Rasanya seperti punya hutang
kalau tidak menceritakan ini.
Semua sudah tau kisah
petualanganku di Turki, kan? Tak terasa sudah hampir satu tahun yang lalu,
tetapi kenangannya masih saja membekas. Mungkin bagi kalian ke luar negeri itu
mudah, tetapi bagiku ini luar biasa.
Ada satu bagian penting yang
mungkin belum sempat terceritakan...
Saat itu sedang pertengahan
semester lima. Di antara tumpukan materi kuliah dan praktikum yang menantang
setengah membosankan, aku mulai berpikir tentang hal-hal lain mengenai ‘sudah
semester lima, setelah ini enam, tujuh, delapan...’. Aku buru-buru me-recall
impian-impianku, target-targetku sebelum aku lulus kuliah. Ada yang belum
tercapai rupanya – dan banyak! Tinggal tiga semester di depan. Oh, ngapain aja
gueh selama ini!
Salah satu yang tertarget sebelum
lulus kuliah adalah go to foreign.
Tujuan utamanya adalah kota tempat menara Eiffel bersemayam menungguku : Paris!
Selain itu aku punya janji untuk bertemu seseorang di sana, tepat di depan
patung Victor Hugo. Jadi, aku harus segera ke sana.
Sebelum kerontang tanah terbasahi
ribuan kubik rintik air, jalan mulai tersibak. Pendaftaran Student Exchange Programme (SEP) oleh IPSF dibuka. Aku yang saat itu kelebihan energi dan semangat dan
sering berkhayal tentang Eropa, sangat antusias menyambutnya. Daftar
keanggotaan IPSF (padahal sebelumnya tidak pernah ingin melakukannya), membuka
lagi buku ‘Belajar Cepat Bahasa Perancis’ (setelah satu jam membongkar laci dan
menemukan buku itu di dasar), membuat paspor (ternyata merepotkan sekali) dan
berdoa (lebih seperti merajuk).
Namun semangat itu segera menukik
tajam begitu melihat Perancis tak terjangkau... dalam hal finansial. Negara itu
sudah menggunakan mata uang Euro dan itu berita buruk karena segalanya menjadi
sangat mahal. Satu semester mengumpulkan uang dari manapun tidak akan mencukupi
pengeluaran untuk SEP di Perancis. Bahkan jika aku memenangkan SEP Grant pun
aku tidak yakin itu akan mencukupinya. Aku benar-benar tanpa dana. Maka dengan
segala pertimbangan aku memilih negara lain yang masih satu benua dengan
Perancis. Saat itu pilihan jatuh pada Turki, Ceko dan Spanyol. Ketiganya belum
menggunakan euro dan meskipun mahal, masih agak besar kemungkinan aku
mencukupkan dana untuk ke sana.
Singkat cerita, aku meng-apply
dan beberapa bulan kemudian diterima menjadi delegasi ke Turki, di bawah
organisasi IUPSA. Tisa juga diterima di tempat yang sama.
Satu semester terlampaui. Hingga
tiba saatnya memesan tiket untuk berangkat ke Turki bulan Agustus, ternyata aku
belum juga berhasil mengumpulkan dana. Aku tidak memenangkan SEP Grant. Semua
permohonan sponsor yang aku ajukan ditolak. Beasiswa tiba-tiba macet. Jangankan
untuk itu, untuk membayar SPP semester enam saja aku harus menanggung malu
meminta uang ke ibu – sesuatu yang belum pernah kulakukan sebelumnya.
Hanya tersisa dua juta rupiah
di rekening. Entah apa yang kupikirkan waktu itu, satu juta langsung aku tarik
tunai dan kuputuskan untuk menjadi hak orang lain yang lebih membutuhkan.
Sementara orang-orang IPSF dan
IUPSA terus mengabarkan lewat email mengenai jaminan akomodasi dan tempat
praktek di Istanbul, dan kawan-kawan yang menjadi delegasi ke luar negeri
memesan tiket pesawat, aku mulai menitikkan air mata.
Apakah aku harus melepaskannya?
Bulan terus bergerak mengitari
bumi hingga Ramadhan tiba. Sebagai seorang pemimpi yang tak mudah menyerah, aku
berdoa hingga mengigau selama beberapa minggu. Aku mengharapkan keajaiban dari
Allah di bulan yang penuh berkah ini. Saat itu aku berada di Probolinggo, di
tengah kehangatan kawan KKN dan keluarga Pak Imam. Segalanya berjalan indah
sekali. Seindah alam pegunungan di tepian Probolinggo. Seindah sungai tempat
aku bermain bersama anak-anak kecil di sana. Seindah suara adzan magrib yang
selalu disambut ceria oleh kami semua.
Hingga rasanya keindahan itu
menjadi isyarat untukku. Isyarat untuk melepaskannya... untuk ikhlas... untuk
sekali lagi mengembalikannya pada Allah.
“Aku ikhlas, Ya Allah. Aku sudah
bilang kutitipkan impianku padaMu. Tidak jadi ke Turki, tidak apa-apa. Tidak
ada lagi yang bisa aku lakukan. Jika KKN yang indah ini merupakan penghiburan yang
Kau coba berikan untukku sebagai gantinya, itu sudah cukup. Aku ikhlas.” begitu
bisikku suatu malam setelah sholat Tahajjud.
Dan keesokan harinya aku
mengirimkan email ke SEO-ku yang sudah begitu baik mengurusi akomodasi dan
jadwal kegiatanku selama di Turki. Email yang penuh kata “I’m sorry” dan
“please forgive me.” Email sedih yang kutekan send-nya sambil tersenyum ikhlas.
Kemudian aku melanjutkan
kehidupan yang indah di Probolinggo sana. Aku masih tetap mendongengkan kisah
Keong Mas dan mengajarkan bahasa Inggris di teras rumah Pak Imam. Aku masih
mengobrol di tepi tungku yang hangat dengan Bu Imam. Aku masih sering
berkeliaran ke Probolinggo kota dengan seorang teman. Aku masih bahagia dan
baik-baik saja.
Dan segalanya berubah ketika...
negara api menyerang!
Saat itu sepuluh menit setelah
aku buka puasa di alun-alun kota – pertama dan terakhir kalinya aku pulang
malam di Probolinggo. Aku sedang menuju ke masjid agung untuk sholat ketika
Tisa menelepon. Aku hanya memandangi layar hp hingga nama Tisa menghilang. Ada
yang aneh.
“Siapa?” tanya temanku.
“Temanku di Sampang. Entah ada
apa.”
“Chyntia bisa pulang ke
Surabaya?” tanya Tisa lewat sms.
“Ngapain Tisa nyuruh-nyuruh
pulang? Ini KKN-ku yang indah tinggal beberapa hari lagi.” gerutuku.
Begitu sampai di rumah, Tisa
menelepon lagi. Aku menjawab sambil mengerutkan kening. Kemudian apa yang
dikatakan Tisa membuatku menganga dan kemudian bertasbih sambil menangis.
Intinya, keajaiban yang aku
inginkan dikabulkan oleh Allah. Tisa harus bangga menjadi orang terpilih untuk
menyampaikannya. Tisa bilang
ada orang yang entah kenapa mau membiayai transportasiku ke Turki yang mencapai belasan
juta. Meski tidak mengerti, aku harus segera pulang ke Surabaya untuk
memesan tiket karena dua minggu lagi kami berangkat.
Dan lebih aneh lagi, keesokan
harinya adalah hari ulang tahunku yang ke-20. Jadi kesannya seperti Tisa sedang
memberi kejutan untuk hari ulang tahunku. Jika ia bohong saat itu pun, aku tidak akan marah.
Ibuku tercengang ketika aku
berkata bahwa aku akan berangkat ke Turki. Aku tidak pernah menceritakan hal
ini sebelumnya. Sedangkan aku terharu karena Allah tidak pernah absen
mengejutkanku, membahagiakanku pada waktu yang tepat.
Ketika aku sampai di Surabaya,
seorang perantara keajaiban bernama Pak Mukid yang ternyata sudah kenal lama
dengan keluarga Tisa, langsung mengajakku memesan tiket pulang-pergi dan
menguruskan visaku. Di cerita ini, Pak Mukid seperti jin botol yang tiba-tiba
muncul dan mengabulkan semua permintaanku.
Ketika tiket belasan juta sudah
di tangan, aku tidak tau harus berkata apa. Habis sudah rasa sedihku, terganti
oleh bahagia berlipat-lipat. Habis sudah bebanku, terganti oleh rasa
melayang setinggi-tingginya. Ini memang bukan ke Paris, tetapi ke Istanbul,
yang merupakan rencana Allah yang lebih indah. Satu lagi impianku terwujud.
Maka begitulah janji Allah selalu
terbukti, yaitu bahwa beserta kesulitan itu ada kemudahan. Beserta kesulitan
itu ada kemudahan...
Masih ragu untuk bermimpi?
Bagiku, keberanian bermimpi dan meyakini terwujudnya mimpi adalah pembuktian
kualitas iman seseorang.
Sayang Allah selalu :’)