Sunday, December 23, 2012

Published 12:54 PM by with 0 comment

Ibu, Aku Mencintaimu Karena Allah

Disadari atau tidak, ibu kita semakin tua, begitu juga dengan kita. Semakin sedikit waktu yang tersisa bagi ibu untuk mendampingi kita, begitu juga dengan waktu kita untuk mendampingi ibu. Belum lagi kita yang masih muda begini dunianya terlalu luas, semakin jarang pulang, waktu kita habis untuk urusan kita sendiri. Sementara ibu kita walaupun jauh selalu mendoakan anaknya setiap waktu.

Satu per satu impian kita tercapai, lalu bagaimana dengan impian ibu? Lagi-lagi disadari atau tidak, ibu kita juga pernah seperti kita, punya impian, cita-cita... tapi demi kita, beliau rela mengganti seluruh impiannya dengan "yang penting anakku sukses, bahagia, cita-citanya tercapai".

Yang paling nyesek bagi saya yang ber-ibu single parent adalah ketika menyadari ibu semakin sendirian. Saya sejak SMP sudah tidak tinggal bersama ibu. Kuliah sekarang pun di luar kota. Di rumah masih ada adek, adek angkat, adek sepupu. Tapi adek saya tahun depan kuliah. Adek sepupu saya tahun depan ingin melanjutkan SMA di luar kota. Adek angkat saya masih kelas 2 SMA, masih bisa mendampingi ibu.

Bahkan tidak usah menunggu tahun depan. Saat ini pun sudah terasa. Saya minggu depan ujian, jadi harus cepet-cepet balik ke Surabaya, berjibaku belajar. Adek saya nanti sore berangkat ke Kampung Inggris, dua minggu di sana. Adek angkat saya besok pulang ke rumah ibu kandungnya. Adek sepupu saya masih sibuk dengan ekskulnya. Sementara ibu yang sedang libur kerja, ya di rumah saja. Pasti kesepian, bukan?

Kemarin aku bertanya, "ibu kesepian?"

Kata Ibu, "kalau ingat anak-anaknya ibu, ibu tidak kesepian kok."

Lalu ketika ada yang bertanya kenapa Ibu jarang makan daging lagi sekarang, ibu menjawab "biar sehat dan bisa menjaga anak-anakku terus."

Semakin dewasa, harusnya kita semakin dekat dengan ibu, bukannya semakin jauh. Sekarang, setiap ada waktu luang, saya berusaha menelepon ibu, walaupun mungkin hanya bertanya "ibu sedang apa? masak apa hari ini?" dan semakin sering mataku berkaca-kaca jika sedang diam sendiri, memikirkan ibu.

Entah apa lagi yang bisa aku lakukan selain hal-hal kecil untuk ibu. Selalu kupanjatkan doa untuk Ibu.

Ibu, aku mencintaimu karena Allah... :'')

#renunganhariibu
Read More
      edit

Thursday, December 13, 2012

Published 9:34 PM by with 0 comment

Fase Decline

Semakin tidak diizinkan goyah. Helaan napas semakin panjang. Tapi kenapa masih terasa sesak?

Mungkin karena energi negatif yang tak sengaja terpancarkan begitu saja, tak terkendali hingga memantul kembali ke ulu hati...

Mungkin karena mata semakin redup, dikaburkan oleh cairan lakrimasi, atau pupil yang dikekang respon parasimpatis...

Mungkin karena lobus-lobus cerebrum mengejang, terlalu jengah tanpa ada yang peduli...

Kalau mau lebih spesifik dan 'berperasaan'...

Mungkin karena rasa bersalah bercampur dengan sesal, haru, retak, pecah. Dan selalu dipaksa bersembunyi dibalik klise rutinitas mahasiswa. Hingga kapan mau bersembunyi? Diam-diam, mengendap-endap agar tak kelihatan. Tapi toh selalu ditemukan.

Sesal selalu datang di akhir. Inilah akhir - lebih tepatnya akan mencapai akhir, yaitu di awal fase decline. Dalam hitungan hari.

Seperti mimpi.

Dan berharap ketika terbangun, aku masih berada di tempat pertama kali aku memegang 'piala', setengah menangis menatap wajah mereka yang entah karena apa memilih memberikan kepercayaan besar padaku. Kalau boleh kembali ke masa itu, aku akan memperbaiki segalanya... kalau boleh... Ya Allah... *titik dua, kurung buka
Read More
      edit

Sunday, December 2, 2012

Published 11:59 PM by with 0 comment

Masih bolehkah?

Ya Allah... aku ini pemimpin, tapi bukan pemimpin yang baik. Masih bolehkah aku memimpin?

Aku menerima amanahku dengan sepenuh hati, Ya Allah. Meski kadang aku lengah, aku selalu ingat berdoa kepadaMu setiap waktu. Berdoa agar amanah ini Engkau mudahkan. Agar bebannya Engkau ringankan.

Aku ini pemimpin, Ya Allah, tapi rasanya masih banyak hal yang belum bisa aku lakukan, padahal harusnya aku bisa. Mungkin aku kurang belajar.

Aku memang bukan orang koleris. Bukan orang yang pemberani. Bukan orang yang sejak dahulu kala sudah dilatih untuk menjadi pemimpin. Bukan orang yang memiliki jiwa kepemimpinan ataupun EQ tinggi. Aku hanya bisa berusaha dan memberanikan diri menghadapi apapun. Masih bolehkah aku memimpin? Boleh, kan?

Mungkin memang banyak yang bisa memimpin lebih baik. Rasanya kalau menyebut-nyebut 'pantaskah saya?' akan sangat berat meyakinkan diri untuk menjawab 'ya'. Berbesar hati menerima keadaan diri dan belajar lebih banyak dari mereka biasanya akan lebih mudah.

Setidaknya, Ya Allah, meskipun aku BELUM bisa, terimakasih sudah memberikanku kesempatan untuk belajar. Kalaupun memang aku tidak secerdas mereka yang bisa memimpin lebih baik, aku hanya perlu belajar berpuluh kali lipat.

Beri aku kesempatan untuk menyelesaikan amanah ini sebaik yang aku bisa. Mungkin aku akan tersenyum bahagia mengucapkan terimakasih tak terhingga untuk orang-orang yang telah memberiku kekuatan dengan kepercayaan. Dan nanti jika amanah datang lagi, jadikan aku 'SUDAH lebih baik'.

Yang aku tau, manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi ini. Maka tidak mungkin seseorang tidak bisa menjadi pemimpin.

Ya Allah, jadikan aku pemimpin yang Engkau sayangi, dan disayangi orang-orang yang aku pimpin.

*Lalu mengusap air mata dengan ujung lengan baju*


Sayang Allah,

Chyntia, 19 tahun, yang ingin disayang Allah juga.
Read More
      edit