Jangan tanya kenapa ada koma lima
nya segala. Ini adalah tulisan jaman kapan yang rencananya mau dipost jadi #3
tapi yang nulis melupakan keberadaannya hingga sekarang.
Lagi banyak undangan nikahan dari
temen nih. Tiap weekend kondangan bagaikan ritual wajib bagi kami. Selain
menikah, banyak juga teman-teman yang lamaran, tunangan dan lain-lain yang
berbau kembang melati. Nah sebagai pasangan yang baru saja menikah, kami kayak
saingan romantis dengan mantennya. Kalau ketemu teman-teman, kami dikasih
ucapan “eeh selamat ya kalian”, “eeh manten baruuuu.” Nggak salah apa ya? Tuh
yang barusan nikah ada di kuade. Trus kami dengan leluasa pegang-pegangan
tangan, saling nyuapin, saling bawain mangkok. Kalah tuh yang duduk di kuade. Kadang
ada yang terkesiap gitu liatnya, “oiyaya udah boleh pegang-pegang ya sekarang.”
“Lebih dari pegang-pegang doang
lho sebenernya.” Sahutku pelan sambil menyeruput es. Kalau keras-keras nanti
dicubit Mas Dani.
Sepengamatanku, di kota besar
gini pesta pernikahan menjadi bagian dari gengsi. Di daerah asal aku yang
suburban alias ndeso, juga hampir sama sih, tapi di kota lebih “jor-joran”. Aku
dari dulu sudah mikir, “nanti kalau aku nikah, nggak usah pake acara
gede-gedean. Uangnya ditabung aja buat beli rumah.” Tapi nggak di ACC sama
mami. Katanya sih, nggak mungkin nggak ngundang orang banyak. Saudara aja udah
banyak bingit, belum lagi teman dan tetangga. Hmmm. Aku pengen acara
seminimalis mungkin. Akad, salam-salaman, makan, foto, udah. Nggak usah pake
musik, dekor, gaun dan lain-lain. Tapi kalau kata mami, “nggak pantes”. Nggak
pantes menurut siapa? Akhirnya aku ngalah (sedikit). Aku mau dibikinkan acara
akad, temu manten, resepsi, tapiiii sebisa mungkin tidak bermewah-mewah. Lagian
mau bermewah-mewah pakai uang siapa juga, wkwk. Di tengah-tengah hedonnya
masyarakat, aku ingin menampilkan betapa menikah itu bukan tentang gedung megah
dan tamu konglomerat. Percuma tamunya memuji acaramu tapi nihil mendoakanmu.
Percuma kalau mereka lebih pandai menyanyi dibandingkan berdoa syahdu “barakallahu
lakuma…”. Gitu aja sih prinsipku.
Lalu tadi aku nggak sengaja baca
di feed medsos, ada teman yang mengeluh, “maksiat dimudahkan, mau nikah
dipersulit.” Aku jadi senyum miris bacanya. Semoga dimudahkan untukmu, teman.
Kalau ada hajat hidupku yang kurasa sulit, biasanya aku bertanya kepada diriku
sendiri, sudah benarkah niatku? Sudah lillahi ta’ala kah? Kalau belum, pantas
saja dipersulit. Atau bisa jadi, ujianmu dimajukan sebelum menikah, lalu
disusul kemudahan setelah menikah. Allah mungkin saja ingin memudahkanmu
nantinya.
Life after marriage itu masih
panjang lho. Percaya deh. Akan ada hal-hal yang lebih berarti untuk merayakan
cinta dibandingkan dengan sekedar pesta pernikahan. Kalau masih nggak percaya,
bolehlah kita tanya para senior kita dalam hal ini.