(Ceritaku tentang Proses Jatuh Bangun Menghadapi PMDK-PMDK Universitas)
Everything’s going surprisingly
There was a time when I was down and began to cry
There was a time when I had to get up from the failure
That’s the time I know that life is not easy anymore…
Ini cerita tentang keterpurukan dan kerapuhan hati seorang anak usia tanggung yang waktu itu masih umur 16 tahun. Ceritanya tentang kegagalan, keberhasilan dan perjuangan yang menggemparrrkaaann… (halah, opo ae)
Sebenernya aku udah berkali-kali ngerasain gagal, tapi nggak seberapa ngerasain sih, soalnya cuma kegagalan-kegagalan kecil yang nggak sudi bikin aku down. Kayak gini contohnya: nem waktu SMP kalah bagus sama temen-temen sekelas; gagal nawar harga barang di pusat perbelanjaan (gara-gara nawar nggak pake aturan.haha); gagal nyontek; gagal bikin kue; gagal nyampek ke tempat tujuan (a.k.a nyasar); gagal koneksi internet; sampe gagal ngirim sms (kehabisan pulsa). Bener-bener kegagalan-kegagalan nggak penting. Kalo dibikin daftar kegagalan, mungkin panjangnya sama kayak jembatan Suramadu (perkiraan ngawur).
Ada satu pengalaman tentang kegagalan yang masih aku inget. Begini ceritanya..
Waktu itu aku dan temen-temen kelas XII lainnya memasuki semester 6 yang merupakan semester akhir di SMA. Berarti udah waktunya kita siap-siap menghadapi UNAS dan menentukan pilihan jurusan kita di kuliah nantinya. Saat itu pula kita mulai sibuk daftar PMDK ini dan itu. Aku sendiri daftar PMDK Prestasi Universitas S, B dan A. Itulah mengapa aku jadi sering ngeksis di BK, TU dan ruang guru untuk ngurusin rapor yang merupakan syarat utama daftar PMDK. Tiap hari aku bolak-balik ke ruang-ruang penting itu buat minta keterangan peringkat di wali kelas, surat keterangan, legalisir rapor dan piagam, atau sekedar ngadem di ruang ber-AC (hehehe). Selain itu juga harus daftar online, bayar di bank, bla bla bla. Berkas-berkas PMDK pun segera dikirim secara kolektif dari sekolah.
Perjuangan tak berhenti sampe di sana. Aku harus ikut tesnya Universitas A dan S, kalo B sih enak nggak pake tes. Yang paling awal tes tulis dan wawancara S. Kebetulan jurusan yang aku pilih adalah Pendidikan Bahasa Inggris, makanya selain tes TPA, ada juga tes reading&grammar, yang jadi momok adalah TES WAWANCARA. Brrr...apalagi beberapa saat sebelum tes ada orang geje bilang tes wawancaranya ntar speech alias pidato dalam bahasa Inggris. Wow, kejutan! Jangankan pidato, tanya-jawab biasa aja aku gelagapan. Tapi ternyata itu cuma kabar geje dari orang geje. Nggak ada speech, cuma ditanyain hal-hal yang remeh-temeh kayak anak SD.
Dan saat pengumuman hasil tes PMDK S...
Aku nggak keterima. Devi dan Injar yang keterima. Hari itu juga, aku cabut ke kantor BAAK sebuah institut, ngumpulin berkas PMDK Reguler yang menjadi cadangan selanjutnya. Seingetku setelah ngumpulin berkas sama Devi, kita langsung ke sekolah. Aku lupa waktu itu hari apa, pokoknya temen-temen di kelas lagi nyantai banget. Anak-anak cowok malah asyik maen di rumah Ocid, tinggal beberapa doank yang masih bertahan di kelas.
Aku menampakkan ekspresi suramku. Dengan suara kayak anak kecil merajuk minta permen kayak biasanya, aku curhat ke semua orang yang ada. ”Aku nggak keterimaaa..”. Tapi aku masih bisa ketawa ngeliat cara Dharu nyemangatin. Dia pura-pura telpon di depanku sambil nyalah-nyalahin S gara-gara nggak nerima aku dengan gayanya yang khas. Gyahahaha. Dan dengan yakin anak itu bilang,”udah, nyante aja. Tempatmu di A kamu itu.” Hggh, as my logic works, sifat pesimis mulai mendominasi. “Yang ini aja kagak keterima, apalagi yang standarnya lebih tinggi?!” begitulah aku berpikir.
Nggak cuma Dharu. Ada Putri yang bilang dengan sok santai, ”berarti bukan takdirnya di S.” Padahal dia sendiri juga nggak keterima. Trus Deny yang sejak awal punya feeling aku nggak keterima di sana pun ngasih semangat setelah aku melampiaskan kekesalanku. Hahaha. Dimas malah bilang, ”udah ah, nggak usah dipikirin” (grrr, gimana bisa nggak dipikirin??)
Aku cukup down – tapi masih ”cukup”, belum ”sangat”. Masih ada sisa-sisa prasangka baik dalam hati.
Next stop : PMDK Prestasi B.
Sejak seminggu setelah pendaftaran, aku nggak berminat lagi dengan universitas itu karena uang pangkalnya tak seperti yang aku bayangkan. Mahal euy. Padahal udah jalur PMDK paling murah di sana. Apalagi B lokasinya di luar kota Surabaya dan pamornya juga nggak seberapa cling. Apalagi jurusan yang aku pilih masih baru, nggak ada akreditasinya. Apalagi aku daftarnya secara ilegal tanpa restu keluarga. Apalagi tanda tangan ortu di formulir pendaftaran aku palsuin (hehe, damai… aku jangan dimarain yaa). Apalagi…. Apalagi… (banyak banget apalaginya). Tapi gimanapun, aku masih berharap.
Dan pengumuman B pun segera terbit di internet.
Waktu pengumuman di internet itu ada, aku dan teman-teman masih di sibuk Ujian Akhir Semester 6 (kalo nggak salah). Aku, Monta, Windy, Devi ngeliat pengumuman itu lewat hpnya Monta pas istirahat. Hasilnya... Monta keterima di Perikanan, Windy keterima di Agribisnis, Devi keterima (lagi) di Agroekoteknologi dan Maya keterima di Kedokteran Hewan. Sedangkan aku? Nggak keterima lagi...
Ok, I was trying to look so fine in my friends and family’s seeing, but it was definitely NOT FINE when I was fallin’ in front of Allah.
Aku down. Aku mulai menganggap ini semua nggak adil buatku. Dengan arogan aku mulai mempertanyakan, “kurang apa nilai-nilaiku dibandingkan mereka yang keterima itu?” Cih, jujur banget aku nulisnya di sini. Hehehe. Tapi sejak itu, meskipun masih sering protes dan nggak terima, aku belajar untuk ikhlas menerima apapun keputusan yang diberikan Allah untukku. Dan diam-diam aku memutus hubungan dengan mimpi-mimpiku (ouh, dalem bangeet kata-katanya).
Satu hal yang aku tau : gagal itu sakiiitt.
Last stop : PMDK Prestasi A.
Dari beberapa PMDK yang aku ikuti, yang ini nih yang paling prestisious. Yang boleh ikut cuma yang ranking 5 besar di kelas dan yang punya prestasi.
Step 1 : Seleksi Administratif. Ah, gampang lolosnya. Yang penting memenuhi syarat yang barusan aku sebutin tadi, lolos deh.
Step 2 : Ujian tulis. Duoorrr, ini nih yang seyem. Saingannya nggak maen-maen, terutama di pilihan jurusan favorit kayak Kedokteran dan Akuntansi.
So, how did I do?
Pra-tes…
Aku ngurusin segala tetek bengek pendaftaran ujian tulis bareng Ben. Aku pilih IPC, sama kayak Ben (ikut-ikut aja). Nggak gampang bagiku menentukan pilihan jurusan ke-1 sampe 4. Akhirnya, karena aku ngikutin saran Mama, pilihan pertamaku Farmasi. Padahal aku ngebet banget sama Sasing waktu itu, tapi aku taruh pilihan kedua.
Nggak gampang juga bagiku untuk bangkit dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. Masih berasa sakitnya. Aku mulai gentar sama Ujian Tulis A. Rasanya kepalaku berkabut kalo kepikiran masalah ini. Bolak-balik ke BK buat curhat pun nggak ngefek, malah dihantui sama kenyataan bahwa peluangnya dikiiit banget buat keterima di A. Untung aku punya pemandu sorak terbaik di dunia, yang selalu siap menyemangati aku, yaitu sahabat-sahabatku :D
Aku menjadi sangat down kira-kira seminggu sebelum tes. Aku minder liat keyakinan anak-anak lain yang juga ikut PMDK ini. Hampir tiap malem aku berdoa sampe sujud-sujud kepada Allah. Total waktu berdoa dalam sehari mengalahkan waktu belajarku. Mataku sembap kayak zombie gara-gara kebanyakan nangis bombay dan kurang tidur. Tapi aku mulai menikmati alur cerita yang dibikinin Allah ini. Aku menikmati begadang tiap malem selama seminggu; nggak mikirin Ujian Sekolah yang waktu itu lagi booming (cuma mengandalkan contekan dan google); belajar soal-soal SNMPTN pertama kalinya, IPC pula; dan mata yang kayak zombie itu pun membuat aku semakin menarik (hoek).
Dan, tahukah Anda? Cheerleaders-ku beraksi di saat-saat kejatuhanku itu. Aku curhat lewat sms, lengkap dengan ”hiks hiks” dan emoticon nangis yang mendramatisir. Mereka pun menanggapinya dengan dramatis pula. Hehehe. Ada Lidya, Leli, Ateng, Dharu, dan kawan-kawan lainnya yang gembar-gembor nyemangatin anak hopeless stadium akhir ini. Apapun yang mereka katakan, intinya mereka yakin kalo aku pasti bisa! Aku heran, kok bisa seyakin itu yaa? Aku sendiri nggak yakin bakal keterima. Padahal mereka juga tau ada yang lebih tekun dan rajin belajarnya daripada aku untuk mempersiapkan tes A ini. Tapi mereka tetep yakin. Itulah yang bikin aku terharu dan bersyukur memiliki mereka. Akhirnya aku bertekad untuk membuktikan keyakinan mereka! Huahahahahahahaha (tawa setan).
Pasca tes...
Aku bener-bener ngerasain PASRAH setelah tes. Sungguh, pasrah yang nggak dibuat-buat. Hatiku plong. Aku nggak berdoa sambil merajuk-rajuk rada maksa lagi, tapi aku pasrah... apapun hasilnya aku terima. Aku dengan gampang melupakan soal-soal gak masuk akal itu. Bahkan aku nggak peduli waktu ada yang pamerin kebisaannya dalam tes kemaren.
The miracle of Allah works...
Sore itu, tiga hari setelah tes, aku kebangun dari tidur siangku karena sms dari Ben. Isinya ngasih tau kalo hasil tes A udah ada di websitenya. Ben belum liat, tapi aku disuruh liat duluan. Aku yang masih belum bangkit dari hopeless saat itu terpaksa nyuekin smsnya. Dalam hati aku jawab, “ntar aja, masih ngantuk”. Lalu tidur lagi. Then, Monta sms. Isinya kira-kira begini, “Chyn, kmu ktrima Universitas A-nya, tp Farmasi”. Aku langsung melotot. Kali ini nggak aku cuekin. “Sumpe lo?” gitu balesku. Setelah sumpe-sumpe, baru aku meloncat bangun dari kasur meski kaki masih sakit habis ujian praktek lari di KONI, lalu nyalain leptop, konek ke internet, dan… Monta bener. Subhanallah… Tiada daya dan upaya melainkan dari Allah! Akhirnya ada universitas yang mau nerima aku. Universitas A pula. Bukan main… Ucapan congrats pun berdatangan dari mana-mana. Sungguh keberhasilan yang manis.
Jadi inget sebaris syairnya Imam Syafi’i...
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berusaha.
Yaah, kira-kira begitulah pengalaman saya seputar kegagalan. Dari pengalaman itulah saya jadi lebih tabah dan tau cara menyemangati orang lain yang jatuh dalam kegagalan. Maap artikelnya kepanjangan, semoga tetap inspiring buat Anda. Hehehe.
Terima kasih untuk sahabat-sahabatku. Kalian adalah cheerleaders terbaik di dunia. Walaupun kalian nggak bisa bikin formasi piramid yang keren, kalian tetep paling top deh pokoknya. Cheers up!
Jangan takut gagal! Salam Super!
Everything’s going surprisingly
There was a time when I was down and began to cry
There was a time when I had to get up from the failure
That’s the time I know that life is not easy anymore…
Ini cerita tentang keterpurukan dan kerapuhan hati seorang anak usia tanggung yang waktu itu masih umur 16 tahun. Ceritanya tentang kegagalan, keberhasilan dan perjuangan yang menggemparrrkaaann… (halah, opo ae)
Sebenernya aku udah berkali-kali ngerasain gagal, tapi nggak seberapa ngerasain sih, soalnya cuma kegagalan-kegagalan kecil yang nggak sudi bikin aku down. Kayak gini contohnya: nem waktu SMP kalah bagus sama temen-temen sekelas; gagal nawar harga barang di pusat perbelanjaan (gara-gara nawar nggak pake aturan.haha); gagal nyontek; gagal bikin kue; gagal nyampek ke tempat tujuan (a.k.a nyasar); gagal koneksi internet; sampe gagal ngirim sms (kehabisan pulsa). Bener-bener kegagalan-kegagalan nggak penting. Kalo dibikin daftar kegagalan, mungkin panjangnya sama kayak jembatan Suramadu (perkiraan ngawur).
Ada satu pengalaman tentang kegagalan yang masih aku inget. Begini ceritanya..
Waktu itu aku dan temen-temen kelas XII lainnya memasuki semester 6 yang merupakan semester akhir di SMA. Berarti udah waktunya kita siap-siap menghadapi UNAS dan menentukan pilihan jurusan kita di kuliah nantinya. Saat itu pula kita mulai sibuk daftar PMDK ini dan itu. Aku sendiri daftar PMDK Prestasi Universitas S, B dan A. Itulah mengapa aku jadi sering ngeksis di BK, TU dan ruang guru untuk ngurusin rapor yang merupakan syarat utama daftar PMDK. Tiap hari aku bolak-balik ke ruang-ruang penting itu buat minta keterangan peringkat di wali kelas, surat keterangan, legalisir rapor dan piagam, atau sekedar ngadem di ruang ber-AC (hehehe). Selain itu juga harus daftar online, bayar di bank, bla bla bla. Berkas-berkas PMDK pun segera dikirim secara kolektif dari sekolah.
Perjuangan tak berhenti sampe di sana. Aku harus ikut tesnya Universitas A dan S, kalo B sih enak nggak pake tes. Yang paling awal tes tulis dan wawancara S. Kebetulan jurusan yang aku pilih adalah Pendidikan Bahasa Inggris, makanya selain tes TPA, ada juga tes reading&grammar, yang jadi momok adalah TES WAWANCARA. Brrr...apalagi beberapa saat sebelum tes ada orang geje bilang tes wawancaranya ntar speech alias pidato dalam bahasa Inggris. Wow, kejutan! Jangankan pidato, tanya-jawab biasa aja aku gelagapan. Tapi ternyata itu cuma kabar geje dari orang geje. Nggak ada speech, cuma ditanyain hal-hal yang remeh-temeh kayak anak SD.
Dan saat pengumuman hasil tes PMDK S...
Aku nggak keterima. Devi dan Injar yang keterima. Hari itu juga, aku cabut ke kantor BAAK sebuah institut, ngumpulin berkas PMDK Reguler yang menjadi cadangan selanjutnya. Seingetku setelah ngumpulin berkas sama Devi, kita langsung ke sekolah. Aku lupa waktu itu hari apa, pokoknya temen-temen di kelas lagi nyantai banget. Anak-anak cowok malah asyik maen di rumah Ocid, tinggal beberapa doank yang masih bertahan di kelas.
Aku menampakkan ekspresi suramku. Dengan suara kayak anak kecil merajuk minta permen kayak biasanya, aku curhat ke semua orang yang ada. ”Aku nggak keterimaaa..”. Tapi aku masih bisa ketawa ngeliat cara Dharu nyemangatin. Dia pura-pura telpon di depanku sambil nyalah-nyalahin S gara-gara nggak nerima aku dengan gayanya yang khas. Gyahahaha. Dan dengan yakin anak itu bilang,”udah, nyante aja. Tempatmu di A kamu itu.” Hggh, as my logic works, sifat pesimis mulai mendominasi. “Yang ini aja kagak keterima, apalagi yang standarnya lebih tinggi?!” begitulah aku berpikir.
Nggak cuma Dharu. Ada Putri yang bilang dengan sok santai, ”berarti bukan takdirnya di S.” Padahal dia sendiri juga nggak keterima. Trus Deny yang sejak awal punya feeling aku nggak keterima di sana pun ngasih semangat setelah aku melampiaskan kekesalanku. Hahaha. Dimas malah bilang, ”udah ah, nggak usah dipikirin” (grrr, gimana bisa nggak dipikirin??)
Aku cukup down – tapi masih ”cukup”, belum ”sangat”. Masih ada sisa-sisa prasangka baik dalam hati.
Next stop : PMDK Prestasi B.
Sejak seminggu setelah pendaftaran, aku nggak berminat lagi dengan universitas itu karena uang pangkalnya tak seperti yang aku bayangkan. Mahal euy. Padahal udah jalur PMDK paling murah di sana. Apalagi B lokasinya di luar kota Surabaya dan pamornya juga nggak seberapa cling. Apalagi jurusan yang aku pilih masih baru, nggak ada akreditasinya. Apalagi aku daftarnya secara ilegal tanpa restu keluarga. Apalagi tanda tangan ortu di formulir pendaftaran aku palsuin (hehe, damai… aku jangan dimarain yaa). Apalagi…. Apalagi… (banyak banget apalaginya). Tapi gimanapun, aku masih berharap.
Dan pengumuman B pun segera terbit di internet.
Waktu pengumuman di internet itu ada, aku dan teman-teman masih di sibuk Ujian Akhir Semester 6 (kalo nggak salah). Aku, Monta, Windy, Devi ngeliat pengumuman itu lewat hpnya Monta pas istirahat. Hasilnya... Monta keterima di Perikanan, Windy keterima di Agribisnis, Devi keterima (lagi) di Agroekoteknologi dan Maya keterima di Kedokteran Hewan. Sedangkan aku? Nggak keterima lagi...
Ok, I was trying to look so fine in my friends and family’s seeing, but it was definitely NOT FINE when I was fallin’ in front of Allah.
Aku down. Aku mulai menganggap ini semua nggak adil buatku. Dengan arogan aku mulai mempertanyakan, “kurang apa nilai-nilaiku dibandingkan mereka yang keterima itu?” Cih, jujur banget aku nulisnya di sini. Hehehe. Tapi sejak itu, meskipun masih sering protes dan nggak terima, aku belajar untuk ikhlas menerima apapun keputusan yang diberikan Allah untukku. Dan diam-diam aku memutus hubungan dengan mimpi-mimpiku (ouh, dalem bangeet kata-katanya).
Satu hal yang aku tau : gagal itu sakiiitt.
Last stop : PMDK Prestasi A.
Dari beberapa PMDK yang aku ikuti, yang ini nih yang paling prestisious. Yang boleh ikut cuma yang ranking 5 besar di kelas dan yang punya prestasi.
Step 1 : Seleksi Administratif. Ah, gampang lolosnya. Yang penting memenuhi syarat yang barusan aku sebutin tadi, lolos deh.
Step 2 : Ujian tulis. Duoorrr, ini nih yang seyem. Saingannya nggak maen-maen, terutama di pilihan jurusan favorit kayak Kedokteran dan Akuntansi.
So, how did I do?
Pra-tes…
Aku ngurusin segala tetek bengek pendaftaran ujian tulis bareng Ben. Aku pilih IPC, sama kayak Ben (ikut-ikut aja). Nggak gampang bagiku menentukan pilihan jurusan ke-1 sampe 4. Akhirnya, karena aku ngikutin saran Mama, pilihan pertamaku Farmasi. Padahal aku ngebet banget sama Sasing waktu itu, tapi aku taruh pilihan kedua.
Nggak gampang juga bagiku untuk bangkit dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. Masih berasa sakitnya. Aku mulai gentar sama Ujian Tulis A. Rasanya kepalaku berkabut kalo kepikiran masalah ini. Bolak-balik ke BK buat curhat pun nggak ngefek, malah dihantui sama kenyataan bahwa peluangnya dikiiit banget buat keterima di A. Untung aku punya pemandu sorak terbaik di dunia, yang selalu siap menyemangati aku, yaitu sahabat-sahabatku :D
Aku menjadi sangat down kira-kira seminggu sebelum tes. Aku minder liat keyakinan anak-anak lain yang juga ikut PMDK ini. Hampir tiap malem aku berdoa sampe sujud-sujud kepada Allah. Total waktu berdoa dalam sehari mengalahkan waktu belajarku. Mataku sembap kayak zombie gara-gara kebanyakan nangis bombay dan kurang tidur. Tapi aku mulai menikmati alur cerita yang dibikinin Allah ini. Aku menikmati begadang tiap malem selama seminggu; nggak mikirin Ujian Sekolah yang waktu itu lagi booming (cuma mengandalkan contekan dan google); belajar soal-soal SNMPTN pertama kalinya, IPC pula; dan mata yang kayak zombie itu pun membuat aku semakin menarik (hoek).
Dan, tahukah Anda? Cheerleaders-ku beraksi di saat-saat kejatuhanku itu. Aku curhat lewat sms, lengkap dengan ”hiks hiks” dan emoticon nangis yang mendramatisir. Mereka pun menanggapinya dengan dramatis pula. Hehehe. Ada Lidya, Leli, Ateng, Dharu, dan kawan-kawan lainnya yang gembar-gembor nyemangatin anak hopeless stadium akhir ini. Apapun yang mereka katakan, intinya mereka yakin kalo aku pasti bisa! Aku heran, kok bisa seyakin itu yaa? Aku sendiri nggak yakin bakal keterima. Padahal mereka juga tau ada yang lebih tekun dan rajin belajarnya daripada aku untuk mempersiapkan tes A ini. Tapi mereka tetep yakin. Itulah yang bikin aku terharu dan bersyukur memiliki mereka. Akhirnya aku bertekad untuk membuktikan keyakinan mereka! Huahahahahahahaha (tawa setan).
Pasca tes...
Aku bener-bener ngerasain PASRAH setelah tes. Sungguh, pasrah yang nggak dibuat-buat. Hatiku plong. Aku nggak berdoa sambil merajuk-rajuk rada maksa lagi, tapi aku pasrah... apapun hasilnya aku terima. Aku dengan gampang melupakan soal-soal gak masuk akal itu. Bahkan aku nggak peduli waktu ada yang pamerin kebisaannya dalam tes kemaren.
The miracle of Allah works...
Sore itu, tiga hari setelah tes, aku kebangun dari tidur siangku karena sms dari Ben. Isinya ngasih tau kalo hasil tes A udah ada di websitenya. Ben belum liat, tapi aku disuruh liat duluan. Aku yang masih belum bangkit dari hopeless saat itu terpaksa nyuekin smsnya. Dalam hati aku jawab, “ntar aja, masih ngantuk”. Lalu tidur lagi. Then, Monta sms. Isinya kira-kira begini, “Chyn, kmu ktrima Universitas A-nya, tp Farmasi”. Aku langsung melotot. Kali ini nggak aku cuekin. “Sumpe lo?” gitu balesku. Setelah sumpe-sumpe, baru aku meloncat bangun dari kasur meski kaki masih sakit habis ujian praktek lari di KONI, lalu nyalain leptop, konek ke internet, dan… Monta bener. Subhanallah… Tiada daya dan upaya melainkan dari Allah! Akhirnya ada universitas yang mau nerima aku. Universitas A pula. Bukan main… Ucapan congrats pun berdatangan dari mana-mana. Sungguh keberhasilan yang manis.
Jadi inget sebaris syairnya Imam Syafi’i...
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah lelah berusaha.
Yaah, kira-kira begitulah pengalaman saya seputar kegagalan. Dari pengalaman itulah saya jadi lebih tabah dan tau cara menyemangati orang lain yang jatuh dalam kegagalan. Maap artikelnya kepanjangan, semoga tetap inspiring buat Anda. Hehehe.
Terima kasih untuk sahabat-sahabatku. Kalian adalah cheerleaders terbaik di dunia. Walaupun kalian nggak bisa bikin formasi piramid yang keren, kalian tetep paling top deh pokoknya. Cheers up!
Jangan takut gagal! Salam Super!