Kapan hari pas lagi suntuk nulis
esai, saya sempet nyeletuk gini, “capek juga yah nulis yang serius macam gini,
apa gueh pensiun aja jadi anak muda yang suka menulis isi hati dan pikiran,
kemudian menjalani karir baru sebagai emak jaman now yang nulis tips pengaturan
keuangan keluarga dan tips belanja, lalu diposting di instagram. Kayaknya
cewek-cewek usia 25-an punya motivasi untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, pasti laku nih kalau gueh ikut nulis begituan.”
Trus habis itu jadi kepikiran, “Iya
juga yah. Yaudah nulis deh, sekalian menunjukkan sisi lain dari diri ini :
wanita seutuhnya.” (dilarang ketawa)
Padahal di tab sebelah ada yang
harus diselesaikan urgent, tapi apalah daya ketika dorongan untuk menulis tips
mengatur keuangan keluarga lebih besar. Eh, bukan tips sih, hanya sharing aja.
Jadi begini…
Sejak menikah dengan Mas Dani
sekitar 9 bulan yang lalu, saya dikasih amanah buat memegang seluruh uang kami.
Biar lebih aman katanya. Soalnya dia tipe orang yang nggak ngerti tentang
keuangan. Maunya pengen apa-apa tinggal beli aja, nggak mikirin jumlah tabungan
berapa, tagihan yang belum dibayar berapa, lagi diskon apa enggak. Dia bahkan
sering nggak tau apakah dompet yang dia bawa hari ini kosong atau ada isinya.
Kalau kehabisan tinggal ‘rogoh-rogoh’ saku baju, celana, jaket karena di
sanalah letak pundi-pundi hartanya. Begitu menikah, dia sadar diri bahwa dia
bukan bendahara yang baik, jadi saya yang terpilih untuk mengambil alih urusan
keuangan dengan trial dan error sampai akhirnya lumayan pinter (lebih pinter
ngabisin sih).
Oya, fyi, kami ini bekerja
sebagai karyawan dan baru lulus kuliah 2 tahun yang lalu, jadi ya nggak
besar-besar amat jumlah uangnya kalau dibandingin sama yang levelnya manajer lah
yaw, makanya harus seirit serapi mungkin hihihi. Sumber penghasilan kami
ada 4 macam. Kalau diurutkan dari yang paling besar sebut saja A, B, C dan D. Alhamdulillah
yang 3 tetap dari gaji tiap bulan, dan yang 1 tidak tetap dari hasil bisnis
kecil-kecilan. Saya mengaturnya sesuai
dengan prinsip syara’ dong, uang suami adalah uang istri, uang istri adalah
uang istri. Seru kan? Wkwkwk.
Tool yang saya gunakan adalah 3
rekening bank yang dilengkapi 3 kartu ATM dan 1 kartu kredit. Saya nggak
saklek-saklek amat ngaturnya, pokoknya dari 4 macam penghasilan itu bisa
dipake buat bayar tagihan, belanja, shadaqah, tabungan. Satu rekening sebagai
rekening tabungan, dan dua rekening buat bayar tagihan, belanja, shadaqah.
Oya, Mas Dani tidak mengizinkan
untuk berhutang. Katanya kalau pengen beli sesuatu tapi nggak mampu, nabung
dulu, jangan kredit. Kartu kredit yang saya pegang sekarang pun sebenernya
nggak niat bikin. Dulu gara-gara tante kejar setoran nyari nasabah kartu kredit
aja akhirnya gueh jadi korban. Sejauh ini kartu kredit baru dipakai dua kali,
buat beli tiket (urgent soalnya, nggak punya mbanking dan butuh tiket cepet)
dan buat beli makan McD (gara-gara penasaran pengen nyoba promonya). Habis ini
saya berniat menonaktifkan tuh kartu soalnya nggak nyaman pakenya, kayak
punya hutang gitu (ya memang ngutang sih).
Pas awal bulan, yang harus
dilakukan terlebih dahulu adalah bersyukur. Alhamdulillah gajian. Lalu langsung
ke mall, ngabisin gaji hehehe. Nggak lah.
Yang pertama harus diberesin
adalah tagihan. Kami belum banyak tagihan sih. Arisan juga termasuk tagihan kan ya? hahaha. Duh emak-emak sukanya arisan.
Kalau sudah, yang kedua adalah shadaqah.
Untuk shadaqah, saya rutinkan tiap bulan bayar ke NH yang kolektif dari kantor.
Buat teman-teman yang merasa kurang menemukan ladang shadaqah, saya saranin
pakai lembaga amil zakat semacam NH, Dompet Dhuafa, YDSF, dan lain-lain, kalau bisa
yang ada layanan ambil di kantor biar nggak ada ceritanya lupa. Mau langsung
menyalurkan ke panti asuhan atau kaum dhuafa di sekitar kita juga baik.
Yang ketiga adalah tabungan.
Mumpung belum punya anak dan belum punya tanggungan besar, saya alokasikan dana
buat menabung yang cukup banyak, minimal 40% dari penghasilan. Saya bedain jadi
dua tabungan : tabungan buat umroh dan anak. Nggak perlu rekening khusus kok
buat nabung umroh, pokoknya niat yang kuat aja. Kalau buat anak ini maksudnya
dana yang disiapkan buat menyambut kedatangan anak kita kelak. Misal nih,
tiba-tiba pas saya melahirkan anak nanti, ada sesuatu hal yang urgent yang
butuh biaya besar, nah uang dari tabungan itu bisa diambil.
Kalau udah beres semua, baru
sisanya dipake buat belanja. Saya kasih ke Mas Dani uang bensin dan jajan
sehari-hari secara bertahap. Misal minggu pertama saya kasih Rp. 200.000. Ntar
akhir minggu saya cek dompetnya, masih sisa berapa. Trus saya tambahin sampai
Rp. 200.000 lagi. Kalau mau beli apa-apa diluar bensin+jajan, dia minta ke
saya. Pasti saya kasih kok kalau alasannya nggak terlalu aneh dan uangnya masih
ada. Hahaha. Oya, dia juga pegang mbanking. Jadi kalau kepepet bisa dia pake,
dan selalu saya cek tentunya. Jadi kalau liat saya pegang hp Mas Dani, itu
bukan berarti saya liat history chatnya, tapi liat mbankingnya wkwk. Belanja
yang rutin paling bahan makanan, kosmetik, pulsa, biaya pulang ke Malang dan ke Nganjuk. Lainnya lebih sering bersifat
impulsif. Kayak tiba-tiba ada yang jual kerudung di kantor, tiba-tiba ada
diskon tas, dan semacamnya. Kan sayang ya kalau nggak dibeli. Hahaha. Dasar emak-emak.
Yang bikin saya susah
mengendalikan keuangan sebenarnya adalah sifat kami berdua yang suka iri-irian
dan sama-sama bookworm.
Kalau dia tiba-tiba beli buku
baru, saya iri.
“Tuh kan beli buku lagi, aku kan
juga ada buku yang aku pengenin.”
“Yaudah ayo beli.”
Akhirnya saya juga beli.
Trus kalau saya yang beli buku
baru, dia iri.
Gitu aja terus sampai rak buku di
kamar udah padat penduduk.
Lalu apakah saya berhasil dengan
cara mengatur keuangan seperti di atas?
Kadang iya, kadang enggak. Masih
sering kebobolan sih hahaha, tapi alhamdulillah Allah masih menjamin rezeki kami.