Tidak semua yang ada di dunia ini
hanya dua sisi. Hitam-putih, gelap-terang, siang-malam. Tidak semua bisa
diputuskan dengan ya-tidak.
Bahkan banyak hal yang harus
diputuskan dengan segala pertimbangan yang rumit. Menimbang yang kanan dan kiri,
menggeser tuas, menaik-turunkan beban, atau mungkin mengurangi muatan yang
ditimbang. Membuat lelah? Iya, bisa saja. Mungkin di sinilah fungsi nalar
manusia akan diketahui gunanya, menimbang-nimbang sebelum memutuskan. Tapi
nalar pun tidak selalu melihat dari sudut yang benar.
Bagaimana agar nalar kita melihat
dari sudut yang benar, dan mengarahkan kita untuk melakukan sesuatu yang benar,
sesuatu yang disebut dengan adab atau akhlak mulia?
Yang saya tau adalah kita tidak
hanya dibekali Tuhan dengan nalar buta, melainkan juga petunjuk-petunjuk yang
disampaikan melalui berbagai cara. Lalu dengan petunjuk-Nya itu kita belajar
menggunakan nalar untuk menghadapi persoalan-persoalan hidup, yang mau tidak
mau akan terus bertambah pelik seiring dengan semakin jauh kita melangkah.
Dan yang saya tau, ketika kita
percaya Tuhan, kita akan tunduk patuh pada perintah-Nya. Itulah sudut yang
benar, benar-benar benar menurut Tuhan. Mungkin manusia yang wawasannya hanya
secuil daripada Tuhan Yang Maha Mengetahui, terpaku pada sudut yang dianggapnya
benar, tanpa mau tau betapa ia sangat berseberangan dengan Tuhan. Jadilah ia
manusia yang merasa dirinya benar – menurut ia sendiri. Dan akhlak mulianya
adalah menurut ia sendiri juga.
Kalau mau diakui, ada juga
manusia yang sudah tau dirinya salah, mengetahui apa yang benar, namun betah
berada dalam kondisi salah karena salah miliknya tersebut terlalu nikmat,
terlalu membuatnya nyaman. Ia merasa berat meninggalkannya, merasa apa yang
benar menurut Tuhan tidak akan membuatnya sebaik saat ia berada di kondisi
salah. Nalarnya terus mengejar kebenaran, namun sebelah hatinya dikuasai nafsu
untuk bertahan dalam kondisi salah. Jadilah ia terus menggeser tuas,
menaik-turunkan beban. Terkadang luluh dengan timbangannya yang mengarah ke
benar, namun berat untuk melakukannya. Pernah juga ia berhasil meletakkan beban
lebih di kanan, sebelah hatinya tidak rela kehilangan satu hal yang membuatnya
bahagia di kiri. Galau.
Terjebak dalam kondisi
menimbang-nimbang tidak selalu dapat membuat nalar terlatih, namun juga rentan
tertatih. Ketika kita terlalu nyaman berada dalam kondisi salah, dan kita
mengetahui yang benar, bukankah lebih baik menggunakan energi untuk menggertak
diri sendiri agar berani memutuskan, apapun resikonya... meskipun itu berarti kehilangan.
Yang saya tau, saya trauma dengan
kehilangan.
Memang bukan perkara mudah.
Allah, please guide me.
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .