Sunday, February 24, 2013

Published 10:23 PM by with 0 comment

I Am Mutan


Cukup lama aku memandangi layar laptop kecil ini. Hanya memandang. Jari-jariku berpangku di bawah bibir yang mengerucut kesal. Mau diapakan lagi dokumen perencanaan proker ini? Aku tak peduli-peduli amat dengan anggaran dana. Mau dianggarkan berapapun dana rektorat tidak akan menalangi semuanya. Mengalah sajalah, daripada pusing. Yang harus aku lakukan adalah mematangkan konsep. Ya, konsep yang membawa pencapaian hebat nantinya. Ah, tapi pikiran terlanjur suntuk begini, rasanya tidak memungkinkan untuk menyelesaikan sekarang. Sudah, besok saja kerjakan lagi, begitu perintah otakku.

Otakku setengah melamun. Jari-jariku mulai bermain-main di atas keyboard, mencari sedikit refreshing. Akhirnya pilihan tiba pada folder ‘justsing’, dan lagu-lagu Maher Zain se-album masuk playlist media player, menembus saraf-saraf jenuhku. Daripada diam melamun, mending melakukan sesuatu yang kecil tapi berguna, bukan? Maka sambil mendengar Love You So, aku merapikan file-file yang selalu tidak teratur. Orang terakhir yang berusaha merapikannya adalah seorang teman, yang dengan seenaknya sendiri menggabungkan semua file tercecer ke dalam satu folder bernama ‘antah-berantah’. Tidak berefek apapun pada kerapian.

Di tengah-tengah merapikan file, tiba-tiba pointer menunjukkanku perca-perca berharga yang sudah lama tak kusentuh. Sejak aku SMA hingga sekarang, perca-perca itu terkumpul dan tak terasa menjadi semakin banyak, hingga kalau dibuat narasinya, bisa melibas rekor sinetron Tersanjung jilid 1-8. Mukaku yang manyun jadi senyum-senyum sendiri melihatnya.

Ada aku yang memakai seragam putih abu-abu, duduk berjajar dengan teman-teman di depan kelas. Saat itu sedang tidak ada pelajaran, kami sedang berpartisipasi menambah jumlah pengangguran Indonesia selama beberapa jam ke depan. Aku hampir selalu bosan di dalam kelas, maka acara duduk-duduk sambil bicara apa saja terasa seribu kali lebih baik. Waktu itu segalanya selalu berjalan dengan indah, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hal-hal selain belajar dan bermain.

Lalu ketika semester awal, percanya semakin jarang. Beberapa yang ku temukan adalah ketika aku duduk di bangku rektor di sebuah aula. Geli juga melihatnya, rektor sekecil itu, pakai jilbab warna pink pula. Selebihnya adalah aku di ruang kuliah dengan teman-teman baru, aku yang memakai jas lab pertama, dan aku yang tertangkap kamera dokumentasi kepanitiaan.

Selintas aku merangkaikan semuanya. Aku yang dulu hingga aku yang sekarang. Jelas, aku dulu tidak pernah membayangkan akan menjadi aku yang sekarang, tapi aku sekarang sedang mengungkit-ungkit bayangan aku yang dulu. Aku yang dulu bangun pukul 5 pagi - nonton kartun - berangkat ke sekolah pukul 6.10 – mengikuti pelajaran – tertawa dan bercanda tak kenal waktu – selesai sekolah langsung pulang, kecuali hari Jumat mungkin main dulu. Meski terlihat tanpa beban, jauh dalam hati aku merasa jenuh. Aku sebenarnya tidak pandai mencari teman, sekaligus punya cara berpikir yang sulit dipahami orang-orang di sekitarku. Maka lengkap sudah hal itu membentuk pribadiku yang semakin antisosial. Sedangkan aku yang sekarang bangun pukul 11 malam – mengerjakan laporan, belajar untuk ujian, mengagendakan rapat atau menulis – tidur lagi setelah Subuh – berlari-lari dari tempat parkir ke lab biar tidak terlambat praktikum pukul 7 – kuliah, rapat, diskusi hingga larut malam. Aku memang menutuskan untuk kabur dari zaman putih abu-abu sesegera mungkin. Bagaimana caranya kabur? Entahlah, aku tak ingat. Mungkin di suatu malam ketika aku sedang tidur, ada yang mendeportasiku dari dunia putih abu-abu ke dunia mahasiswa. Atau mungkin ketika sedang menonton film Hulk, radiasi sinar gamma menembus layar televisiku lalu sel-sel tubuhku berubah...mutan dong? Ah, sudahlah, jangan diseriusin!

Semester demi semester berlalu. Aku tidak lagi suka film horror dan thriller. Aku tidak lagi ikut lomba sepakbola Hari Kartini. Aku mulai gemar mencerca politikus-politikus di tayangan berita. Aku rela mencari data di seluruh tempat di dunia demi memperoleh kebenaran yang aku pertanyakan. Aku mengejar setiap detik hidupku. Memang sulit membayangkan aku bisa berubah drastis seperti mutan. Dan semua itu mengajarkanku untuk percaya bahwa tidak ada yang konstan di dunia ini. Semuanya serba relatif. Karena perubahan dan kerelatifan itu, aku juga percaya bahwa tidak ada yang mustahil, semuanya dapat terjadi.

Ketika aku kembali ke file perencanaan proker, aku punya cara pandang baru. Sebesar apapun, sesulit apapun, pasti akan berhasil. Biar anggaran dana yang tidak balance mengisyaratkan kemustahilan, tapi lagi-lagi aku memahami kerelatifan yang mungkin terjadi. Aku sudah enggan berpikir birokratis, terserah mereka yang birokrat mau bilang apa, aku akan tetap berpacu pada semua kemungkinan yang bisa terjadi. Lagipula ini belum seberapa, ada mimpi-mimpiku yang lebih mustahil. Misalnya mimpiku untuk jadi pilot. Semua orang menertawakannya, tapi aku tetap percaya. Maybe I am (like) mutan, my God had changed me, it was impossible, and I do believe that all the impossible wishes could happen.
      edit

0 komentar:

Post a Comment

yuuk komen yuuk . . .