Seringkali dalam hidupku, aku
dituntut untuk mengerti, memahami orang lain tanpa mempedulikan diriku sendiri.
Dulu aku suka sekali mempertahankan pendapat, mencari lawan untuk berdebat,
memaksakan kehendak. Semua itu dengan semangat pemberontakan, mungkin bisa
dianggap mempertahankan eksistensi, untuk menunjukkan kalau aku pantas menang
atas semua orang. Ketika ternyata aku salah, aku tertekan dan merasa tidak
berdaya, tetapi berkeinginan untuk membalas di lain kesempatan. Ah, rasanya itu
lebih seperti kehidupan hewan di hutan rimba.
Kemudian aku lelah. Aku tak ingin
lagi kemenangan di depan orang banyak. Aku tak mau lagi menunjukkan bahwa aku
benar, sekalipun aku memang benar. Kuruntuhkan sendiri hatiku yang mengeras.
Entah apapun terjadi, aku malas sekali membantah. Aku menerima kekalahan dalam
diam, belajar meredam sendiri tangisku, belajar menyembuhkan sendiri
kesakitanku. Betapapun sakitnya, aku bisa menahan. Ah, rasanya itu lebih
seperti batu yang selalu diinjak.
Manusia di sekitarku terkadang
terlalu berambisi untuk dimanusiakan. Ada saja tuntutannya yang didasarkan pada
kemanusiaan yang adil dan beradab. Ada yang bersikap sok teraniaya karena
dimarahin orang tuanya. Ada yang bersikap sok dikucilkan karena teman-temannya
sibuk bekerja. Ada yang bersikap sok kehilangan harapan hidup karena
ditinggalkan kekasihnya. Aku sudah lama menghindari sikap konyol seperti itu,
yang kalau kata anak jaman sekarang, baper.
Aku takut terlalu berbaur dengan
perasaan akan dapat melemahkan iman karena sebenarnya perasaan itu adalah ego
yang mudah dicampuri oleh setan. Alhasil, manusia jadi susah memaafkan, sedih
berkepanjangan, suka marah-marah.
Sampai di sini mungkin ada yang
bergumam, “namanya juga manusia...”, dan aku kesal sekali dengan manusia yang
mengatasnamakan manusia seperti itu. Iya semua juga tau kamu manusia, tapi
sampai kapan kamu meminta manusia lain membiarkan kelakuanmu menyakiti mereka?
Manusia macam apa sih yang seenaknya sendiri begitu...
Maaf, mungkin aku lelah
berempati. Juga lelah menghadapi manusia yang terlalu berambisi untuk
dimanusiakan.
Sekarang hidup bukan sekedar
tentang benar dan salah dalam pandangan manusia. Hanya Allah yang penilaiannya
paling benar, dan kita manusia, hanya bisa berusaha melihat sedekat mungkin
dengan cara pandang Allah. Artinya, sedekat mungkin dengan kebenaran hakiki.
Aku berusaha menghindar dari
masalah kemanusiaan yang remeh-temeh. Tidak usah baper. Baper tidak membuat
kita semakin bijak. Mungkin aku akan tetap menjadi seperti batu, yang belajar
meredam sendiri tangisku, menyembuhkan sendiri kesakitanku, walaupun terinjak
kian dalam. Setidaknya aku tidak menyakiti manusia lain dan tidak mengindahkan
kesakitan yang kurasakan. Jika tak sengaja melukai, aku bisa meminta maaf
dengan tegas, dan jika tidak dimaafkan, aku tidak akan memohon. Dia hanya
manusia, yang mungkin sebelah hatinya sudah dimiliki oleh setan. Aku tidak mau
memohon pada setan, ataupun manusia setengah setan.
Yah pokoknya begitu, terkadang
dianggap batu lebih menguntungkan daripada dianggap manusia. Tak usahlah risau
manusia mau bilang apa, yang penting berusaha menjadi yang terbaik di hadapan Sang Pencipta.