“Itu aja! Yang kepalanya keluar-keluar dari kandang!” seruku
saat kami memilih kelinci percobaan. Aduh, lucunya. Aku jadi inget mantan
kelinciku, Alfa. Sama-sama putih, kupingnya pink dan panjang. Gemesiiin banget
pokoknya. Kemudian kami berebutan menggelitiki hewan berwajah innocent itu.
Anehnya, si kelinci yang diuyel-uyel ini gayanya kayak orang nge-fly.
“Ci, kamu tadi malem habis begadang di diskotik apa ngerjain
laporan, ci?” tanyaku. Si kelinci diam, tampangnya tetep nge-fly dan matanya
merah. Nah, beneran habis ajojing dia ini. Kembalilah ke jalan yang benar, ci,
gumamku sambil narik-narik kumisnya.
Kelinci inilah yang jadi objek dalam praktikum anestesi
kami. Sebenarnya dari awal aku was-was dengan kelompok yang suka rada-rada
sableng pas praktikum ini. Biasanya ada aja silly mistake-nya. Kalo nggak
ngulang percobaan berkali-kali baru dapet hasil yang bener, nge-adkan zat
sambil ngelamun sampe lebih dari garis tanda, datanya aneh, dan lain
sebagainya. Yang bikin tambah was-was adalah karena saya penyumbang tetap
kesalahan bodoh itu .___. Masalahnya ini objeknya makhluk Allah, yang punya
nyawa, pengen hidup dan lucu. Haash, tega-nggak tega harus tetep praktikum! Aku
berusaha meyakinkan diri sendiri.
Lalu kelompok yang terdiri dari 6 macan, 3 orang tua, 1 Leha
dan 1 Farmut ini ribet berebutan tugasnya dalam praktikum. Ada yang menawarkan
diri megangin kelinci biar posisinya pewe, ngamatin pernapasan, nyubitin kaki
kelinci untuk melihat stadium analgesia, nyentrong pupil matanya untuk melihat
respon midriasis, mencatat waktu, ada juga yang menawarkan diri untuk
mengelus-elus kelinci itu selama percobaan (yang terakhir ini bukan termasuk
prosedur.red). Aku sendiri awalnya menawarkan diri untuk duduk manis aja, tapi
nggak jadi karena takut disenggrong
yang lain. Akhirnya aku memutuskan untuk pegang stetoskop, mengamati irama
detak jantungnya.
Tugas praktikum kita waktu itu adalah membius (anestesi) si
kelinci dengan meneteskan eter ke sungkup yang ditutupkan ke mulutnya. Anestesi
sendiri ada 4 stadium. Target kita adalah membius sampai stadium 3 plane 3. Itu
adalah stadium yang aman untuk dilakukan operasi yang cukup dalam. Stadium 3
plane 4 adalah stadium terlarang karena dekat dengan stadium 4 yang menuju ke
kematian. Oke, sampai di sini aku paham teorinya, juga resiko yang dapat
terjadi. Ah, sudahlah, kan ini hewan, begitu pikirku.
Ternyata yang mengamati detak jantung berperan sebagai
leader dalam praktikum ini. Tugasnya adalah memberi aba-aba kepada yang lain
untuk melakukan tugasnya, karena detak jantung adalah penentu utama stadium
anestesi.
Setelah semuanya siap di posisinya dan kupingku yang
lubangnya kecil sudah terbiasa dengan stetoskop, aku berdoa penuh keresahan,
agak gemetaran juga, ngalah-ngalahin orang mau akad nikah *eh.
“Stadium 1. Analgesia.” kata Farmut.
Oke, mulai masuk ke stadium 2 sekarang. Eter terus
diteteskan.
“Takikardi!” seruku. Sementara napas kelinci mulai
naik-turun nggak teratur. Jangan grogi atuh, ci... (prasaan orangnya yang grogi
-.-)
“Takikardi! Ronchi!” seruku lagi.
Beberapa saat kemudian, ketika aku terus diam, anak-anak
mulai nggak sabaran.
“Gimana woi?”
“Udah lewat belum stadium 2 nya?”
“Kok lama?”
“Sabaar... Takikardi, tetep takikardi!” seruku, tapi ragu
juga, kenapa lama sekali. Udah 6 menit lebih
masih stadium 2 terus..
Masuk ke menit ke-8, aku panik. Jantungku ikutan takikardi
juga. Kelinciii, yang kuat yaah... Ayo lewati stadium 2 nya, bahaya lho.
“Matanya mendelik!” seru temenku yang mengamati pupil mata.
Kerudungku rasanya basah sama keringat, padahal ruangan
sejuk. Irama jantung si kelinci lewat stetoskop memenuhi pikiranku.
“Stabil! Stabil! Bradikardi!” seruku akhirnya. Yang lain
mulai agak rileks. Tetesan eter dihentikan. Waktu itu aku berpikir sudah benar
sampai ke stadium 3, tapi kenapa matanya masih mendelik? Harusnya dia merem.
Beberapa detik kemudian...
Denyut jantungnya hilang. Napasnya berhenti. Sementara anak yang
pegang stetoskop ini semakin takikardi.
Kelincinya mati!
Aku lemes. Rasanya pengen nangis seember. Ya Allah, aku
gagaaaal... maafkan aku, kelincinya mati... Beberapa temen sekelompok melongo
nggak percaya. Mati? Kok bisa sih? Apa yang salah?
Dan suasana berubah menjadi semi dramatis.
Dokter yang membimbing kami membantu mengevaluasi matinya si
kelinci. Aku semakin pengen nangis.
“Tadi stadium 3 nya cuma sebentar, Bu... lalu tiba-tiba
masuk stadium 4, lalu mati.” aku mewek-mewek.
Beliau menghibur, “sudah, ndakpapa... mungkin memang
kelincinya aja yang nggak kuat. Yang penting kalian sudah tau prosesnya.”
Aku langsung menunduk membaca literatur. Setidaknya untuk
menahan air mata. Masa’ iya mau nangis bombay di sini. Kelompokku berduka, dan
mulai deh mellow-mellownya, semua menyalahkan diri sendiri atas gugurnya sang
kelinci. Sementara kelompok lain kayak dapet tontonan drama komedi.
Nasib seekor kelinci percobaan sebenarnya bisa diterka.
Kalau nggak mati, kejang-kejang, pingsan, atau kabur menyelamatkan diri. Dan
kebetulan ini yang mati. Aku mungkin nggak akan se-shock ini kalau bukan aku yang memimpin praktikum. Dan karena
tragedi matinya kelinci ini, namaku jadi trending
topic di angkatan -___- Jadi, seharian itu, dimanapun aku ketemu anak-anak
seangkatan, mereka dengan antusias bertanya,
“Eh, kelincimu mati ya?”
“Iya nih, nggak sengaja. Hahaha.”jawabku, berasa kayak habis
neplok nyamuk.
“Hee Chyn, kamu apain kelincinya kok sampe almarhum gitu?”
“Sudah takdir, nak. Tadi mungkin nggak sengaja ada malaikat
maut lewat.”
“Chyntiaa... kamu jahat!”
Aku langsung diem. Meskipun itu diucapkan dengan nada
bercanda, rasanya nge-jleb banget.
Akhirnya aku bener-bener nangis di rumah. Udah nggak bisa
ditahan-tahan lagi. Aku dulu juga pernah sayang sama kelinci, tauk! T.T
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, aku heran sendiri, ngapain
sih sesedih itu? Pake nangis segala, padahal nonton Termehek-mehek aja nggak
nangis. Itu malah keuntungan buat kelompokku. Kelompok yang lain memang
kelincinya masih hidup, tapi mereka nggak dapet kesempatan belajar anestesi
sampai stadium 4. Kita harusnya bersyukur karena diberi kesalahan untuk kita
pelajari lebih.
Besoknya ketika ada yang bilang gitu lagi, aku udah bisa
ketawa-ketawa. Bahkan waktu cerita ke mama, aku ketawa ngakak. Aduuh, siapa sih
yang nangisin matinya kelinci percobaan kemaren? Nggak dewasa bangeet. Gitu kok
mau jadi peneliti. Hahaha. Padahal di praktikum lainnya kita akan pakai hewan
coba lagi. Kalau mati lagi masa’ mau nangis lagi?
Sebenarnya ada satu yang aku takutkan. Nanti waktu aku mati,
lalu dihisab, takutnya si kelinci ngadu ke pencipta-Nya dan memberatkan aku.
Huaa. Maafkan aku, kelinci. Selebihnya, aku dan teman-teman sekelompok yang
telah mengalami drama yang cukup ironis ini pengen berterimakasih kepadanya.
Karena dia lah, kita bisa mengamati proses anestesi hingga stadium 4. Rest in
peace, ci.
*Mengenang gugurnya kelinci anestesi