Cukup lama aku memandangi layar laptop kecil ini. Hanya
memandang. Jari-jariku berpangku di bawah bibir yang mengerucut kesal. Mau
diapakan lagi dokumen perencanaan proker ini? Aku tak peduli-peduli amat dengan
anggaran dana. Mau dianggarkan berapapun dana rektorat tidak akan menalangi
semuanya. Mengalah sajalah, daripada pusing. Yang harus aku lakukan adalah
mematangkan konsep. Ya, konsep yang membawa pencapaian hebat nantinya. Ah, tapi
pikiran terlanjur suntuk begini, rasanya tidak memungkinkan untuk menyelesaikan
sekarang. Sudah, besok saja kerjakan lagi, begitu perintah otakku.
Otakku setengah melamun. Jari-jariku mulai bermain-main di
atas keyboard, mencari sedikit refreshing. Akhirnya pilihan tiba pada folder
‘justsing’, dan lagu-lagu Maher Zain se-album masuk playlist media player,
menembus saraf-saraf jenuhku. Daripada diam melamun, mending melakukan sesuatu
yang kecil tapi berguna, bukan? Maka sambil mendengar Love You So, aku
merapikan file-file yang selalu tidak teratur. Orang terakhir yang berusaha
merapikannya adalah seorang teman, yang dengan seenaknya sendiri menggabungkan
semua file tercecer ke dalam satu folder bernama ‘antah-berantah’. Tidak
berefek apapun pada kerapian.
Di tengah-tengah merapikan file, tiba-tiba pointer menunjukkanku
perca-perca berharga yang sudah lama tak kusentuh. Sejak aku SMA hingga
sekarang, perca-perca itu terkumpul dan tak terasa menjadi semakin banyak,
hingga kalau dibuat narasinya, bisa melibas rekor sinetron Tersanjung jilid
1-8. Mukaku yang manyun jadi senyum-senyum sendiri melihatnya.
Ada aku yang memakai seragam putih abu-abu, duduk berjajar
dengan teman-teman di depan kelas. Saat itu sedang tidak ada pelajaran, kami
sedang berpartisipasi menambah jumlah pengangguran Indonesia selama beberapa
jam ke depan. Aku hampir selalu bosan di dalam kelas, maka acara duduk-duduk
sambil bicara apa saja terasa seribu kali lebih baik. Waktu itu segalanya
selalu berjalan dengan indah, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hal-hal
selain belajar dan bermain.
Lalu ketika semester awal, percanya semakin jarang. Beberapa
yang ku temukan adalah ketika aku duduk di bangku rektor di sebuah aula. Geli
juga melihatnya, rektor sekecil itu, pakai jilbab warna pink pula. Selebihnya
adalah aku di ruang kuliah dengan teman-teman baru, aku yang memakai jas lab
pertama, dan aku yang tertangkap kamera dokumentasi kepanitiaan.
Selintas aku merangkaikan semuanya. Aku yang dulu hingga aku
yang sekarang. Jelas, aku dulu tidak pernah membayangkan akan menjadi aku yang
sekarang, tapi aku sekarang sedang mengungkit-ungkit bayangan aku yang dulu.
Aku yang dulu bangun pukul 5 pagi - nonton kartun - berangkat ke sekolah pukul
6.10 – mengikuti pelajaran – tertawa dan bercanda tak kenal waktu – selesai
sekolah langsung pulang, kecuali hari Jumat mungkin main dulu. Meski terlihat
tanpa beban, jauh dalam hati aku merasa jenuh. Aku sebenarnya tidak pandai
mencari teman, sekaligus punya cara berpikir yang sulit dipahami orang-orang di
sekitarku. Maka lengkap sudah hal itu membentuk pribadiku yang semakin
antisosial. Sedangkan aku yang sekarang bangun pukul 11 malam – mengerjakan
laporan, belajar untuk ujian, mengagendakan rapat atau menulis – tidur lagi
setelah Subuh – berlari-lari dari tempat parkir ke lab biar tidak terlambat
praktikum pukul 7 – kuliah, rapat, diskusi hingga larut malam. Aku memang
menutuskan untuk kabur dari zaman putih abu-abu sesegera mungkin. Bagaimana
caranya kabur? Entahlah, aku tak ingat. Mungkin di suatu malam ketika aku
sedang tidur, ada yang mendeportasiku dari dunia putih abu-abu ke dunia
mahasiswa. Atau mungkin ketika sedang menonton film Hulk, radiasi sinar gamma
menembus layar televisiku lalu sel-sel tubuhku berubah...mutan dong? Ah,
sudahlah, jangan diseriusin!
Semester demi semester berlalu. Aku tidak lagi suka film
horror dan thriller. Aku tidak lagi ikut lomba sepakbola Hari Kartini. Aku
mulai gemar mencerca politikus-politikus di tayangan berita. Aku rela mencari
data di seluruh tempat di dunia demi memperoleh kebenaran yang aku pertanyakan.
Aku mengejar setiap detik hidupku. Memang sulit membayangkan aku bisa berubah
drastis seperti mutan. Dan semua itu mengajarkanku untuk percaya bahwa tidak
ada yang konstan di dunia ini. Semuanya serba relatif. Karena perubahan dan
kerelatifan itu, aku juga percaya bahwa tidak ada yang mustahil, semuanya dapat
terjadi.
Ketika aku kembali ke file perencanaan proker, aku punya
cara pandang baru. Sebesar apapun, sesulit apapun, pasti akan berhasil. Biar
anggaran dana yang tidak balance mengisyaratkan kemustahilan, tapi lagi-lagi
aku memahami kerelatifan yang mungkin terjadi. Aku sudah enggan berpikir
birokratis, terserah mereka yang birokrat mau bilang apa, aku akan tetap
berpacu pada semua kemungkinan yang bisa terjadi. Lagipula ini belum seberapa,
ada mimpi-mimpiku yang lebih mustahil. Misalnya mimpiku untuk jadi pilot. Semua
orang menertawakannya, tapi aku tetap percaya. Maybe I am (like) mutan, my God had changed
me, it was impossible, and I do believe that all the impossible wishes could happen.