Saturday, December 30, 2017

Published 7:52 PM by with 2 comments

Competition and Sur/petition




Aku barusan baca tentang bedanya competition dan sur/petition. Sejujurnya aku baru tau ada istilah sur/petition ya sekarang ini, waktu baca buku Fitrah Based Education. *Makanya, yang dibaca jangan website cumicumi mulu, sis. Hahaha. Dan begitu baca tentang ini, aku merasa ada yang salah dengan sistem-sistem bikinan manusia yang sering menjebak diri di kehidupan ini. *Mulai ruwet nih.

Apa sih bedanya competition dan sur/petition? Kita lihat kutipan kalimat dari Edward de Bono berikut ini :

Competition, with its focus on what others are doing, is only the baseline for survival. Sur/petition focuses on value creation, going beyond traditional strategic competition to exploit the vast potential of “integrated values”.

Intinya, competition itu perlombaan dengan orang lain. Pembanding kita adalah orang lain. Motivasi kita adalah menjadi lebih baik dari orang lain. Misal, si A dan si B bersaing di sekolah. Mereka berebut posisi ranking 1 di kelasnya. Ketika si A berhasil jadi nomor satu, berarti si A pemenangnya, dan si B adalah loser. Meskipun sudah dihibur-hibur bahwa yang penting sudah berusaha maksimal jadi mereka sama-sama baiknya, tetap saja pasti ada perasaan kalah dalam diri si B. Lalu apakah kemenangan itu baik untuk si A? Apakah kekalahan itu baik untuk si B? Ternyata belum tentu. Si A dan B sama-sama kehilangan banyak hal karena terlalu sibuk belajar, seperti waktu untuk melakukan hobi, bermain bersama teman-temannya, bahkan kehilangan jati diri karena yang dipikirkan hanya bagaimana bisa ranking 1, mengalahkan rivalnya. Mereka belajar hanya untuk menjadi ranking 1, bukan untuk meraih ilmu dan menggali potensi. Lalu setelah ranking 1, what next? It's all done.

Sedangkan sur/petition adalah usaha untuk memajukan potensi diri, tanpa perlu membandingkan dengan orang lain. Misal, si A dan si B tidak bersekolah di tempat yang mengedepankan persaingan. Si A suka Biologi sedangkan si B suka Seni Musik. Dengan bakatnya masing-masing, mereka menunjukkan kebermanfaatan dirinya di masyarakat. Si A sedang suka sekali menanam tanaman sereh di dalam pot-pot kecil, merawatnya dan mengamatinya setiap pagi. Kemudian tanaman sereh itu dibagikan ke tetangga-tetangganya untuk diletakkan di dekat jendela kamar, gunanya untuk mengusir nyamuk. Lain lagi dengan si B, yang hobinya main biola. Setiap akhir pekan ia datang ke panti jompo dekat sekolahnya untuk memainkan biola di depan para penghuni panti, membuat suasana menjadi hangat dan menyenangkan. Apakah A dan B bersaing? Tidak. They do what they love to do, dan hasilnya sama-sama baik, sama-sama bermanfaat bagi orang lain. Mereka belajar apa yang mereka suka dan melakukan apa yang mereka suka juga. Dalam hal ini si A dan B tidak bisa dibandingkan, dan memang tidak perlu dibandingkan.

Aku merasa selama sekolah terjebak dalam competition. Ukuran sukses waktu jaman sekolah adalah ranking 1, sekolah di sekolah paling baik, masuk jurusan IPA, trus masuk universitas negeri, jurusan yang gradenya paling tinggi, trus ambil S2 di luar negeri, berhasil hidup di luar negeri. Padahal itu ukuran suksesnya siapa? Ukuran suksesnya orang lain, alias harapan orang lain, belum tentu sesuai dengan ukuran sukses eike kan? Akhirnya, waktu aku bercita-cita ingin jadi penulis fiksi, kuliah di jurusan sastra dan pengen main teater, aku dibilang nggak ada gunanya; pilih jurusan yang linier sama IPA aja; nanti kamu cari kerjanya susah lho. Lalu aku bercita-cita ingin jadi pilot. Orang malah bilang aku aneh. Jangan aneh-aneh, gitu katanya.

Sekarang kalau aku dibilangin gitu, aku berani bilang, “kalau menurutmu aneh, it’s okay, aku memang tidak didesain menjadi seperti dirimu. Let us focus on sur/petition.”

Waktu memilih jurusan kuliah, aku jadi memutar otak : jurusan apa yang ada hubungannya sama Kimia (pelajaran favorit), kuliahnya cukup menantang (karena aku mudah bosan), cari kerjanya gampang, dan walaupun aku nggak suka-suka banget, nanti pas lulus aku bisa dapat kerja dengan mudah, dan yang paling penting orang bilang jurusanku keren. Ketemu deh : Farmasi. Lalu aku memutuskan itu sebagai passionku.

Selama kuliah aku aktif di banyak kegiatan, terutama di jurnalistik, buat menyalurkan bakat menulisku. Kalau ada waktu luang, aku menulis buku harian dan personal blog. Selebihnya, aku menggunakan waktuku untuk belajar dan belajar. Jadi yang harusnya jadi passionku farmasi apa menulis? Hahaha.

Salah nggak jalanku? Nggak sih, tapi sekarang aku tau bahwa ada cara berpikir yang lebih benar.

Bahwa aku tidak seharusnya termotivasi oleh pencapaian orang lain. Bahwa aku tidak harus menilai suatu kondisi dengan mata selalu menoleh kesana kemari, memastikan tidak ada orang yang menyalahkanku.

Aku menjadi sangat kompetitif, dan menurut orang lain itu baik karena aku bisa jadi orang sukses. Bahkan ada semacam kuisioner psikologis yang pernah aku ikuti, hasilnya bilang kalau aku punya nilai competitiveness yang besar. Yaiyalah gimana nggak besar, emang diajarin berlomba mulu.

Dampaknya kalau kita suka berkompetisi, jiwa kita jadi tidak menentu. Banyak insecure-nya. Kita dengan mudah membandingkan diri kita dengan orang lain. Liat temen bisa juara di karya ilmiah, kita galau, padahal bidangnya beda dengan kita. Liat temen bisa dapat nilai A di Farmakokinetik, kita jadi mem-push diri kita untuk dapat nilai A, padahal kita tau kita tidak akan memerlukannya waktu kerja nanti. Kita jadi susah mengembangkan potensi kita sendiri karena sibuk berkaca pada pencapaian orang lain.

Nah, waktu lulus kuliah, aku baru menghayati rencana-rencana hidupku, yang tentunya berbeda dengan orang lain. Pelan-pelan aku mulai berusaha mengaburkan pandangan pada dunia orang lain. Ketika teman-teman banyak yang mencari kerja di perusahaan besar di tempat yang jauh, gaji besar, banyak-banyak overtime biar totalitas demi segera mapan, aku berani menetapkan : NO! It’s not something I am searching for. Ketika orang ramai membeli barang-barang mewah dari seantero dunia, aku bilang : I will not spend my money for those thing! Dan sebagainya.

Cara pandangku kepada orang lain pun jadi berbeda. Waktu aku melihat adek yang nggak bisa Fisika, aku tenang-tenang aja, it’s alright, you can be good on other subject. Pas ada teman yang cerita kalau dia mau resign dari industri farmasi dan ingin jadi pialang saham, if you find it fits to you, go get it. Trus pas suami lebih suka melukis daripada membaca buku, I understand you, sir, tapi jangan beli-beli buku terus ya, pemborosan, nggak dibaca. Hahaha.

Jiwa yang terbiasa berkompetisi ini terlihat seperti lelah, tapi sesungguhnya jauh di dalamnya ia merasa tenang. It’s okay if I cannot be as great as other people. I am happy to be myself and happy to walk in my own way. Farewell, competition. Let us focus on sur/petition.

Inspired by Fitrah Based Education Ver 3.0 - Harry Santosa.

Read More
      edit

Saturday, November 11, 2017

Published 10:48 AM by with 0 comment

Kepada yang Harinya Berganti Terlalu Cepat



Kepada yang harinya berganti terlalu cepat
Tak ada lagi waktu menyepi dari dunia
Tak sempat lagi makan siang dan beristirahat
Semua terburu, semua berburu
Hingga tak sadar dirinya diburu
Terburu ingin menyelesaikan satu hari
Demi hari berikut yang tiada beda
Berburu keberhasilan terukur materi
Tertumpuk dengan peluh dan lelah
Terlupa ia sedang diburu renta

Kepada yang harinya berganti terlalu cepat
Terlewat sudah pelajaran dari masa
Terasa melangkah jauh namun kaki masih di tempat
Demi kebahagiaan semu yang kau bilang nikmat
Bersiap untuk hari tua yang belum tentu tiba
Lalu tetiba kaki tak lagi sanggup menapak
Dan jantung tak lagi berdetak

Kepada yang harinya berganti terlalu cepat
Esok lusa mungkin menghampiri atau menjauhi
Hingar bingar beranjak membingar atau beringsut pulang
Biarpun tak bergeming, kau tak mungkin menghindar
Harimu yang berganti terlalu cepat
Membuat maut semakin mendekat
Dan kau berharap dapat bertaubat secepat kilat
Read More
      edit

Friday, November 3, 2017

Published 7:33 PM by with 0 comment

A Marriage Life #4 : Mengatur Keuangan Keluarga



Kapan hari pas lagi suntuk nulis esai, saya sempet nyeletuk gini, “capek juga yah nulis yang serius macam gini, apa gueh pensiun aja jadi anak muda yang suka menulis isi hati dan pikiran, kemudian menjalani karir baru sebagai emak jaman now yang nulis tips pengaturan keuangan keluarga dan tips belanja, lalu diposting di instagram. Kayaknya cewek-cewek usia 25-an punya motivasi untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, pasti laku nih kalau gueh ikut nulis begituan.”

Trus habis itu jadi kepikiran, “Iya juga yah. Yaudah nulis deh, sekalian menunjukkan sisi lain dari diri ini : wanita seutuhnya.” (dilarang ketawa)

Padahal di tab sebelah ada yang harus diselesaikan urgent, tapi apalah daya ketika dorongan untuk menulis tips mengatur keuangan keluarga lebih besar. Eh, bukan tips sih, hanya sharing aja.

Jadi begini…

Sejak menikah dengan Mas Dani sekitar 9 bulan yang lalu, saya dikasih amanah buat memegang seluruh uang kami. Biar lebih aman katanya. Soalnya dia tipe orang yang nggak ngerti tentang keuangan. Maunya pengen apa-apa tinggal beli aja, nggak mikirin jumlah tabungan berapa, tagihan yang belum dibayar berapa, lagi diskon apa enggak. Dia bahkan sering nggak tau apakah dompet yang dia bawa hari ini kosong atau ada isinya. Kalau kehabisan tinggal ‘rogoh-rogoh’ saku baju, celana, jaket karena di sanalah letak pundi-pundi hartanya. Begitu menikah, dia sadar diri bahwa dia bukan bendahara yang baik, jadi saya yang terpilih untuk mengambil alih urusan keuangan dengan trial dan error sampai akhirnya lumayan pinter (lebih pinter ngabisin sih).

Oya, fyi, kami ini bekerja sebagai karyawan dan baru lulus kuliah 2 tahun yang lalu, jadi ya nggak besar-besar amat jumlah uangnya kalau dibandingin sama yang levelnya manajer lah yaw, makanya harus seirit serapi mungkin hihihi. Sumber penghasilan kami ada 4 macam. Kalau diurutkan dari yang paling besar sebut saja A, B, C dan D. Alhamdulillah yang 3 tetap dari gaji tiap bulan, dan yang 1 tidak tetap dari hasil bisnis kecil-kecilan.  Saya mengaturnya sesuai dengan prinsip syara’ dong, uang suami adalah uang istri, uang istri adalah uang istri. Seru kan? Wkwkwk.

Tool yang saya gunakan adalah 3 rekening bank yang dilengkapi 3 kartu ATM dan 1 kartu kredit. Saya nggak saklek-saklek amat ngaturnya, pokoknya dari 4 macam penghasilan itu bisa dipake buat bayar tagihan, belanja, shadaqah, tabungan. Satu rekening sebagai rekening tabungan, dan dua rekening buat bayar tagihan, belanja, shadaqah.

Oya, Mas Dani tidak mengizinkan untuk berhutang. Katanya kalau pengen beli sesuatu tapi nggak mampu, nabung dulu, jangan kredit. Kartu kredit yang saya pegang sekarang pun sebenernya nggak niat bikin. Dulu gara-gara tante kejar setoran nyari nasabah kartu kredit aja akhirnya gueh jadi korban. Sejauh ini kartu kredit baru dipakai dua kali, buat beli tiket (urgent soalnya, nggak punya mbanking dan butuh tiket cepet) dan buat beli makan McD (gara-gara penasaran pengen nyoba promonya). Habis ini saya berniat menonaktifkan tuh kartu soalnya nggak nyaman pakenya, kayak punya hutang gitu (ya memang ngutang sih).

Pas awal bulan, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah bersyukur. Alhamdulillah gajian. Lalu langsung ke mall, ngabisin gaji hehehe. Nggak lah.

Yang pertama harus diberesin adalah tagihan. Kami belum banyak tagihan sih. Arisan juga termasuk tagihan kan ya? hahaha. Duh emak-emak sukanya arisan.

Kalau sudah, yang kedua adalah shadaqah. Untuk shadaqah, saya rutinkan tiap bulan bayar ke NH yang kolektif dari kantor. Buat teman-teman yang merasa kurang menemukan ladang shadaqah, saya saranin pakai lembaga amil zakat semacam NH, Dompet Dhuafa, YDSF, dan lain-lain, kalau bisa yang ada layanan ambil di kantor biar nggak ada ceritanya lupa. Mau langsung menyalurkan ke panti asuhan atau kaum dhuafa di sekitar kita juga baik.

Yang ketiga adalah tabungan. Mumpung belum punya anak dan belum punya tanggungan besar, saya alokasikan dana buat menabung yang cukup banyak, minimal 40% dari penghasilan. Saya bedain jadi dua tabungan : tabungan buat umroh dan anak. Nggak perlu rekening khusus kok buat nabung umroh, pokoknya niat yang kuat aja. Kalau buat anak ini maksudnya dana yang disiapkan buat menyambut kedatangan anak kita kelak. Misal nih, tiba-tiba pas saya melahirkan anak nanti, ada sesuatu hal yang urgent yang butuh biaya besar, nah uang dari tabungan itu bisa diambil.

Kalau udah beres semua, baru sisanya dipake buat belanja. Saya kasih ke Mas Dani uang bensin dan jajan sehari-hari secara bertahap. Misal minggu pertama saya kasih Rp. 200.000. Ntar akhir minggu saya cek dompetnya, masih sisa berapa. Trus saya tambahin sampai Rp. 200.000 lagi. Kalau mau beli apa-apa diluar bensin+jajan, dia minta ke saya. Pasti saya kasih kok kalau alasannya nggak terlalu aneh dan uangnya masih ada. Hahaha. Oya, dia juga pegang mbanking. Jadi kalau kepepet bisa dia pake, dan selalu saya cek tentunya. Jadi kalau liat saya pegang hp Mas Dani, itu bukan berarti saya liat history chatnya, tapi liat mbankingnya wkwk. Belanja yang rutin paling bahan makanan, kosmetik, pulsa, biaya pulang ke Malang dan ke Nganjuk. Lainnya lebih sering bersifat impulsif. Kayak tiba-tiba ada yang jual kerudung di kantor, tiba-tiba ada diskon tas, dan semacamnya. Kan sayang ya kalau nggak dibeli. Hahaha. Dasar emak-emak.

Yang bikin saya susah mengendalikan keuangan sebenarnya adalah sifat kami berdua yang suka iri-irian dan sama-sama bookworm.

Kalau dia tiba-tiba beli buku baru, saya iri.

“Tuh kan beli buku lagi, aku kan juga ada buku yang aku pengenin.”

“Yaudah ayo beli.”

Akhirnya saya juga beli.

Trus kalau saya yang beli buku baru, dia iri.

Gitu aja terus sampai rak buku di kamar udah padat penduduk.

Lalu apakah saya berhasil dengan cara mengatur keuangan seperti di atas?

Kadang iya, kadang enggak. Masih sering kebobolan sih hahaha, tapi alhamdulillah Allah masih menjamin rezeki kami.
Read More
      edit

Thursday, October 12, 2017

Published 8:58 PM by with 0 comment

A Marriage Life #3 : Rasanya Punya Teman Hidup


Sini aku ceritain rasanya punya teman hidup.

Dulu aku pernah berdoa, “Ya Allah, beri aku teman. Teman yang menemaniku di saat senang dan susah. Teman yang mengerti diriku. Teman yang bisa membuat diriku lebih baik. Teman yang menyayangiku dan menyayangiMu.”

Kenapa berdoa seperti itu? Iya, sejujurnya dulu aku seringkali kesepian. Dulu aku seringkali harus menunjukkan effort lebih untuk berteman atau bertemu dengan teman. Jadi bisa bayangkan gimana rasanya aku ketika punya teman hidup? :)

Hidupku banyak berubah. Dari yang apa-apa sendiri, sekarang apa-apa berdua. Dari yang memilih asyik dengan pikiran sendiri, sekarang lebih senang berbagi pikiran.

Sejak bangun tidur, baru melek, yang aku lihat adalah si hubby. (please jangan baper, please)

“Bangun, sayang…” gitu biasanya aku membangunkan, sambil pegang lengannya. Padahal dulu mana pernah aku bangunin orang, yang ada aku selalu berpesan ke orang serumah, “besok bangunin aku jam 5 yaa.”

Terus bangun pagi, turun ke dapur, masak, bikin susu coklat. Masaknya rada bener pula, ada sayurnya. Biasanya tinggal makan aja males, sekarang pakai masak. Si hubby pas awal-awal bilang, “nggak usah repot-repot masak tiap hari, aku udah biasa kok makan sembarangan.” Yah begitulah mantan anak kos. Aku mana tega tiap hari makan beli di luar, banyak micinnya. Huhuhu. Maka aku berjuang, walaupun nggak bisa-bisa banget, masak yang sehat untuk hubby. Terutama di hari Sabtu, waktu aku libur dan dia masuk kerja.

Berangkat kerja pun sekarang ada yang nganterin! Wow. Aku berangkat kerja dari rumah ke tempat parkir bus karyawan, terus naik bus itu sampai ke kantor. Soalnya jaraknya lumayan jauh sih. Surabaya-Sidoarjo (segini doang jauh?). Daripada motoran sendiri, mending pakai fasilitas bus karyawan kan ya. Jadi hubby nganterin ke tempat parkir bus itu. Terus sore dia jemput di situ juga. Lama-lama dia membentuk Serikat Suami-Suami Jemput Istri di Darmokali (tempat parkir busnya di Jalan Darmokali. Red) bersama dengan suami-suami lain yang berjajar menunggu di depan tempat parkir bus.

Tiap mau keluar rumah sendirian, ada yang wajib dipamitin. Pamitnya harus bener, nggak bersifat notif doang. Kalau sama orang tua kan paling notif doang kayak gini,

“Mah, aku nanti pulang malem.”

“Yah, besok aku nonton konser.”

Trus tanpa nunggu respon dari orang tua, kita langsung aja cus pergi.

Sedangkan kalau sama si hubby, pamitnya harus gini,

“Bi, aku mau ke Lotte jam 11. Boleh?”

“Bi, besok aku seminar jam 8. Boleh? Kamu anterin apa berangkat sendiri?”

Kalau dijawab “iya” atau “boleh” baru kita pergi. Gitu buk ibuk. Kalau pamitnya lewat chat, terus dia nggak segera baca, yaudah diem aja dulu di rumah sampai dijawab “iya”.

Nah, cara ngakalinnya adalah pagi-pagi sebelum dia keluar rumah, aku langsung merapel ijin, “Bi, aku nanti ke pasar jam 7, terus keluar lagi ke Lotte jam 10, terus mau makan siang sama temen-temen di tempat makan biasanya. Boleh?”

Paling dalam hati dia bilang, “banyak amat acaranya.” Hahaha.

“Boleh, tapi waktu aku pulang, kamu udah di rumah ya.”

Yes sir!

Tapi jangan dipikir kehidupan rumah tangga selamanya mulus. Nggak selamanya sweet. Ada kalanya kami menunjukkan ego masing-masing yang sama gedenya, maklum masih muda. Pernah juga berantem, ngambek-ngambekan, ditambahin backsound dikit aja udah mirip kayak sinetron Indonesia. Biasa itu mah. Dan ujung-ujungnya dia yang ngalah. Huhuhu, it’s my big big personality problem sih ya, nggak pernah mau ngalah. Maunya menang mulu. Untunglah punya hubby yang rela mengalah kayak gini, dan sedikit banyak ngajarin buat lebih menurunkan ego, menahan emosi, tenang menghadapi masalah, sabar.

Entah apapun masalahnya, aku lebih suka melihat kehidupan rumah tangga ini dari sisi positifnya aja. Seperti kata Salim A. Fillah,

Setiap orang ibarat bulan
Memiliki sisi kelam
Yang tak pernah ingin ia tunjukkan pada siapa pun
Pun sungguh cukup bagi kita
Memandang sejuknya permukaan bulan
Pada sisi yang menghadap ke bumi

Sejuk kan kalau bisa kayak gitu? Sejuk seperti Surabaya… beberapa bulan yang lalu. Bukan Surabaya yang sekarang, 36-38 derajat celcius. Sampai air kran aja anget. Maigad!

Mulai deh ngelantur. Sebaiknya kita akhiri sampai sini dulu yah. Hihihi.
Read More
      edit

Saturday, May 13, 2017

Published 1:38 PM by with 0 comment

Ya Harus Kasihan... #meracau



Ini sebagian dari brainstorming dengan suami kemarin. Brainstorming yang kulakukan demi mendinginkan kepala dan mengembalikan energi yang banyak tersedot di isu politik dan agama yang membuat jengah ini.

“Bi, kalau melihat nonmuslim membela si A sih aku maklum, Bi. Itu sudah sewajarnya. Tapi terhadap muslim yang berada di pihak si A, kita harus gimana ya, Bi?”

“Ya harus kasihan, say...” jawabnya menggantung.

“Kasihan gimana? Bahkan ada yang sampai hati mengolok-olok agamanya sendiri demi membela si A lho, Bi. Yang sentimental bahkan sampai nangis-nangis.”

“Iya aku juga jadi pengen nangis. Nangis karena kasihan sama mereka. Kasihan mereka mungkin nggak dapat pendidikan agama yang cukup. KTP-nya Islam, sudah lumayan dikasih Allah agama Islam sejak dia lahir, tapi belajar agama Islam hanya di permukaannya saja. Mungkin juga mereka dibesarkan di tengah masyarakat Islam yang pendidikannya menengah ke bawah. Tau kan, say? Kayak golongan yang pernah kita lihat dari dekat barusan. Terus mereka jadi malu karena profil muslim yang mereka lihat terbatas pada muslim yang kurang berpendidikan, aqidahnya jelek, akhlaknya jelek. Mereka jadi malu sama agamanya sendiri. Kemudian dia melihat golongan orang yang membela A berpendidikan, tajir, nah jadinya mereka lebih suka ikutan membela si A. Digiring sama opini untuk membela pihak yang menghina agama mah oke-oke aja mereka.”

Lalu muncul rasa iba di benakku, yang mungkin sama seperti yang dirasakan suamiku.

“Kita harus kasihan, say,” ulangnya.

Kadang ngomong sama dia berasa chatting sama online shop, manggilnya pakai ‘say’.

“Orang di tempat kerjaku ada yang kayak gitu sih, Bi. Dia berasal dari daerah yang kayaknya masyarakatnya nggak pinter-pinter amat agamanya, ngajinya juga setengah-setengah, ibadah sunnah yang dilakukan juga nggak berdasarkan dalil yang shahih. Ah, dia mana tau apa itu shahih. Mmmm secara aqidah juga kadang keliatan baik, kadang nggak. Trus dia suka baca berita di akun-akun medsos dan media yang kebetulan memang bertujuan menyesatkan pemahaman orang yang ngajinya setengah-setengah gitu. Jadi nggak heran kalau sekarang dia sentimental ngebelain orang yang menghina agamanya sendiri.” jelasku dengan nada iba, “Ciyan ya, Bi. Tadinya aku pengen marah, tapi setelah kamu bilang kasihan, aku jadi ikut kasihan.”

Aku dan suamiku merasa beruntung hidup di tengah keluarga dan masyarakat yang berpendidikan, secara agama, pengetahuan dan keyakinannya lumayanlah untuk membentengi diri dari kesesatan media, menghindari bid’ah dalam beribadah, dan dikelilingi masjid-masjid yang syiarnya aktif. Alhamdulillah. Kalau nggak, mungkin kami akan sama tersesatnya.

“Trus mereka, orang-orang Islam yang membela si A itu, termasuk orang yang kita perangi tidak di hari akhir nanti?”

Seperti kita tau, salah satu tanda dari hari akhir adalah ketika umat Islam diserang dari segala arah namun malah sedang kuat-kuatnya, dan nantinya orang-orang yang beriman bersama Imam Mahdi akan memerangi pasukan orang-orang kafir, dengan menggunakan tombak dan pedang. Ini kami pelajari di Kajian Akhir Zaman. Maaf saat itu kami tidak mencatat sumbernya, tapi insyaallah hadist shahih.

“Manusia akan dikumpulkan dengan kekasihnya, say. Jadi, ya, mereka akan bersatu dengan orang kafir yang mereka senangi itu. Yah, setidaknya mulai sekarang kita tau siapa yang akan kita perangi di hari akhir nanti, bukan hanya yang jelas-jelas tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga yang mengaku beriman tapi membelot keluar lingkaran kita.”

Aku terbelalak dengan mulut ternganga sambil memegangi kedua pipi, kayak gayanya Kevin di film Home Alone. Aku melihat sekeliling dan menandai secara tak kasat mata orang-orang yang termasuk di pihak itu.

Tsabit qalbi ‘alaa ta’atik, Ya Allah.
Read More
      edit