Ini sebagian dari brainstorming dengan suami kemarin. Brainstorming yang
kulakukan demi mendinginkan kepala dan mengembalikan energi yang banyak
tersedot di isu politik dan agama yang membuat jengah ini.
“Bi, kalau
melihat nonmuslim membela si A sih aku maklum, Bi. Itu sudah sewajarnya. Tapi terhadap
muslim yang berada di pihak si A, kita harus gimana ya, Bi?”
“Ya harus
kasihan, say...” jawabnya menggantung.
“Kasihan
gimana? Bahkan ada yang sampai hati mengolok-olok agamanya sendiri demi membela
si A lho, Bi. Yang sentimental bahkan sampai nangis-nangis.”
“Iya aku
juga jadi pengen nangis. Nangis karena kasihan sama mereka. Kasihan mereka
mungkin nggak dapat pendidikan agama yang cukup. KTP-nya Islam, sudah lumayan
dikasih Allah agama Islam sejak dia lahir, tapi belajar agama Islam hanya di
permukaannya saja. Mungkin juga mereka dibesarkan di tengah masyarakat Islam
yang pendidikannya menengah ke bawah. Tau kan, say? Kayak golongan yang pernah
kita lihat dari dekat barusan. Terus mereka jadi malu karena profil muslim yang
mereka lihat terbatas pada muslim yang kurang berpendidikan, aqidahnya jelek,
akhlaknya jelek. Mereka jadi malu sama agamanya sendiri. Kemudian dia melihat
golongan orang yang membela A berpendidikan, tajir, nah jadinya mereka lebih
suka ikutan membela si A. Digiring sama opini untuk membela pihak yang menghina agama mah oke-oke aja mereka.”
Lalu
muncul rasa iba di benakku, yang mungkin sama seperti yang dirasakan suamiku.
“Kita
harus kasihan, say,” ulangnya.
Kadang
ngomong sama dia berasa chatting sama online shop, manggilnya pakai ‘say’.
“Orang di
tempat kerjaku ada yang kayak gitu sih, Bi. Dia berasal dari daerah yang
kayaknya masyarakatnya nggak pinter-pinter amat agamanya, ngajinya juga
setengah-setengah, ibadah sunnah yang dilakukan juga nggak berdasarkan dalil
yang shahih. Ah, dia mana tau apa itu shahih. Mmmm secara aqidah juga kadang
keliatan baik, kadang nggak. Trus dia suka baca berita di akun-akun medsos dan
media yang kebetulan memang bertujuan menyesatkan pemahaman orang yang ngajinya
setengah-setengah gitu. Jadi nggak heran kalau sekarang dia sentimental
ngebelain orang yang menghina agamanya sendiri.” jelasku dengan nada iba, “Ciyan
ya, Bi. Tadinya aku pengen marah, tapi setelah kamu bilang kasihan, aku jadi
ikut kasihan.”
Aku dan
suamiku merasa beruntung hidup di tengah keluarga dan masyarakat yang
berpendidikan, secara agama, pengetahuan dan keyakinannya lumayanlah untuk
membentengi diri dari kesesatan media, menghindari bid’ah dalam beribadah, dan
dikelilingi masjid-masjid yang syiarnya aktif. Alhamdulillah. Kalau nggak, mungkin kami akan sama tersesatnya.
“Trus
mereka, orang-orang Islam yang membela si A itu, termasuk orang yang kita
perangi tidak di hari akhir nanti?”
Seperti
kita tau, salah satu tanda dari hari akhir adalah ketika umat Islam diserang
dari segala arah namun malah sedang kuat-kuatnya, dan nantinya orang-orang yang beriman
bersama Imam Mahdi akan memerangi pasukan orang-orang kafir, dengan menggunakan
tombak dan pedang. Ini kami pelajari di Kajian Akhir Zaman. Maaf saat itu kami
tidak mencatat sumbernya, tapi insyaallah hadist shahih.
“Manusia
akan dikumpulkan dengan kekasihnya, say. Jadi, ya, mereka akan bersatu dengan
orang kafir yang mereka senangi itu. Yah, setidaknya mulai sekarang kita tau
siapa yang akan kita perangi di hari akhir nanti, bukan hanya yang jelas-jelas
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga yang mengaku beriman tapi
membelot keluar lingkaran kita.”
Aku
terbelalak dengan mulut ternganga sambil memegangi kedua pipi, kayak gayanya
Kevin di film Home Alone. Aku melihat sekeliling dan menandai secara tak kasat
mata orang-orang yang termasuk di pihak itu.
Tsabit
qalbi ‘alaa ta’atik, Ya Allah.