Tuesday, December 30, 2014

Published 11:48 PM by with 0 comment

Is it still my day?


Matahari beranjak naik. Aku hanya menatap bias sinarnya dari balik kaca jendela, belum sanggup beranjak dari tempat tidur. Kepalaku terasa berat ketika diangkat. Mungkin pusat gravitasi sedang berpindah di dalamnya. Jika kupaksakan bangkit, pandanganku berputar. Beginilah kalau tekanan darah sering jauh di bawah normal. Aku berbaring lagi dengan pasrah. Tidur lagi enak kali ya.

Jadwalku hari ini adalah ke kampus untuk berdiskusi masalah leaflet penyuluhan dengan preseptor, ke masjid untuk memenuhi janji bertemu beberapa orang, kemudian ke apotek untuk jaga shift malam.

Kuraih gadget yang berteriak nyaring subuh tadi. Sepertinya ia frustasi karena tidak dihiraukan pemiliknya yang masih geletakan. Ada beberapa pesan masuk. Ketika membacanya, kepalaku berasa runtuh. Takut dan khawatir menyergapku sepagi itu. Seseorang di seberang sana mengabarkan bahwa gejala sakitnya semakin parah. Kubenamkan wajahku ke bantal sambil mengucap istighfar. Astagfirullahaladzim. Innalillah. Aku ingin menangis dan mulai membayangkan yang tidak-tidak. Malah si objek yang dikhawatirkan ini yang menenangkan.

“Sudah, gapapa. Insyaallah gapapa.” begitu katanya.

Yang sakit siapa sih sebenarnya?

Usaha assessment-ku terus ditanggapinya dengan “sudah, gapapa”, membuat skill dalam pelayanan kefarmasian ini tidak ada artinya.

Setelah akhirnya bangkit, aku menyadari harus bergegas berangkat ke kampus. Bisa ruwet ceritanya kalau batal ketemu pak preseptor hari ini. Sekitar 45 menit kemudian aku sudah di ruang dekanat kampus dan... beliau sedang rapat. Aku berdiri di depan pintu ruangan sambil menghela napas. Nyeri kepala masih membekas, sekarang diikuti pegal-pegal seluruh tubuh, pertanda kualitas hidup menurun. Baiklah, aku bisa menunggu.

Sepuluh menit. Dua puluh menit. Kulirik jam berkali-kali. Ah sudahlah, aku menyerah. Toh tidak pasti juga harus menunggu beliau sampai jam berapa. Aku bergegas ke masjid. Selama perjalanan tak henti aku berdoa dan mencemaskan orang yang sama sejak bangun pagi tadi.

Ternyata masjid yang kutuju sepi sekali. Saat itu jam sepuluh pagi. Di tempat sholat wanita tidak ada orang. Well, sepertinya harus menunggu lagi.

Kira-kira setengah jam kemudian, sekelompok anak yang aku rindukan sudah berkumpul. Hanya satu orang teman yang belum datang. Aku mulai cemberut. Cukup sudah aktifitas menunggu hari ini.

Kami melakukan rutinitas seperti biasa. Setoran hafalanku kacau. Malu rasanya hafalan satu surat selama satu bulan belum selesai. Memang akhir-akhir ini aku malas las las, ngalah-ngalahin kerbau lagi cuti hamil. Maunya tidur mulu di kandang.

Aku tertunduk lesu.

Is it still my day, Allah? Will I have something worse today?

Tiba-tiba teman yang terlambat datang dengan tergopoh-gopoh. Karena agak jengkel, aku tidak antusias menyambutnya.

“Maaf, tadi ayahnya teman sekuliahanku meninggal. Temanku nggak bisa pulang karena rumahnya jauh sekali dari Surabaya. Aku harus menghiburnya dulu.”

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Aku menunduk memejamkan mata, rasanya malu memandangi diri yang kurang sabar ini. Dari tadi aku mengeluh karena menunggu tanpa mau memahami keadaan orang lain. Allah sedang mengingatkanku.

Ba’da sholat dhuhur, sambil melepas mukena kudengar kajian rutin dari ustadz. Sudah tradisi di masjid ini setelah sholat berjamaah ada kajian selama beberapa menit. Biasanya anak-anak SMA meramaikan masjid di saat seperti ini, keliatannya sih bagus dengerin kajian, padahal niatnya wifi-an gratis. Hahaha, pengalaman pribadi nih. Topik kajiannya waktu itu adalah “Apakah Anda sudah berprestasi?”

Aku merengut tersindir mendengarnya. Jangankan berprestasi, Tad. Portofolio aja numpuk dua minggu, bussiness plan baru bab satu. Ampun dah. Kemudian beliau menceritakan tentang pemimpin-pemimpin yang disegani karena berprestasi. Contohnya Erdogan, presiden Turki ini selama masa kepemimpinannya sudah memperbaiki perekonomian negaranya secara signifikan. Rakyatnya makmur sejahtera. Selain itu dia memperhatikan sektor pariwisata, membuat jumlah kunjungan turis ke Turki meningkat sekian kali lipat. Ia membentuk kekuatan yang membuat dunia segan kepadanya.

Baiklah, sepertinya Allah menyindir ketidakproduktifanku dalam mengerjakan tugas-tugas PKP. Saya mengerti, Ya Allah. Nanti saya usahakan tidak malas lagi. Nanti? Astagfirullah, pancet ae.

Lalu kembali lagi ke kampus. Sudah kayak setrikaan ini bolak-balik mulu. Cak Sur heran melihat aku yang sudah tiga kali lewat di depannya dalam kurun waktu beberapa jam. Aku hanya meringis. Ketika masuk ruang dekanat, aku kecewa lagi karena pak preseptor tidak ada. Katanya ke kantor pusat.

Saat aku akan bertanya ke mbak sekretaris dekanat, samar-samar kudengar suara Bu Is dari ruangannya. Ah, tiba-tiba aku kangen. Sudah lama tidak ngobrol dengan beliau.

“Ehmm... mbak, Bu Is lagi sibuk ndak ya?” tadinya aku mau tanya kapan preseptorku balik.

“Nggak. Silakan.”

Aku berputar balik. Sudah tinggal dua langkah lagi untuk sampai ke ruangan Bu Is, tapi aku ragu dan belok kanan ke ruang tunggu. Memang ada hal khusus yang ingin aku diskusikan dengan beliau, tapi hmmm... entahlah.

Ke Bu Is... enggak... ke Bu Is... enggak. Ah, daripada bengong di ruang tunggu, ya sudahlah ke Bu Is. Dengan langkah tegap aku memasuki ruangan beliau. Selanjutnya aku ngobrol sambil cengengesan dengan ibu dosen yang banyak berperan dalam kehidupan S-1 ku ini.

“Ini lho, nak, ada program double degree di sini (Fakultas Farmasi Unair. red),” kata Bu Is sambil menyodorkan brosur. Kemudian beliau menjelaskan banyak hal tentang program tersebut.

Aku mengangguk-angguk antusias.

“Bu, sebenarnya saya punya pilihan sendiri...” aku menjelaskan jurusan dan universitas tujuanku.

“Bagus itu. Kalau memang mau, segera diurusin. Kapan apply-nya?”

“Deadline Juli 2015, Bu.”

“Ya sudah. Diusahakan ya. Terserah mau yang mana. Semoga sukses.”

Hatiku berbunga-bunga, malah mungkin berbuah sebentar lagi. Satu lagi cara Allah menyemangatiku. Alhamdulillah.

Usai urusan dengan preseptor, aku pulang ke rumah. Dua jam lagi waktunya jaga apotek.

Emosiku bercampur aduk. Bahagia, khawatir, takut. Tubuhku masih meronta-ronta merasakan nyeri, terlebih kepala, namun tak kuhiraukan.

Aku tak sabar menceritakan banyak hal pada objek yang kukhawatirkan sepanjang hari ini. Ah, cepatlah sembuh. Semoga kau sungguh tidak apa-apa.

Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Allah atas segalanya. Ampuni hamba-Mu yang sering lalai ini. Dan berikan kesembuhan padanya, Ya Allah. Aku mohon.
      edit

0 komentar:

Post a Comment

yuuk komen yuuk . . .