Assalamualaikum... Kembali lagi ke acara kesayangan kita,
Membaca Blog Chyntiaaaa *tepuk tangan*
Yak setelah sekian lama kita tidak berjumpa karena aksi
pemblokiran blog ini dengan alasan terlalu tinggi ratingnya hingga dianggap
pesaing berat liputan acara nikahannya Raffi Ahmad, akhirnya kita sudah
bernapas lega setelah berhasil meloadingnya. Sebenernya saya masih heran kenapa
orang-orang suka banget mantengin acara nikahannya orang di tv, yang sama
sekali bukan sodara atau kerabatnya. Kenapa? Kenapa? Dan kayaknya berhasil
menaikkan rating stasiun tvnya sampe selangit tuh. Yang gueh pikirin bukan
acara nikahannya yang laksana nikahan putri dan pangeran jaman kerajaan kuno,
tapi Mcnya yang suka nanya ke tamu undangannya, “ini desainer bajunya siapa
nih?” Duh, untung bukan gueh yang ditanya begitu. Mungkin jawabannya bakalan,
“ini desainernya mbak Puji, penjahit langganan mama.” Hahaha. Udah udah, jangan
ngomongin itu... ngomongin nikahan aku aja *eh. Jangan ding, belum ada yang
bisa diomongin *melas.
Sebenernya sejak aku yudisium, banyak yang mengira hidupku
di kampus sudah berakhir. Trus mulai deh ada pertanyaan klasik, “kapan nikah?”,
dan malahan ada aja yang bilang, “kapan wisuda? habis wisuda siap-siap yaa, ada
yang mau ngelamar.” Aku hanya bisa bilang, “hm”. Terima kasih kawan-kawan,
kalian perhatian sekali, tapi mohon lebih diperhatikan, habis yudisium saya
masih ada program profesi. Belum bisa ini lepas dari kuliah-ujian-sidang, dan
malah sekarang ada PKP (Praktek Kerja Profesi). Kalian nggak usah bikin aku
ngerasa sudah tua gitu deh. Inget, kalian sama tuanya.
Sekarang ini aku barusan keluar dari kehidupan kuliah dan
ujian profesi yang hzzz dan hrrrgh itu. Masih hidup setelah melewati itu semua
aja rasanya udah alhamdulillah banget. Jadi kalau sekarang aku dengar anak S-1
mengeluh tentang kuliah, praktikum, proposal, skripsi, aku akan berkata sama
seperti apa yang dikatakan mbak Gina dulu, “nikmatilah selagi kamu masih S-1,
dek...” dan enggan sekali kalau ditanya, “mbak, kuliah profesi gimana?”, “mbak,
kok sekarang pake kemeja terus?” Duuh...
Aku yang memang dari sononya berlabel “tukang protes” dan
“banyak nanya”, nggak bisa diam di awal minggu kuliah. Ada aja yang bikin
gemes. Pokoknya kalo aku jadi kudet dan kuper, salahin kuliah profesi (padahal
aslinya emang gitu). Bayangkan aja deh kuliah profesi yang lumayan tidak
berperikemahasiswaan ini.
Kuliahnya satu setengah bulan. Masuk hari senin-sabtu, dari
jam 8 pagi sampe jam 3 sore, kadang sampe jam 5. Kalo jumat masuk jam 7 pagi.
Istirahat jam 12 sampe jam 1. Jadi kami para mahasiswa profesi ini kerjaannya
duduk mendengarkan – makan – sholat – bengong sebentar – duduk mendengarkan
lagi – pulang. Persis kayak anak SMA full-day. Bedanya, kalo SMA istirahatnya
dua kali, kalo ngantuk tinggal naruh kepala di atas meja trus ngorok, kalo
males mikir tinggal nyontek temen, kalo bosen tinggal ngusilin temen. Dan yang
paling penting, anak SMA kalo sabtu kan libur. Lha anak profesi? T.T Maka
weekend-ku berubah menjadi week(without)end. Anak-anak yang super dan hiper-rajin
belajar sih, mereka akan ngereview materi kuliah setiap hari, belajar lagi
setiap weekend, karena menyadari materinya banyak. Nah yang kayak aku gini...
pas awal-awal modal niatnya udah gede banget, udah sok-sok nanya ke
temen-temen, dan mendapat motivasi banyak untuk belajar rajin tiap hari, tapi
pada prakteknya, minggu ketiga kuliah aku sudah mulai takluk dengan sebelah
hati yang mengatakan, “kan ujiannya masih lama :)”. Efek samping dari sistem
kuliah ini mulai terlihat pada minggu ketiga. Banyak yang mengeluh konstipasi
dan ambeyen gara-gara kebanyakan duduk, membuat aku pengen nulis
keluhan-keluhan itu di form Monitoring Efek Samping Obat (MESO) dan aku kirim
langsung ke BPOM.
Kalau masalah ketepatan waktu, oh jangan ditanya... aku
jagonya... jago telat, jago molor *pengakuan nih*. Saingan konstanku adalah si
rektor. Mindsetku dari dulu tidak berubah. Kuliah jam 8 artinya berangkat dari
rumah jam 8, akibatnya nyampe kampus jam 8.15. Sambil senyum-senyum ke dosen
dan ngelirik jam dinding, aku langsung duduk di tempat yang telah disediakan
Dhenok di baris depan. Itu sudah paling pagi. Sekali lagi, ITU SUDAH PALING
PAGI. Nah, kalau kuliah jam 7 artinya bangun jam 7, akibatnya... bolos kuliah.
Ngahahaha. Kalau yang ini sainganku nambah satu, Kiki, yang suka pasrah datang
jam 9, sedangkan aku lebih pasrah lagi, datang jam 9.20 dengan muka bangun
tidur. Kita pun masuk kelas setelah dosen yang ngajar jam 7 keluar. Parah
paraaah. Jadi keinget pas ngelab skripsi dulu. Aku dengan reputasi telatku,
tiba-tiba datang ke lab jam 7 pagi dan dipergokin Jefri. Mukanya kayak liat
setan waktu ketemu aku, dan aku langsung difoto buat dimasukin ke grup whatsapp
kelompok skripsi. Taglinenya : prestasi baru rek, Chyntia datang jam 7. Anak-anak
menyambutnya dengan tepuk tangan meriah. Sial. Sekalian aja tempel di mading.
-___-
Trus bajunya anak profesi. Entah karena tradisi atau
kesadaran universal, baju anak-anak jadi serba formal hingga tak pantas disebut
anak-anak lagi. Yang cowok apalagi. Lagi seneng-senengnya pake kemeja rapi
dimasukkan, celana kain, kadang lengkap dengan dasi, sepatu fantovel mengkilap.
Padahal biasanya pake kaos berkerah, jaket, celana jins dan sepatu kets. Yang
cewek juga lumayan sih. Pokoknya mereka sudah no-jins gitu. Aku yang
sehari-harinya suka pake kaos, rok, pin jerapah, sekarang nggak berani pake
kaos kecuali kuliah hari Sabtu. Bros jerapahnya pensiun diganti bros bunga. Bosen
sebenarnya pake kemeja. Tapi yah... yasudahlah, mari kita naik ke jenjang
profesional.
Itu baru kuliahnya. Ujiannya lebih wow lagi. Sebagai
penganut aliran kebut semalam, aku begadang seminggu lebih dua hari demi ujian
yang kalo liat tumpukan materinya aja udah bikin muntah. Bahkan ada yang aku
kebut sejam, yaitu ujian Manajemen Farmasi, dan kebut dua jam, yaitu ujian Manajemen
Produksi 2. Tepuk tangan untuk si pengebut handal ini. Dan terima kasih kepada
teman-teman Kece, Pita, Tisa yang menyelamatkan pengebutan saya. Jujur pas
Manajemen Produksi 2 itu saya nggak bisa ngerjakan soal vaksin karena soalnya
ternyata beda dengan tahun lalu, jadi mohon maaf kepada Bu Neny yang sudah
jauh-jauh dari Bandung demi memberikan kuliah vaksin dan ternyata saya nggak
bisa ngerjakan ujian padahal soalnya gampang *ketauan banget sih cuma ngapalin
jawaban soal doang*.
Lebih parah lagi, waktu dua hari ujian terakhir tubuhku
meronta-ronta kena demam dan hidung meler hebat, sampe aku curiga sinusku
bocor. Mau tidur itu rasanya berdosa karena besok ujian. Mau nerusin begadang
rasanya berdosa karena tubuh nggak kuat. Akhirnya sebagai seorang calon
Apoteker, aku memutuskan untuk minum obat flu (yang jelas-jelas bikin ngantuk)
dan kopi untuk menangkal ngantuk, dengan dosis dan waktu yang diatur sedemikian
rupa agar gejala flu teratasi dan tidak ngantuk. *Pak Didik harus bangga karena
muridnya sudah lumayan pinter ngitung dosis*
Pada hari terakhir ujian, aku dan teman-teman mendapatkan
toga untuk wisuda. Rasanya bahagia-bahagia gimanaa gitu setelah ujian kita
dapat toga. Senyum tiga jari mengembang seiring ingatan tentang ujian
menghilang. Hahaha, alay.
Sampai di rumah, aku baru ingat kalau aku sudah tidak makan
sejak kemarin malam. Kasian tubuhku, sudah sakit, nggak dikasih makan, minum
kopi begadang. Untung-untungan nih maag nggak ikut berpartisipasi. Sebagai
permintaan maaf aku makan, tidur, mengistirahatkan tubuh, minum obat dan say
goodbye to caffein. Tidur. Tidur. Tidur. Tidak peduli dunia sedang apa. Tidak
peduli tembok kamar menghantarkan panas dari luar. Dan ternyata dalam tidur aku
bermimpi mengerjakan soal ujian. What the... -__- Tidur panjang dan mimpi
mengerjakan soal itu berakhir saat adekku datang dan berisik nyobain baju
togaku.
Ah, baju toga... Empat tahun kami berjuang untuk bisa
mengenakan baju hitam sewaan itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kami ke
orang tua yang telah membiayai kuliah. Diam-diam aku ingin menangis kalau
melihat toga. Semua beban kuliah dan ujian sudah melayang entah kemana, mungkin
takut melihat aura toga yang arogan. Semua bayangan tentang hari wisuda juga
ada di toga, termasuk orang yang akan bahagia sekali menghadirinya : mamaku. Apakah
ia akan bangga? Aku bisa melihat dari sinar matanya. Dan jelas-jelas aku akan
merindukan papaku ketika melihat papa-papa teman-teman nanti. Jika kau ingin
tau, Pa, aku hanya ingin bertanya padamu apakah kau bangga kepadaku. Bukan
hanya karena toga ini, tapi tentang aku selama ini. Aku tau aku sering
mengecewakan diriku sendiri, dan orang-orang di sekitarku. Jadi aku tau bahwa
bagi orang lain, aku tidak cukup membanggakan, tidak cukup pantas dianggap
apa-apa. Hanya kau, yang aku tidak tau... dan jawabanmu adalah yang paling
berpengaruh dibandingkan jawaban semua orang di dunia ini. Kau yang menanamkan
sejuta harapanmu padaku, meski aku tidak tau pasti apa harapanmu, jadi
pantaslah kau menilaiku saat ini. Jauh lebih pantas daripada semua orang di
dunia ini.
Jika bukan karena mama dan eyangku yang selalu bertanya
kapan wisudaku, jika bukan karena adekku yang menggerutu karena aku buta
tentang make up, jika bukan karena teman-teman yang ngajak survei studio foto,
jika bukan karena teman-teman yang
berjanji akan datang tanpa diminta... mungkin aku akan benar-benar tidak
ikut wisuda. Aku tidak merasa memerlukannya. Papaku tidak akan datang
menyaksikannya dan aku tidak akan tau apakah dia bangga padaku.
Ah, sudahlah...
Ada banyak hal penting selain wisuda. Masih ada Sumpah
Apoteker tahun depan. Jalannya masih panjang. Ada banyak hal menarik yang akan
kutemui di praktek kerja profesi nanti. Dan aku harus tes IELTS tahun ini!!!
Harus!!! Kemudian daftar beasiswa tahun depan!!! Harus!!! Aku masih cinta
kampus, Tuhan, meskipun aku tukang protes, sebenarnya aku suka hidup di kampus.
Hahaha.
Baiklah... terima kasih sudah menyimak obrolan, eh, monolog
random ini. Jangan salahkan saya jika Anda sakit mata atau tidak merasa tambah
pinter setelah baca apapun di sini. Sampai jumpa di episode berikutnya.
Wassalamualaikum wr. wb.