Reportase Hari Pertama Pelatihan Jurnalistik dan Desain Grafis yang diselenggarakan UKMKI
Pernah bingung melewatkan weekend? Tentu ada yang menjawab pernah. Tetapi tidak bagi beberapa mahasiswa di universitas airlangga pekan ini, termasuk saya sendiri. Setelah hampir seminggu berkutat dengan kegiatan kuliah di fakultas masing-masing, hari ini, Sabtu 26 November 2011, kami menyempatkan diri untuk berkumpul di aula Student Center di kampus C Unair. Acara yang kami ikuti bertajuk Pelatihan Jurnalistik dan Desain Grafis yang diselenggarakan UKMKI Unair. Dari namanya saja sudah tergambar apa saja yang akan kami dapat di dalamnya. Ya, ilmu-ilmu jurnalistik tentunya.
Dengan menghadirkan pemateri-pemateri handal di dunia jurnalistik, pelatihan yang dikemas dalam nuansa Islami ini menuai antusiasme pesertanya. Awalnya memang suasana terasa kaku, namun setelah pekikan takbir dan perkenalan yang singkat, kekakuan itu akhirnya cair juga. Pertanyaan dari pemateri pertama, M. Anwar Djaelani, sebelum menyajikan materinya membuat kami cepat-cepat mengangkat tangan. “Siapa di sini yang suka menulis? Yang tidak angkat tangan keluar saja,” tanyanya dengan tertawa. Pemateri yang merupakan dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya ini tidak hanya menyampaikan teori, tetapi juga membuat peserta merasa enjoy mengikuti materinya.
Beliau memberikan dasar dan tips dalam menulis yang tentunya sangat berguna. Misalnya, membawa notes kecil kemana-mana untuk menuliskan ide yang sering muncul tiba-tiba, kemudian ide-ide itu dirangkaikan menjadi kerangka dan dapat dikembangkan menjadi suatu tulisan utuh. Sebenarnya ini juga sudah saya terapkan dalam keseharian saya, di tengah kesibukan yang melelahkan pun saya berusaha menulis walaupun sedikit di “ideas notes” saya, karena sayang sekali kalau ide-ide itu dilewatkan begitu saja. Selain itu beliau juga menekankan bahwa seorang penulis harus rajin membaca, setidaknya satu artikel per hari. Ini penting untuk mempelajari kecakapan membidik masalah atau tema, keaktualan, keterjagaan fokus, sistematika, perbendaharaan kata dan keterampilan memberi solusi. Nah, kalau yang satu ini saya sering lengah. Mungkin karena saya belajar di fakultas yang jadwal kuliah-praktikumnya selalu padat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, bacaan saya hanya seputar diktat kuliah, buku petunjuk praktikum, jurnal-jurnal kesehatan, kamus-kamus bahan obat untuk kepentingan membuat jurnal praktikum. Nyaris tidak ada waktu untuk mempelajari hal-hal tersebut di atas, meskipun saya sangat tertarik dengan bidang jurnalistik.
Masih banyak lagi hal-hal yang saya pelajari dari pemateri yang selalu bersemangat ini. Satu yang masih saya ingat adalah kalimat ini : Penulis pasti ‘kaya’ dan kaya. ‘Kaya’ karena dia berposisi sebagai pemberi ilmu, pengetahuan, gagasan. Dia pasti kaya wawasan, sebab aktivitas menulis mewajibkan dirinya untuk terus membaca. Sedangkan kaya yang kedua memiliki arti kaya secara finansial. Sudah banyak contoh penulis-penulis yang kaya saat ini. Sebut saja A. Fuadi, Asma Nadia, Habibburrahman El-Shirazy dan Andrea Hirata. Karya-karyanya yang jempolan agaknya sebanding dengan royalti yang diterimanya.
Yang terpenting dalam menulis adalah pantang menyerah. Jangan patah hati ketika artikel ditolak oleh penerbit, cobalah menulis lagi dan lagi, lalu kirimkan lagi dan lagi. Jangan segan mengubah sudut pandang pemikiran dan terus belajar. Kita memang manusia yang diperintahkan Allah untuk belajar hingga akhir hayat, bukan?
Pemateri selanjutnya adalah Galih Sukma, seorang fotografer. Gayanya yang easy-going memicu gelak tawa peserta beberapa kali. Banyak pengalaman seru sebagai fotografer yang dibagikannya dalam materi fotografi jurnalistik ini. Meskipun saya tidak memiliki basis sama sekali di bidang fotografer, beliau mampu membuat saya mengerti pesan yang disampaikan oleh foto-foto yang ditunjukkannya. Memang benar, sebuah foto dapat mewakili seribu kata. Kami pun mempraktekkannya. Setelah berlomba hunting foto selama 10 menit, kami belajar mempresentasikan pesan yang tersingkap dari “lukisan cahaya” kami tersebut.
Ada beberapa hal teknis yang penting dalam fotografi jurnalistik. Yaitu komposisi, angle, lighting dan exposure. Keempatnya saling berhubungan satu sama lain, menyusun sebuah foto yang enak dilihat dan mampu “bercerita”. Boleh jadi kamera-kamera yang ada sekarang ini berkualitas bagus semua, mulai dari kamera fotografi hingga kamera HP, namun itu tak menjamin keindahan foto yang dihasilkan. Kamera hanya meng-handle lighting saja, sedangkan untuk komposisi, angle dan exposure, kitalah yang harus mengaturnya.
Pesan yang disampaikan oleh sebuah foto tergantung point of interest-nya. Seorang fotografer jurnalistik yang “jam terbang”nya sudah tinggi biasanya bisa mengambil point of interest yang baik dengan mengandalkan nalurinya. Namun bagi kita yang masih dalam tahap belajar, diperlukan latihan dan kesigapan dalam memotret. Waktu atau timing sangat menentukan hal ini.
Singkatnya, jangan cepat puas dengan sekali mencoba. Terus eksplorasi potensi kita dan peka terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita. Abadikan peristiwa dalam sebuah lukisan cahaya. Seperti yang dikutip pemateri ini dari Bruce Baufman, hal terpenting bagi seorang fotojurnalis adalah berfikir bahwa ia adalah seorang wartawan, yang kedua baru ia bertindak sebagai fotografer.
Seorang jurnalis, bagi saya, adalah mata dunia. Dia menggambarkan satu hal dari berbagai sudut pandang. Dia punya seribu ide untuk mengupas satu peristiwa. Apa yang telah diukirnya dalam tulisan di media massa akan terus hidup dan menjadi bukti sejarah bahwa ia pernah ada di dunia ini.
Sedikit penat tak menjadi masalah bagi kami mengingat begitu banyak pelajaran yang telah kami dapat. Esok pelatihan masih terus berlanjut dan segelintir peserta ini tak sabar menantinya. Semoga ilmu dari pelatihan ini dapat membuat saya lebih bersemangat untuk berkarya di bidang jurnalistik, walau sering tergeletak lelah di atas jurnal praktikum, dan tentunya menjadi inspirasi dalam menjalankan tugas sebagai Reporter untuk majalah kampus tercinta, Farma Pos.
Tetaplah bersinar, dunia jurnalistik Indonesia.
Chyntia Tresna Nastiti – Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
Read More
Pernah bingung melewatkan weekend? Tentu ada yang menjawab pernah. Tetapi tidak bagi beberapa mahasiswa di universitas airlangga pekan ini, termasuk saya sendiri. Setelah hampir seminggu berkutat dengan kegiatan kuliah di fakultas masing-masing, hari ini, Sabtu 26 November 2011, kami menyempatkan diri untuk berkumpul di aula Student Center di kampus C Unair. Acara yang kami ikuti bertajuk Pelatihan Jurnalistik dan Desain Grafis yang diselenggarakan UKMKI Unair. Dari namanya saja sudah tergambar apa saja yang akan kami dapat di dalamnya. Ya, ilmu-ilmu jurnalistik tentunya.
Dengan menghadirkan pemateri-pemateri handal di dunia jurnalistik, pelatihan yang dikemas dalam nuansa Islami ini menuai antusiasme pesertanya. Awalnya memang suasana terasa kaku, namun setelah pekikan takbir dan perkenalan yang singkat, kekakuan itu akhirnya cair juga. Pertanyaan dari pemateri pertama, M. Anwar Djaelani, sebelum menyajikan materinya membuat kami cepat-cepat mengangkat tangan. “Siapa di sini yang suka menulis? Yang tidak angkat tangan keluar saja,” tanyanya dengan tertawa. Pemateri yang merupakan dosen STAIL Pesantren Hidayatullah Surabaya ini tidak hanya menyampaikan teori, tetapi juga membuat peserta merasa enjoy mengikuti materinya.
Beliau memberikan dasar dan tips dalam menulis yang tentunya sangat berguna. Misalnya, membawa notes kecil kemana-mana untuk menuliskan ide yang sering muncul tiba-tiba, kemudian ide-ide itu dirangkaikan menjadi kerangka dan dapat dikembangkan menjadi suatu tulisan utuh. Sebenarnya ini juga sudah saya terapkan dalam keseharian saya, di tengah kesibukan yang melelahkan pun saya berusaha menulis walaupun sedikit di “ideas notes” saya, karena sayang sekali kalau ide-ide itu dilewatkan begitu saja. Selain itu beliau juga menekankan bahwa seorang penulis harus rajin membaca, setidaknya satu artikel per hari. Ini penting untuk mempelajari kecakapan membidik masalah atau tema, keaktualan, keterjagaan fokus, sistematika, perbendaharaan kata dan keterampilan memberi solusi. Nah, kalau yang satu ini saya sering lengah. Mungkin karena saya belajar di fakultas yang jadwal kuliah-praktikumnya selalu padat dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, bacaan saya hanya seputar diktat kuliah, buku petunjuk praktikum, jurnal-jurnal kesehatan, kamus-kamus bahan obat untuk kepentingan membuat jurnal praktikum. Nyaris tidak ada waktu untuk mempelajari hal-hal tersebut di atas, meskipun saya sangat tertarik dengan bidang jurnalistik.
Masih banyak lagi hal-hal yang saya pelajari dari pemateri yang selalu bersemangat ini. Satu yang masih saya ingat adalah kalimat ini : Penulis pasti ‘kaya’ dan kaya. ‘Kaya’ karena dia berposisi sebagai pemberi ilmu, pengetahuan, gagasan. Dia pasti kaya wawasan, sebab aktivitas menulis mewajibkan dirinya untuk terus membaca. Sedangkan kaya yang kedua memiliki arti kaya secara finansial. Sudah banyak contoh penulis-penulis yang kaya saat ini. Sebut saja A. Fuadi, Asma Nadia, Habibburrahman El-Shirazy dan Andrea Hirata. Karya-karyanya yang jempolan agaknya sebanding dengan royalti yang diterimanya.
Yang terpenting dalam menulis adalah pantang menyerah. Jangan patah hati ketika artikel ditolak oleh penerbit, cobalah menulis lagi dan lagi, lalu kirimkan lagi dan lagi. Jangan segan mengubah sudut pandang pemikiran dan terus belajar. Kita memang manusia yang diperintahkan Allah untuk belajar hingga akhir hayat, bukan?
Pemateri selanjutnya adalah Galih Sukma, seorang fotografer. Gayanya yang easy-going memicu gelak tawa peserta beberapa kali. Banyak pengalaman seru sebagai fotografer yang dibagikannya dalam materi fotografi jurnalistik ini. Meskipun saya tidak memiliki basis sama sekali di bidang fotografer, beliau mampu membuat saya mengerti pesan yang disampaikan oleh foto-foto yang ditunjukkannya. Memang benar, sebuah foto dapat mewakili seribu kata. Kami pun mempraktekkannya. Setelah berlomba hunting foto selama 10 menit, kami belajar mempresentasikan pesan yang tersingkap dari “lukisan cahaya” kami tersebut.
Ada beberapa hal teknis yang penting dalam fotografi jurnalistik. Yaitu komposisi, angle, lighting dan exposure. Keempatnya saling berhubungan satu sama lain, menyusun sebuah foto yang enak dilihat dan mampu “bercerita”. Boleh jadi kamera-kamera yang ada sekarang ini berkualitas bagus semua, mulai dari kamera fotografi hingga kamera HP, namun itu tak menjamin keindahan foto yang dihasilkan. Kamera hanya meng-handle lighting saja, sedangkan untuk komposisi, angle dan exposure, kitalah yang harus mengaturnya.
Pesan yang disampaikan oleh sebuah foto tergantung point of interest-nya. Seorang fotografer jurnalistik yang “jam terbang”nya sudah tinggi biasanya bisa mengambil point of interest yang baik dengan mengandalkan nalurinya. Namun bagi kita yang masih dalam tahap belajar, diperlukan latihan dan kesigapan dalam memotret. Waktu atau timing sangat menentukan hal ini.
Singkatnya, jangan cepat puas dengan sekali mencoba. Terus eksplorasi potensi kita dan peka terhadap kejadian-kejadian di sekitar kita. Abadikan peristiwa dalam sebuah lukisan cahaya. Seperti yang dikutip pemateri ini dari Bruce Baufman, hal terpenting bagi seorang fotojurnalis adalah berfikir bahwa ia adalah seorang wartawan, yang kedua baru ia bertindak sebagai fotografer.
Seorang jurnalis, bagi saya, adalah mata dunia. Dia menggambarkan satu hal dari berbagai sudut pandang. Dia punya seribu ide untuk mengupas satu peristiwa. Apa yang telah diukirnya dalam tulisan di media massa akan terus hidup dan menjadi bukti sejarah bahwa ia pernah ada di dunia ini.
Sedikit penat tak menjadi masalah bagi kami mengingat begitu banyak pelajaran yang telah kami dapat. Esok pelatihan masih terus berlanjut dan segelintir peserta ini tak sabar menantinya. Semoga ilmu dari pelatihan ini dapat membuat saya lebih bersemangat untuk berkarya di bidang jurnalistik, walau sering tergeletak lelah di atas jurnal praktikum, dan tentunya menjadi inspirasi dalam menjalankan tugas sebagai Reporter untuk majalah kampus tercinta, Farma Pos.
Tetaplah bersinar, dunia jurnalistik Indonesia.
Chyntia Tresna Nastiti – Fakultas Farmasi Universitas Airlangga