Monday, September 17, 2018

Published 11:32 AM by with 0 comment

Marriage Life #3.5 Latepost


Jangan tanya kenapa ada koma lima nya segala. Ini adalah tulisan jaman kapan yang rencananya mau dipost jadi #3 tapi yang nulis melupakan keberadaannya hingga sekarang.

Lagi banyak undangan nikahan dari temen nih. Tiap weekend kondangan bagaikan ritual wajib bagi kami. Selain menikah, banyak juga teman-teman yang lamaran, tunangan dan lain-lain yang berbau kembang melati. Nah sebagai pasangan yang baru saja menikah, kami kayak saingan romantis dengan mantennya. Kalau ketemu teman-teman, kami dikasih ucapan “eeh selamat ya kalian”, “eeh manten baruuuu.” Nggak salah apa ya? Tuh yang barusan nikah ada di kuade. Trus kami dengan leluasa pegang-pegangan tangan, saling nyuapin, saling bawain mangkok. Kalah tuh yang duduk di kuade. Kadang ada yang terkesiap gitu liatnya, “oiyaya udah boleh pegang-pegang ya sekarang.”

“Lebih dari pegang-pegang doang lho sebenernya.” Sahutku pelan sambil menyeruput es. Kalau keras-keras nanti dicubit Mas Dani.

Sepengamatanku, di kota besar gini pesta pernikahan menjadi bagian dari gengsi. Di daerah asal aku yang suburban alias ndeso, juga hampir sama sih, tapi di kota lebih “jor-joran”. Aku dari dulu sudah mikir, “nanti kalau aku nikah, nggak usah pake acara gede-gedean. Uangnya ditabung aja buat beli rumah.” Tapi nggak di ACC sama mami. Katanya sih, nggak mungkin nggak ngundang orang banyak. Saudara aja udah banyak bingit, belum lagi teman dan tetangga. Hmmm. Aku pengen acara seminimalis mungkin. Akad, salam-salaman, makan, foto, udah. Nggak usah pake musik, dekor, gaun dan lain-lain. Tapi kalau kata mami, “nggak pantes”. Nggak pantes menurut siapa? Akhirnya aku ngalah (sedikit). Aku mau dibikinkan acara akad, temu manten, resepsi, tapiiii sebisa mungkin tidak bermewah-mewah. Lagian mau bermewah-mewah pakai uang siapa juga, wkwk. Di tengah-tengah hedonnya masyarakat, aku ingin menampilkan betapa menikah itu bukan tentang gedung megah dan tamu konglomerat. Percuma tamunya memuji acaramu tapi nihil mendoakanmu. Percuma kalau mereka lebih pandai menyanyi dibandingkan berdoa syahdu “barakallahu lakuma…”. Gitu aja sih prinsipku.

Lalu tadi aku nggak sengaja baca di feed medsos, ada teman yang mengeluh, “maksiat dimudahkan, mau nikah dipersulit.” Aku jadi senyum miris bacanya. Semoga dimudahkan untukmu, teman. Kalau ada hajat hidupku yang kurasa sulit, biasanya aku bertanya kepada diriku sendiri, sudah benarkah niatku? Sudah lillahi ta’ala kah? Kalau belum, pantas saja dipersulit. Atau bisa jadi, ujianmu dimajukan sebelum menikah, lalu disusul kemudahan setelah menikah. Allah mungkin saja ingin memudahkanmu nantinya.

Life after marriage itu masih panjang lho. Percaya deh. Akan ada hal-hal yang lebih berarti untuk merayakan cinta dibandingkan dengan sekedar pesta pernikahan. Kalau masih nggak percaya, bolehlah kita tanya para senior kita dalam hal ini.
Read More
      edit

Friday, March 30, 2018

Published 12:23 PM by with 0 comment

A Marriage Life #7 : Sharing Ala Ibu-Ibu


Astagaaa tiba juga waktunya untuk nulis macam ibu-ibu lyfe gini, setelah sekian tahun nulis mellow-mellow lyfe. Memang ya, tulisan itu ikut bertumbuh bersama jiwa penulisnya. Berhubung penulisnya sudah (agak) berjiwa ibu-ibu, mari kita samber aja topik ibu-ibu yang sepertinya banyak dicari, yaitu tentang menunda kehamilan dan promil atau program hamil yang dua-duanya pernah saya jalani. Kali aja bermanfaat yak. Semoga yang sudah menikah bisa terinspirasi dan yang belum menikah bisa bertambah pengetahuannya.

Waktu awal menikah, saya dan hubby tidak merencanakan segera punya anak. Banyak alasannya, ada yang kami bicarakan dengan orang lain dan ada pula yang kami sembunyikan. Paling kalau pas bercanda, saya jawabnya, “kan kita pengen pacaran dulu mumpung masih muda.” Itu beneran, nggak bohong. Banyak yang mendukung, banyak juga yang tidak. Kontroversial. Hahaha. Secara kita tinggal di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketimuran, jadi ya wajar kalau ada aja orang yang bilang, “jangan ditunda ih, nggak baik lho.”, “nanti pamali.” dan lain-lain. Gimanapun mau punya anak, mau nggak punya anak, mau punya anak satu atau sepuluh, mau sekarang atau mau besok, itu tergantung keputusan kami dong ya, dan tentunya tergantung Yang Maha Pencipta, mau ngasih kapan untuk kami, dan kami yakin itu adalah momen terbaik yang diputuskan oleh-Nya buat kami. Toh nanti yang bertanggung jawab terhadap anak itu juga kami sebagai orang tuanya, bukan orang yang rajin nanyain kapan punya anak. Jadi kami merasa punya hak untuk mengatur tentang masalah punya anak.

Bahkan kami nggak ngomongin tentang penundaan ini ke orang tua dan mertua. Soalnya udah pada ngarep punya cucu. Tiap ketemu dikode-kode mulu. Hadeeh. Ya ya ya, saya paham kok, apa lagi sih harapan besar orang tua setelah menikahkan anak-anaknya selain punya cucu yang lucu-lucu. Jadi yaudah kami diem aja... sambil elus dada. Hahaha. Mereka taunya kami juga berusaha punya anak. Kalau misal hidup di barat, ya oke-oke aja kalau mau berencana kayak kami gini.

Walaupun menunda, kami nggak pakai alat bantu KB hormonal kok, soalnya pas kuliah dulu saya sempat mempelajari sendiri lumayan detail tentang hormon. Apa ya textbooknya dulu, udah lupa. Salah satu textbook yang dipakai di kuliah Farmasi Masyarakat kalau nggak salah. Dari situ saya tau kalau mengatur hormon tidak selalu semudah kata iklan pil KB, yang bilangnya kalau minum rutin pil KB nya, nanti begitu berhenti minum, bisa langsung ‘dung’. Tidak semua orang punya hormon yang ‘nurut banget’ sama alat bantu KB apapun. Apalagi yang kayak saya ini, siklus menstruasinya lebih lambat daripada orang kebanyakan, yaitu 40 hari, dan pernah ada riwayat gangguan hormon yang bikin perdarahan terus selama sebulan. Takutnya nanti malah nggak karu-karuan. Belum lagi efek sampingnya pil KB yang bikin frustasi. Jadi gimana cara menundanya? Pakai hitungan kalender masa subur aja, juga dengan cara tertentu dalam berhubungan (maaf) agar tidak terjadi pembuahan. For further info, bisa search tentang masa subur di google, terus baca di website yang kredibel yah.

Nah, kira-kira 8 bulan setelah menikah, setelah lumayan banyak kisah seru dan haru yang kita lalui, dan kayaknya sudah puas pacaran, kami mulai ingin punya anak. Jadi di fase ini banyak air mata tumpah karena berdoa ingin dikaruniai anak. Trus pernah kepikiran juga, apa promil ke dokter aja yah sambil check up kondisi genital, soalnya saya belum pernah periksa kesehatan yang semacam tes hiv, papsmear, dan semacamnya. Hubby alias Mas Dani sebagai suami yang baik selalu nyuruh sabar sambil terus berusaha yang alami dulu, nggak usah tergopoh-gopoh.

Sambil terus berdoa minta diberi anak, saya mulai belajar, baca-baca dan tanya sana-sini tentang promil. Kemudian dengan insting seorang apoteker (insting apaan ini wkwk), saya memutuskan untuk memperbaiki nutrisi saya dan hubby untuk mendukung kehamilan.

Kondisi kami seperti ini :

Mas Dani hampir tiap hari jajan gorengan di kantor, terus suka diam-diam beli fast food sebelum jemput saya pulang kerja, tiap hari terpapar polusi jalanan, trus kerjanya berkutat dengan obat dan kadang dispensing obat sitostatik yang saya pikir pasti ada resiko terpapar zat karsinogenik walaupun sudah dilakukan sesuai prosedur. Sedangkan saya, lingkungan kerja relatif aman karena kebanyakan stay di office. Hanya sesekali aja beresiko terpapar zat kimia. Tapi saya sering merasa capeeek banget tiap hari. Jadiii kesimpulannya, kami butuh antioksidan. Pilihan kami jatuh pada suplemen vitamin E, sayur hijau (sawi, bayam, kailan), wortel, tomat, alpukat. Trus buat saya sendiri, saya tambah suplemen asam folat dan susu (saya pakai prenagen esensis). Ada penelitian yang mengatakan bahwa wanita yang asupan asam folatnya tinggi punya kemungkinan hamil yang tinggi juga. Selain itu, kehamilan yang direncanakan dengan asam folat membuat resiko kerusakan batang otak janin lebih kecil daripada yang tidak direncanakan. 

Seminggu dua kali kami minum degan ijo karena secara empiris berkhasiat menyuburkan kandungan dan membersihkan toksin. Sesekali kalau ada kurma, saya bikinkan rendaman kurma dalam air, alias infus water, buat tambahan glukosa dan antioksidan dan untuk mendapatkan manfaat lain dari kurma, sesuai sunnah Rasulullah.

Mas Dani sudah saya kasih pengertian buat ngurangin gorengan dan fast food, kalau mau ngemil pilih yang sehat aja. Saya sendiri stop jajan yang aneh-aneh. Biar lebih fit, kami yang tidak pernah olahraga ini akhirnya memilih olahraga renang (sesekali hahaha).

Kami rutinkan dah itu semua. Prosesnya nggak instan, namanya juga secara alami. Saya yang lebih pegang kendali untuk perbaikan nutrisi ini, dan Mas Dani nurut-nurut aja dijejalin apapun hahaha.  Pokoknya kami bikin kondisi kami sesehat mungkin, kalaupun belum hamil, masih dapat manfaat sehatnya kan. Dosis dari suplemen dan makanan itu saya atur sedemikian rupa agar pas, pakai insting apoteker.

Eh tapi serius deh yang namanya insting apoteker itu. Untuk memutuskan dosis segala macem untuk diri sendiri, saya lebih banyak pakai insting daripada ilmu, dan banyak benernya. Tapi kalau buat pasien, instingnya nggak boleh terlalu dipakai, ntar para dukun kalah sama saya.

Balik ke topik.

Dan yang tak kalah penting, (maaf) merutinkan berhubungan agar tidak melewatkan masa ovulasi. Sebelum berhubungan, tidak lupa kami berdoa dan Mas Dani minum madu + air hangat atau STMJ agar tubuh selalu nyaman dan hangat.

Maaf ya kalau membuat tidak nyaman membacanya. Ini udah sehalus mungkin nih penyampaiannya. Kurang halus lagi? Mungkin perlu efek face beauty. Krik.

Selama proses itu, saya sering berharap-harap cemas yang agak lebai hahaha. Misal lagi nggak enak badan, pengen minum obat, saya tespek dulu. Takutnya ntar udah positif terus saya minum yang kontraindikasi sama ibu hamil ntar nyesel dong. Trus kalau mau diajak keluar kota atau aktivitas yang bikin capek, saya tespek dulu, biar nggak kecolongan. Mau renang, tespek dulu. Mau makan nanas, tespek dulu. Terima kasih pabrik alkes di Krian yang sudah memproduksi tespek dua ribuan yang tidak membuat dompet saya bolong.

Alhamdulillah, sekitar dua bulan kemudian, usaha kami membuahkan hasil. Waktu itu jadwalnya hari kedua menstruasi, badan udah nggak enak banget tapi belum mens juga. Akhirnya seperti biasa, sebelum minum obat, saya tespek dulu. Udah kayak latah pakai tespek. Selain itu, saya berencana periksa ke dokter karena pengen promil pakai hormon (wooh mulai nggak sabar). Trus ternyata hasilnya positif, garis dua!

Saya terkesiap melihatnya. Trus saya kasih tau ke suami yang waktu itu masih leyeh-leyeh habis sholat subuh. Dia liatin terus itu tespek, terus ditaruh, terus diliat lagi, terus ditaruh lagi, terus saya disuruh pakai tespek lain biar lebih yakin. Untung masih nyimpen satu lagi yang agak mahal, tapi nggak lebih peka dari yang murah. Hasilnya positif juga. Kami senang luar biasa. Alhamdulillah. Kayak gini ternyata rasanya liat tespek positif. Seingat saya, belum pernah kami se-excited ini setelah menikah.

Sungguh ini keajaiban dari Allah. Alhamdulillahirobbil aalaamiin.
Read More
      edit
Published 12:03 PM by with 0 comment

A Marriage Life #6 : Speaking about marriage plan


Karena saya dan Mas Dani sering ditanyain, menerima curhat dan dimintain tolong macam-macam sehubungan dengan pernikahan oleh teman, sahabat, saudara yang ingin segera menikah, saya jadi kepengen buka layanan konseling rencana pernikahan sekalian WO nya. Lagian kalau konselingnya tentang obat mulu, lama balik modalnya. *Lhah kok curhatnya kayak apoteker. Kikikik.

Ini dia dua frequently asked questions yang sering mampir ke saya.

Rencana menikah umur berapa?


Jujur nih, waktu jaman kuliah dulu, saya orangnya ambi banget sama ilmu pengetahuan, organisasi, jurnalistik, sains, social event. Kayak semua yang saya temukan di bangku kuliah itu ingin saya miliki selamanya. Trus tiba-tiba ada teman yang menikah waktu masih kuliah, yang bikin saya ‘ndomblong’.

Kok bisa sih dia sudah nikah? Gue inget aja enggak.

Teman-teman saya menjelang akhir masa kuliah juga pada sounding tentang nikah-nikah gitu. Suatu hari, ada yang nyeletuk nanya ke saya, “kamu rencana nikah kapan? Habis lulus langsung ya?” soalnya gosip saya dekat sama seorang cowok di angkatan lagi santer abis. Dan karena cowok itu anak rohis, nggak mau pacaran, kalau deketin saya pasti cepet ngajak nikah, gitu spekulasi mereka. Padahal saya masih nggak merasa dideketin sih waktu itu. Hahaha.

Saya jawab, “nanti, kalau sudah umur 40 tahun.”

“Whaaat?”

“Kenapa? Masalah?”

Saya nggak bohong. Memang itu rencana sungguhan. Seperti saya bilang tadi, saya jatuh cinta pada dunia saya sendiri. Dunia yang memberi saya kesempatan, tantangan, kebebasan. Buat orang yang belum genap 20 tahun, saya merasa hanya itu yang saya butuhkan sih. Dan saya mikirnya sampai nanti-nanti juga saya ingin sibuk dengan dunia saya yang penuh manfaat itu. Begitu sudah 40 tahun, sudah banyak yang saya capai, saya baru mikir buat nikah.

Terus kenapa berubah rencana?

Karena ada yang ngelamar sebelum usia 40 tahun. Hahaha. Pelamarnya sudah masuk spesifikasi, masak iya mau ditolak? Apalagi yang ngelamar adalah si anak rohis yang kata akun-akun gosip kampus, suka sama saya. Nggak taunya ternyata dia beneran ngelamar dan ngajak nikah.

Waktu itu saya sudah lulus kuliah profesi Apoteker, sudah kerja satu tahun. Pandangan saya mulai terbuka. Saya mulai kenal banyak macam orang, bukan hanya yang seumuran, bukan hanya yang berprofesi sebagai Apoteker.  Dari hasil observasi dan ngobrol-ngobrol dengan banyak orang, saya mulai berpikir bahwa menikah bukan penghalang untuk saya tetap berkiprah di bidang yang saya mau.

Teman saya yang nikah pas kuliah udah punya anak, dan saya mulai melirik kebahagiaannya. Betapa terasa lengkap hidupnya. Betapa tidak galaunya dia di saat teman-teman sepantaran masih beriman pada lirik lagu Afgan “jodoh pasti bertemu” demi menjaga optimisme dalam hidup.

Yaudah deh, nikah aja.

Kenapa milih lelaki yang ini?

Allah yang pilihkan. Kuasa Allah bener-bener kerasa di sini. Setelah lulus kuliah, saya dihadapkan dengan banyak pilihan, termasuk urusan jodoh. Waktu itu sering ada teman-teman mama yang nanyain saya buat dikenalkan sama anaknya, sering juga ada cowok-cowok yang saya kenal sebelumnya berusaha mendekati. Banyak yang bilang saya beruntung, tapi saya berusaha tidak jumawa. Kalau benar milih jodoh itu dari hati, saya sudah memilih satu nama di hati dan saya challenge. Apakah kalau ada lelaki lain yang mendekat, akankah satu nama ini tergeser? Kalau iya, ya sudah, let it go. Kalau ternyata tidak, wah saya berhasil nih milih pakai hati. Kalau milih pakai otak, saya sudah lumayan jago dari dulu. Kalau pakai hati, baru kali ini saya terampil. Hahaha.

Terus ternyata, satu nama yang saya pertahankan ini tidak bisa tergeser dengan yang lain. Saya pun tidak berminat repot-repot membandingkan dia dengan yang lain. Dia memang tidak menawarkan keindahan dunia apapun. Tidak naik mobil waktu datang ke rumah. Belum punya rumah sendiri. Tidak mengajak saya kencan di tempat-tempat mahal. Tidak pernah membawakan bunga atau cokelat. Bahkan mahar yang dijanjikannya pertama kali tidak berupa harta, tapi hafalan Al-Quran yang dimilikinya, meskipun belum banyak. Saya tidak pernah meminta itu semua. Saya merasa cukup dengan kehadirannya dan asing dengan kepergiannya. Saya membayangkan hidup bersama dengannya setiap hari, meskipun sepertinya tak sepenuhnya indah karena kami benar-benar membangun hidup dari nol, tapi saya bisa menerimanya. He completes me!

Oya, satu lagi. Saya sudah kenal dia dari dulu banget, sejak semester satu. Banyak hal yang sudah kami lalui bersama sebagai teman belajar, partner praktikum, rekan seorganisasi, dan lain-lain. Bisa dibilang dia salah satu lelaki yang tidak keluar jauh dari perimeter saya selama lima tahun. Selama itu pula dia mencintai dalam diam, walaupun saya beberapa kali terlibat affair dengan yang lain. Ah, coba saya tau dari dulu ya... Ini pelajaran buat yang lain, buat selalu menjaga hati sebelum menikah, biar nggak ada penyesalan kemudian.

Mudah bagi Allah membuat hati saya ‘sreg’ sama lelaki yang satu ini.

Sekian dulu FAQ-nya. Ada lagi yang mau ditanyakan? Hahaha.

Oya, pesan dan kesan yah.

When you, girls, meet a guy that means to be ‘someone’ in your life, and you think that he is not 100% dream guy you wanna meet, or you have not been ready to marry, you may not consider the blessed life after marriage, which I believe it’s countless. But if you still feel like no or not yet or not this guy, it’s okay, don’t blame yourself for that. Maybe you’re right, he is not supposed to be ‘the someone’. It’s better than imposing yourself and regretting later.

Itu. (sambil ngacungin jari telunjuk kayak Mario Teguh) 

Read More
      edit

Tuesday, January 16, 2018

Published 9:24 PM by with 0 comment

A Marriage Life #5 : Cerita si Cincin


Kayaknya dulu aku pernah janji nulis tentang perjuangan mencari cincin nikah deh ya. Udah hampir setahun niih. Udah ada dari dulu tulisannya, tapi masih bentuk raw writing, istilahnya tulisan yang hanya cocok dikonsumsi pribadi. Ini pun barusan nemu tadi habis bongkar-bongkar file. Setelah dikondisikan sedemikian rupa, sepertinya dia siap dibaca. Mari kita baca kisah yang agak random ini.



Engkau lilin-lilin kecil

Sanggupkah kau mengganti

Sanggupkah kau memberi

Seberkas cahaya


Ternyata aku dan Mas Dani sempat melewati moment ‘lagu kenangan’. Gara-gara aku yang pengen nyanyi Lilin-Lilin Kecil tapi nggak tau nadanya, akhirnya kami berdua belajar nyanyi lagu itu dengan benar walaupun sumbangnya luar biasa.


Kukira Mas Dani anti sama lagu duniawi kayak gitu, ternyata nggak juga. Apa karena aku aja ya dia jadi kayak gitu? Hahaha. Sesat amat gueh.


Waktu itu kami sedang galau karena belum beli cincin nikah. Kalau mau beli sepasang emas-perak harus pesen dulu. Setelah nanya kesana kemari ternyata pesennya lumayan lama, sekitar sebulan. Yaampuuun. Kemana aja kemarin-kemarin kok nggak segera pesen. Ini udah H-3 minggu dan lagi libur imlek pula. Toko emas yang mayoritas milik orang-orang yang merayakan imlek jelas pada tutup. Akhirnya untuk menyesuaikan tema cerita, lagu lilin-lilin kecil itupun digubah sekenanya.


Dan kau cincin-cincin kecil

Kemana ku membeli

Emas sama perak

Tanggal udah mepet

*diseplak penyanyi aslinya*


Aku sama Mas Dani sempat nyoba muterin deretan toko-toko emas di belakang Pasar Wonokromo pas siang bolong. Daan... tutup semua. Ada satu yang buka, toko kecil. Mungkin Kokonya nggak pulkam untuk imlekan. Aku ragu untuk mampir, akhirnya nggak mampir. Huhuhu. Target kami sebenarnya adalah Pasar Atom, tapi toko emas di Pasar Atom ditelponin nggak diangkat, kemungkinan tutup juga. Aku jadi sebel karena semua tutup. Di jalan aku ngomel mulu. Dan kalau Mas Dani udah sebel dengerin aku ngomel mulu, dia bakalan nyuruh aku nyanyi.


“Nyanyio ndut.”


“Nggak mau, lagi pengen ngomel.”


Tapi ujung-ujungnya nyanyi juga.


Dan kau cincin-cincin kecil...


Mas Dani sempet mikir gini juga,


“Kita beli cincin mainan aja di tukang mainan depan SD, beli dua yang warnanya mirip emas gitu. Buat foto pas akad. Nanti habis nikah kita beli yang emas perak beneran.”


Walaupun idenya rada aneh, tapi sebenernya bisa dipake juga sih. Toh nggak ada kan yang mewajibkan pakai cincin, apalagi cincin emas dan perak. Buat bagus-bagusan doang itu.


Keesokan harinya, kami ke Pasar Atom dengan muka teler dan ngantuk habis begadang (lupa begadang ngurusin apa) dan berharap toko emas tidak tutup. Please jangan tutup dong, om, tante, mau nikah nih.


Setelah muter-muterin berbagai sudut atom, akhirnya toko emas yang kami incar ketemu dan barusan buka hari itu meskipun Pasar Atom masih sepi. Alhamdulillah. Oya, buat yang pengen tau, nama tokonya Agung Abadi. Tau toko ini dari mana? Dari blognya orang-orang yang udah hunting cincin nikah di Surabaya. Katanya sih recommended dari model, harga dan pelayanan. Yaudah daripada pusing nyari toko lain lagi, mending cus coba yang itu aja kan.


Di toko itu ada bermacam-macam desain cincin. Yang terpikir olehku adalah gimana caranya biar cincin cepat jadi. Udah gitu aja. Jadi kami memesan cincin yang modelnya simpel, dan yang penting ringan karena akan dipakai sehari-hari. Terus ditunjukin sama taciknya model yang ada di etalase. Aku langsung iyain, cocok sama ekspektasi. Terus kami diukur jarinya. Agak galau juga sih waktu ukur jari. Kok kayaknya aku antara ukuran 12-13 tapi nggak ada yang benar-benar fit. Maklum nggak pernah pake cincin. Terus kokonya bilang, “yaudah pake 13 aja, nanti waktu dibikin bisa diusahain biar pas kok.” dan taciknya bilang, “ntar kalau hamil juga gede jarinya.” Aku ketawa aja.


Untuk cincin emasnya, aku pilih yang 75%, warna kuning. Bisa juga lho kalau mau 100% atau 24 karat. Yang perak dilapisi warna kuning biar sama. Lapisan kuningnya bukan emas kok, tembaga atau apaa gitu. Trus dikasih bonus tempat cincin. Tempat cincinnya standar, yang bahannya dari plastik terus dalamnya ada karpet merahnya. Bagiku, nggak penting lah wadahnya, nggak harus yang desainnya keren-keren ala orang hits.


Setelah bayar DP pake debit, kami meninggalkan toko dengan perasaan lega. Gitu tuh kalau pelayanan baik, customer puas, pulang nggak nggerundel. Nanti kalau cincinnya sudah jadi, kami dikabarin lewat telepon. Insyaallah bisa jadi on time. Dan banyak review di blog-blog yang bilang kalau di toko itu biasanya malah bisa in time selesainya. Semoga aja yah. Aamiin.


Di perjalanan pulang, theme song-nya berubah lagi.


Dan kau cincin cincin kecil

Akhirnya kau kebeli

Semoga cepat jadi

Untuk Danitiaaaaaaaaaa


Trus seinget aku, cincinnya jadi pas H-5. Deg-degan banget, takut nggak nutut. Yang ambil cincinnya Mas Dani seorang, karena kalau nunggu aku pulang kerja, keburu tutup tokonya. Aku hanya berpesan, pokoknya cincin aku minta diukir nama kamu, cincin kamu diukir nama aku. Trus kamu coba aja dua cincin itu di jari, kalau cincin aku agak kekecilan di kamu berarti kayaknya pas di aku.


Waktu dibawa ke rumah dan aku coba, ternyata masih kegedean. Sampai sekarang pun kegedean. Jadinya nggak bisa dipakai di jari manis, pakainya di jari tengah. Hahaha. Yaudahsik, mau tuker ke toko juga udah nggak sempat. Yang penting kan ada buat foto-foto dan dipakai sehari-hari, biar keliatan kalau udah nikah ya cuy.


Sekian ceritanya. Udah yaa lunas hutang nulis eike.


Kalau ada yang mau nanya-nanya tentang pesen cincin di toko emas yang saya ceritakan di atas, boleh japri saya. (Bukan endorse)
 
Read More
      edit