikian rupa agar pas, pakai insting apoteker.

Eh tapi serius deh yang namanya insting apoteker itu. Untuk memutuskan dosis segala macem untuk diri sendiri, saya lebih banyak pakai insting daripada ilmu, dan banyak benernya. Tapi kalau buat pasien, instingnya nggak boleh terlalu dipakai, ntar para dukun kalah sama saya.

Balik ke topik.

Dan yang tak kalah penting, (maaf) merutinkan berhubungan agar tidak melewatkan masa ovulasi. Sebelum berhubungan, tidak lupa kami berdoa dan Mas Dani minum madu + air hangat atau STMJ agar tubuh selalu nyaman dan hangat.

Maaf ya kalau membuat tidak nyaman membacanya. Ini udah sehalus mungkin nih penyampaiannya. Kurang halus lagi? Mungkin perlu efek face beauty. Krik.

Selama proses itu, saya sering berharap-harap cemas yang agak lebai hahaha. Misal lagi nggak enak badan, pengen minum obat, saya tespek dulu. Takutnya ntar udah positif terus saya minum yang kontraindikasi sama ibu hamil ntar nyesel dong. Trus kalau mau diajak keluar kota atau aktivitas yang bikin capek, saya tespek dulu, biar nggak kecolongan. Mau renang, tespek dulu. Mau makan nanas, tespek dulu. Terima kasih pabrik alkes di Krian yang sudah memproduksi tespek dua ribuan yang tidak membuat dompet saya bolong.

Alhamdulillah, sekitar dua bulan kemudian, usaha kami membuahkan hasil. Waktu itu jadwalnya hari kedua menstruasi, badan udah nggak enak banget tapi belum mens juga. Akhirnya seperti biasa, sebelum minum obat, saya tespek dulu. Udah kayak latah pakai tespek. Selain itu, saya berencana periksa ke dokter karena pengen promil pakai hormon (wooh mulai nggak sabar). Trus ternyata hasilnya positif, garis dua!

Saya terkesiap melihatnya. Trus saya kasih tau ke suami yang waktu itu masih leyeh-leyeh habis sholat subuh. Dia liatin terus itu tespek, terus ditaruh, terus diliat lagi, terus ditaruh lagi, terus saya disuruh pakai tespek lain biar lebih yakin. Untung masih nyimpen satu lagi yang agak mahal, tapi nggak lebih peka dari yang murah. Hasilnya positif juga. Kami senang luar biasa. Alhamdulillah. Kayak gini ternyata rasanya liat tespek positif. Seingat saya, belum pernah kami se-excited ini setelah menikah.

Sungguh ini keajaiban dari Allah. Alhamdulillahirobbil aalaamiin.
Read More
      edit
Published 12:03 PM by with 0 comment

A Marriage Life #6 : Speaking about marriage plan


Karena saya dan Mas Dani sering ditanyain, menerima curhat dan dimintain tolong macam-macam sehubungan dengan pernikahan oleh teman, sahabat, saudara yang ingin segera menikah, saya jadi kepengen buka layanan konseling rencana pernikahan sekalian WO nya. Lagian kalau konselingnya tentang obat mulu, lama balik modalnya. *Lhah kok curhatnya kayak apoteker. Kikikik.

Ini dia dua frequently asked questions yang sering mampir ke saya.

Rencana menikah umur berapa?


Jujur nih, waktu jaman kuliah dulu, saya orangnya ambi banget sama ilmu pengetahuan, organisasi, jurnalistik, sains, social event. Kayak semua yang saya temukan di bangku kuliah itu ingin saya miliki selamanya. Trus tiba-tiba ada teman yang menikah waktu masih kuliah, yang bikin saya ‘ndomblong’.

Kok bisa sih dia sudah nikah? Gue inget aja enggak.

Teman-teman saya menjelang akhir masa kuliah juga pada sounding tentang nikah-nikah gitu. Suatu hari, ada yang nyeletuk nanya ke saya, “kamu rencana nikah kapan? Habis lulus langsung ya?” soalnya gosip saya dekat sama seorang cowok di angkatan lagi santer abis. Dan karena cowok itu anak rohis, nggak mau pacaran, kalau deketin saya pasti cepet ngajak nikah, gitu spekulasi mereka. Padahal saya masih nggak merasa dideketin sih waktu itu. Hahaha.

Saya jawab, “nanti, kalau sudah umur 40 tahun.”

“Whaaat?”

“Kenapa? Masalah?”

Saya nggak bohong. Memang itu rencana sungguhan. Seperti saya bilang tadi, saya jatuh cinta pada dunia saya sendiri. Dunia yang memberi saya kesempatan, tantangan, kebebasan. Buat orang yang belum genap 20 tahun, saya merasa hanya itu yang saya butuhkan sih. Dan saya mikirnya sampai nanti-nanti juga saya ingin sibuk dengan dunia saya yang penuh manfaat itu. Begitu sudah 40 tahun, sudah banyak yang saya capai, saya baru mikir buat nikah.

Terus kenapa berubah rencana?

Karena ada yang ngelamar sebelum usia 40 tahun. Hahaha. Pelamarnya sudah masuk spesifikasi, masak iya mau ditolak? Apalagi yang ngelamar adalah si anak rohis yang kata akun-akun gosip kampus, suka sama saya. Nggak taunya ternyata dia beneran ngelamar dan ngajak nikah.

Waktu itu saya sudah lulus kuliah profesi Apoteker, sudah kerja satu tahun. Pandangan saya mulai terbuka. Saya mulai kenal banyak macam orang, bukan hanya yang seumuran, bukan hanya yang berprofesi sebagai Apoteker.  Dari hasil observasi dan ngobrol-ngobrol dengan banyak orang, saya mulai berpikir bahwa menikah bukan penghalang untuk saya tetap berkiprah di bidang yang saya mau.

Teman saya yang nikah pas kuliah udah punya anak, dan saya mulai melirik kebahagiaannya. Betapa terasa lengkap hidupnya. Betapa tidak galaunya dia di saat teman-teman sepantaran masih beriman pada lirik lagu Afgan “jodoh pasti bertemu” demi menjaga optimisme dalam hidup.

Yaudah deh, nikah aja.

Kenapa milih lelaki yang ini?

Allah yang pilihkan. Kuasa Allah bener-bener kerasa di sini. Setelah lulus kuliah, saya dihadapkan dengan banyak pilihan, termasuk urusan jodoh. Waktu itu sering ada teman-teman mama yang nanyain saya buat dikenalkan sama anaknya, sering juga ada cowok-cowok yang saya kenal sebelumnya berusaha mendekati. Banyak yang bilang saya beruntung, tapi saya berusaha tidak jumawa. Kalau benar milih jodoh itu dari hati, saya sudah memilih satu nama di hati dan saya challenge. Apakah kalau ada lelaki lain yang mendekat, akankah satu nama ini tergeser? Kalau iya, ya sudah, let it go. Kalau ternyata tidak, wah saya berhasil nih milih pakai hati. Kalau milih pakai otak, saya sudah lumayan jago dari dulu. Kalau pakai hati, baru kali ini saya terampil. Hahaha.

Terus ternyata, satu nama yang saya pertahankan ini tidak bisa tergeser dengan yang lain. Saya pun tidak berminat repot-repot membandingkan dia dengan yang lain. Dia memang tidak menawarkan keindahan dunia apapun. Tidak naik mobil waktu datang ke rumah. Belum punya rumah sendiri. Tidak mengajak saya kencan di tempat-tempat mahal. Tidak pernah membawakan bunga atau cokelat. Bahkan mahar yang dijanjikannya pertama kali tidak berupa harta, tapi hafalan Al-Quran yang dimilikinya, meskipun belum banyak. Saya tidak pernah meminta itu semua. Saya merasa cukup dengan kehadirannya dan asing dengan kepergiannya. Saya membayangkan hidup bersama dengannya setiap hari, meskipun sepertinya tak sepenuhnya indah karena kami benar-benar membangun hidup dari nol, tapi saya bisa menerimanya. He completes me!

Oya, satu lagi. Saya sudah kenal dia dari dulu banget, sejak semester satu. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama sebagai teman belajar, partner praktikum, rekan seorganisasi, dan lain-lain. Bisa dibilang dia salah satu lelaki yang tidak keluar jauh dari perimeter saya selama lima tahun. Selama itu pula dia mencintai dalam diam, walaupun saya beberapa kali terlibat affair dengan yang lain. Ah, coba saya tau dari dulu ya... Ini pelajaran buat yang lain, buat selalu menjaga hati sebelum menikah, biar nggak ada penyesalan kemudian.

Mudah bagi Allah membuat hati saya ‘sreg’ sama lelaki yang satu ini.

Sekian dulu FAQ-nya. Ada lagi yang mau ditanyakan? Hahaha.

Oya, pesan dan kesan yah.

When you, girls, meet a guy that means to be ‘someone’ in your life, and you think that he is not 100% dream guy you wanna meet, or you have not been ready to marry, you may not consider the blessed life after marriage, which I believe it’s countless. But if you still feel like no or not yet or not this guy, it’s okay, don’t blame yourself for that. Maybe you’re right, he is not supposed to be ‘the someone’. It’s better than imposing yourself and regretting later.

Itu. (sambil ngacungin jari telunjuk kayak Mario Teguh) 

Read More
      edit