Jadwalku hari ini adalah ke kampus untuk berdiskusi masalah leaflet penyuluhan dengan preseptor, ke masjid untuk memenuhi janji bertemu beberapa orang, kemudian ke apotek untuk jaga shift malam.
Kuraih gadget yang berteriak nyaring subuh tadi. Sepertinya
ia frustasi karena tidak dihiraukan pemiliknya yang masih geletakan. Ada
beberapa pesan masuk. Ketika membacanya, kepalaku berasa runtuh. Takut dan khawatir
menyergapku sepagi itu. Seseorang di seberang sana mengabarkan bahwa gejala
sakitnya semakin parah. Kubenamkan wajahku ke bantal sambil mengucap istighfar.
Astagfirullahaladzim. Innalillah. Aku ingin menangis dan mulai membayangkan
yang tidak-tidak. Malah si objek yang dikhawatirkan ini yang menenangkan.
“Sudah, gapapa. Insyaallah gapapa.” begitu katanya.
Yang sakit siapa sih sebenarnya?
Usaha assessment-ku terus ditanggapinya dengan “sudah,
gapapa”, membuat skill dalam pelayanan kefarmasian ini tidak ada artinya.
Setelah akhirnya bangkit, aku menyadari harus bergegas
berangkat ke kampus. Bisa ruwet ceritanya kalau batal ketemu pak preseptor hari
ini. Sekitar 45 menit kemudian aku sudah di ruang dekanat kampus dan... beliau sedang
rapat. Aku berdiri di depan pintu ruangan sambil menghela napas. Nyeri kepala
masih membekas, sekarang diikuti pegal-pegal seluruh tubuh, pertanda kualitas
hidup menurun. Baiklah, aku bisa menunggu.
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Kulirik jam berkali-kali. Ah
sudahlah, aku menyerah. Toh tidak pasti juga harus menunggu beliau sampai jam
berapa. Aku bergegas ke masjid. Selama perjalanan tak henti aku berdoa dan
mencemaskan orang yang sama sejak bangun pagi tadi.
Ternyata masjid yang kutuju sepi sekali. Saat itu jam
sepuluh pagi. Di tempat sholat wanita tidak ada orang. Well, sepertinya harus
menunggu lagi.
Kira-kira setengah jam kemudian, sekelompok anak yang aku
rindukan sudah berkumpul. Hanya satu orang teman yang belum datang. Aku mulai
cemberut. Cukup sudah aktifitas menunggu hari ini.
Kami melakukan rutinitas seperti biasa. Setoran hafalanku
kacau. Malu rasanya hafalan satu surat selama satu bulan belum selesai. Memang
akhir-akhir ini aku malas las las, ngalah-ngalahin kerbau lagi cuti hamil.
Maunya tidur mulu di kandang.
Aku tertunduk lesu.
Is it still my day, Allah? Will I have something worse
today?
Tiba-tiba teman yang terlambat datang dengan tergopoh-gopoh.
Karena agak jengkel, aku tidak antusias menyambutnya.
“Maaf, tadi ayahnya teman sekuliahanku meninggal. Temanku
nggak bisa pulang karena rumahnya jauh sekali dari Surabaya. Aku harus
menghiburnya dulu.”
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Aku menunduk memejamkan mata, rasanya malu memandangi diri yang
kurang sabar ini. Dari tadi aku mengeluh karena menunggu tanpa mau memahami keadaan
orang lain. Allah sedang mengingatkanku.
Ba’da sholat dhuhur, sambil melepas mukena kudengar kajian
rutin dari ustadz. Sudah tradisi di masjid ini setelah sholat berjamaah ada
kajian selama beberapa menit. Biasanya anak-anak SMA meramaikan masjid di saat
seperti ini, keliatannya sih bagus dengerin kajian, padahal niatnya wifi-an
gratis. Hahaha, pengalaman pribadi nih. Topik kajiannya waktu itu adalah “Apakah
Anda sudah berprestasi?”
Aku merengut tersindir mendengarnya. Jangankan berprestasi,
Tad. Portofolio aja numpuk dua minggu, bussiness plan baru bab satu. Ampun dah.
Kemudian beliau menceritakan tentang pemimpin-pemimpin yang disegani karena
berprestasi. Contohnya Erdogan, presiden Turki ini selama masa kepemimpinannya
sudah memperbaiki perekonomian negaranya secara signifikan. Rakyatnya makmur
sejahtera. Selain itu dia memperhatikan sektor pariwisata, membuat jumlah
kunjungan turis ke Turki meningkat sekian kali lipat. Ia membentuk kekuatan yang
membuat dunia segan kepadanya.
Baiklah, sepertinya Allah menyindir ketidakproduktifanku
dalam mengerjakan tugas-tugas PKP. Saya mengerti, Ya Allah. Nanti saya usahakan
tidak malas lagi. Nanti? Astagfirullah, pancet ae.
Lalu kembali lagi ke kampus. Sudah kayak setrikaan ini
bolak-balik mulu. Cak Sur heran melihat aku yang sudah tiga kali lewat di
depannya dalam kurun waktu beberapa jam. Aku hanya meringis. Ketika masuk ruang
dekanat, aku kecewa lagi karena pak preseptor tidak ada. Katanya ke kantor
pusat.
Saat aku akan bertanya ke mbak sekretaris dekanat,
samar-samar kudengar suara Bu Is dari ruangannya. Ah, tiba-tiba aku kangen.
Sudah lama tidak ngobrol dengan beliau.
“Ehmm... mbak, Bu Is lagi sibuk ndak ya?” tadinya aku mau
tanya kapan preseptorku balik.
“Nggak. Silakan.”
Aku berputar balik. Sudah tinggal dua langkah lagi untuk
sampai ke ruangan Bu Is, tapi aku ragu dan belok kanan ke ruang tunggu. Memang
ada hal khusus yang ingin aku diskusikan dengan beliau, tapi hmmm... entahlah.
Ke Bu Is... enggak... ke Bu Is... enggak. Ah, daripada
bengong di ruang tunggu, ya sudahlah ke Bu Is. Dengan langkah tegap aku
memasuki ruangan beliau. Selanjutnya aku ngobrol sambil cengengesan dengan ibu
dosen yang banyak berperan dalam kehidupan S-1 ku ini.
“Ini lho, nak, ada program double degree di sini (Fakultas
Farmasi Unair. red),” kata Bu Is sambil menyodorkan brosur. Kemudian beliau
menjelaskan banyak hal tentang program tersebut.
Aku mengangguk-angguk antusias.
“Bu, sebenarnya saya punya pilihan sendiri...” aku
menjelaskan jurusan dan universitas tujuanku.
“Bagus itu. Kalau memang mau, segera diurusin. Kapan
apply-nya?”
“Deadline Juli 2015, Bu.”
“Ya sudah. Diusahakan ya. Terserah mau yang mana. Semoga
sukses.”
Hatiku berbunga-bunga, malah mungkin berbuah sebentar lagi. Satu
lagi cara Allah menyemangatiku. Alhamdulillah.
Usai urusan dengan preseptor, aku pulang ke rumah. Dua jam
lagi waktunya jaga apotek.
Emosiku bercampur aduk. Bahagia, khawatir, takut. Tubuhku masih meronta-ronta merasakan nyeri, terlebih kepala, namun tak kuhiraukan.
Aku tak sabar menceritakan banyak
hal pada objek yang kukhawatirkan sepanjang hari ini. Ah, cepatlah sembuh.
Semoga kau sungguh tidak apa-apa.
Alhamdulillah. Terima kasih,
Ya Allah atas segalanya. Ampuni hamba-Mu yang sering lalai ini. Dan berikan
kesembuhan padanya, Ya Allah. Aku mohon.