Thursday, July 2, 2015

Published 8:21 PM by with 1 comment

Tentang Menjadi Manusia



Seringkali dalam hidupku, aku dituntut untuk mengerti, memahami orang lain tanpa mempedulikan diriku sendiri. Dulu aku suka sekali mempertahankan pendapat, mencari lawan untuk berdebat, memaksakan kehendak. Semua itu dengan semangat pemberontakan, mungkin bisa dianggap mempertahankan eksistensi, untuk menunjukkan kalau aku pantas menang atas semua orang. Ketika ternyata aku salah, aku tertekan dan merasa tidak berdaya, tetapi berkeinginan untuk membalas di lain kesempatan. Ah, rasanya itu lebih seperti kehidupan hewan di hutan rimba.

Kemudian aku lelah. Aku tak ingin lagi kemenangan di depan orang banyak. Aku tak mau lagi menunjukkan bahwa aku benar, sekalipun aku memang benar. Kuruntuhkan sendiri hatiku yang mengeras. Entah apapun terjadi, aku malas sekali membantah. Aku menerima kekalahan dalam diam, belajar meredam sendiri tangisku, belajar menyembuhkan sendiri kesakitanku. Betapapun sakitnya, aku bisa menahan. Ah, rasanya itu lebih seperti batu yang selalu diinjak.

Manusia di sekitarku terkadang terlalu berambisi untuk dimanusiakan. Ada saja tuntutannya yang didasarkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada yang bersikap sok teraniaya karena dimarahin orang tuanya. Ada yang bersikap sok dikucilkan karena teman-temannya sibuk bekerja. Ada yang bersikap sok kehilangan harapan hidup karena ditinggalkan kekasihnya. Aku sudah lama menghindari sikap konyol seperti itu, yang kalau kata anak jaman sekarang, baper.

Aku takut terlalu berbaur dengan perasaan akan dapat melemahkan iman karena sebenarnya perasaan itu adalah ego yang mudah dicampuri oleh setan. Alhasil, manusia jadi susah memaafkan, sedih berkepanjangan, suka marah-marah.

Sampai di sini mungkin ada yang bergumam, “namanya juga manusia...”, dan aku kesal sekali dengan manusia yang mengatasnamakan manusia seperti itu. Iya semua juga tau kamu manusia, tapi sampai kapan kamu meminta manusia lain membiarkan kelakuanmu menyakiti mereka? Manusia macam apa sih yang seenaknya sendiri begitu...

Maaf, mungkin aku lelah berempati. Juga lelah menghadapi manusia yang terlalu berambisi untuk dimanusiakan.

Sekarang hidup bukan sekedar tentang benar dan salah dalam pandangan manusia. Hanya Allah yang penilaiannya paling benar, dan kita manusia, hanya bisa berusaha melihat sedekat mungkin dengan cara pandang Allah. Artinya, sedekat mungkin dengan kebenaran hakiki.

Aku berusaha menghindar dari masalah kemanusiaan yang remeh-temeh. Tidak usah baper. Baper tidak membuat kita semakin bijak. Mungkin aku akan tetap menjadi seperti batu, yang belajar meredam sendiri tangisku, menyembuhkan sendiri kesakitanku, walaupun terinjak kian dalam. Setidaknya aku tidak menyakiti manusia lain dan tidak mengindahkan kesakitan yang kurasakan. Jika tak sengaja melukai, aku bisa meminta maaf dengan tegas, dan jika tidak dimaafkan, aku tidak akan memohon. Dia hanya manusia, yang mungkin sebelah hatinya sudah dimiliki oleh setan. Aku tidak mau memohon pada setan, ataupun manusia setengah setan.

Yah pokoknya begitu, terkadang dianggap batu lebih menguntungkan daripada dianggap manusia. Tak usahlah risau manusia mau bilang apa, yang penting berusaha menjadi yang terbaik di hadapan Sang Pencipta.



Read More
      edit