Menceritakan masa lalu itu butuh
keberanian – Iwan Setyawan, dalam 9 Summer 10 Autumn.
Iya, memang benar. Mungkin aku
tidak punya keberanian yang cukup untuk menceritakan segalanya. Tapi ada
beberapa bagian yang selalu ingin aku bagi, aku ceritakan pada orang lain
karena menceritakannya menciptakan kebahagiaan tersendiri.
Waktu SD, aku suka sekali diantar
ke sekolah naik ‘sepeda kebo’ oleh kakek. Jarak sekolah-rumah tidak terlalu
jauh, paling 10 menit kalau naik sepeda. Dan di sepanjang perjalanan aku nyanyi
lagu favoritku “Oh ibu dan ayah selamat pagi. Ku pergi sekolah sampai kan
nanti...” Hihihi. Lucu kalo diinget-inget. Tapi masa-masa dibonceng kakek itu
tidak lama. Aku segera bisa naik sepeda sendiri dan kakek semakin tua. Jadi aku
pulang-pergi naik sepeda sendiri.
Aku punya banyak teman, dan
mereka selalu lebih besar daripada aku. Dulu aku berpikir, jangan-jangan ketika
mereka semakin besar, aku tetap saja kecil. Aku sedih kalau membayangkan itu.
Padahal sebenarnya memang karena usiaku lebih muda daripada mereka, makanya
terlihat lebih kecil. Kami dibesarkan di lingkungan yang penuh kesederhanaan.
Hanya ada beberapa di antara kami yang berasal dari keluarga kaya, sisanya
menengah ke bawah, namun justru itu yang merekatkan kami. Mungkin ketika anak
kota sudah mengenal komputer, kami tidak tau bagaimana bentuk komputer itu. Aku
baru menyentuh komputer kalau main ke rumah om-ku di Surabaya. Kami suka sekali
main rumah-rumahan, masak-masak dan bersepeda rame-rame. Ketika teman-temanku
sudah bosan dengan mainan-mainan kami, aku selalu punya ide baru : main
digimon-digimon-an, simulasi toko bunga (pake taneman-taneman mama dan
ditempeli harga :p), kios majalah (dengan menumpahkan semua koleksi majalah
Bobo di lantai), kontes nyanyi (gara-gara demam AFI ini), sampai menguras
akuarium di rumahku (ini namanya memanfaatkan teman ya, bukan ngajak main
hehehe).
Aku selalu punya ruang untuk
berkhayal. Membayangkan apa saja yang bisa dibayangkan seorang anak kecil. Yang
paling konyol adalah berkhayal jadi pemain film Kuch-Kuch Hota Hai sambil
hujan-hujan. Geli membayangkannya. Lama-lama aku menyadari kalau khayalan itu
akan terlupakan begitu saja, maka aku belajar menuliskannya, walaupun sangat
tidak penting.
Band favorit pertamaku adalah
Westlife. Semua lagu Westlife yang keluar pas jaman itu aku hapalin semua
meskipun cuma ‘by listening’ kalau di video nggak ada subtitle-nya. Nggak cuma
liriknya, tiap pulang sekolah aku dan adekku selalu nge-dance a la Westlife di
depan TV! Tragisnya, ketika aku akhirnya bisa menyanyi bahasa inggris dengan
benar, boyband itu bubar (walaupun akhirnya terbentuk lagi).
Hmm, waktu SD juga, aku direcoki
sama bahasa Inggris, all the time. Aku punya guru les bahasa inggris sekaligus
guru di sekolah sekaligus tetangga yang T.O.P banget, membuat aku kecanduan
bahasa inggris. Mungkin ketika anak SD lain baru belajar tentang Simple Present
Tense, papan tulis di depanku sudah penuh dengan semua jenis tenses. Lalu
menulis esai, surat, skrip drama. Iya, skrip drama beneran! Dan aku suka
sekali! Sayang aku nggak berbakat jadi sutradara maupun aktris. Baru waktu SMP
aku membuat skrip drama bahasa Indonesia dan terpaksa ikut jadi aktris karena
merupakan tugas. Rasanya waktu kecil belajar apapun mudah dan menyenangkan,
beda dengan sekarang, kenapa ya? :p
Aku kehilangan ayah waktu kelas 2
SD, sedangkan adekku TK nol besar. Segalanya jadi tidak mudah,tapi aku tidak
sepenuhnya mengerti. Ibuku selalu membuat keadaan terlihat baik-baik saja. Beliau
bekerja keras untuk menyambung hidup. Aku tidak pernah menangis karena kehilangan
ayah sampai aku mengerti arti kehilangan beberapa tahun kemudian. Aku jadi
ketakutan dan semacam trauma dengan kehilangan dan kematian, yang membekas
hingga tahun-tahun berikutnya. Yaah, harus diakui kenangan yang ini sedih
sekali kalau diungkapkan. Perlahan aku belajar menjadi anak kecil pada umumnya
lagi, yang menghadapi segalanya dengan tawa.
Pada akhirnya aku sangat
bersyukur bisa melaluinya. Dan tentu saja, segalanya memberi makna pada
kehidupan ini. :)
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .