Aku sedang melipat jas lab yang
baru saja aku lepas ketika segerombolan teman-teman cewek lewat dan kami
ber-hey-hey ria.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Mau makan,” jawab seseorang
mewakili.
“Oh, ati-ati yaa.”
“Iyaa.. daah, Chynti!”
Aku melambaikan tangan sambil
nyengir. Ujung mataku menangkap sesuatu yang berbeda di wajah mereka, pengen
komentar sesuatu tapi nggak tau harus komentar gimana. Aku mengulum senyum
sendiri. Setelah memasukkan jas lab ke tas, aku berjalan cepat ke kantin, laper
juga. Yang bilang mau makan tadi nggak ngajak-ngajak sih, padahal kalau diajak,
aku mungkin mau. Hahaha, ngarep banget. Ini belum jam makan siang, tapi kok
sudah laper ya? Di kantin, ada lebih banyak gerombolan cewek-cewek dan aku
langsung mengambil tempat di antara mereka. Eh, ternyata ada juga yang bikin
aku mengulum senyum lagi, sama seperti yang tadi. Sejak kapan sih cewek-cewek
ini mukanya jadi kayak gini? Dipoles bedak warna kuning kemerahan setebal lima
centimeter, sedikit blush on pink di
tulang pipi, lalu apa itu namanya yang di kelopak mata? Warnanya ungu-ungu
pudar gitu. Dan yang paling kelihatan banget adalaah bibirnya yang kayak
dikasih cat air itu.
Aku menggigit bibir, kegelian
sendiri, lalu tengok kanan-kiri. Nggak semuanya ber-make up selengkap itu,
makanya agak amazing gimanaaa gitu kalau
ngelihat orang-orang yang mukanya tiba-tiba berwarna berlalu-lalang di sekitar.
“Hari ini ada acara apa?” tanyaku
polos kepada teman yang ber-make up.
“Acara? Nggak ada. Kenapa?” dia
tanya balik dengan heran.
“Oh kirain lagi ada promosi salon
kecantikan.” aku menjawab dalam hati.
Setauku kalau ada yang make up-an
kayak gitu selain ibu-ibu, kemungkinan umumnya ada tiga, dia ada kondangan,
sumpah apoteker atau hari Kartinian. Ã
keliatan banget nggak pernah make up-an.
“Ya wajarlah, namanya juga cewek.
Pasti pengen terlihat cantik.” pendapat seorang temanku yang mukanya masih netral
waktu aku tanya kenapa cewek-cewek lain mukanya pada warna-warni.
“Emang kalau kayak gitu terlihat
cantik?”
“Menurutmu?”
“Enggak, cuma keliatan dia bangun
pagi-pagi banget, trus di depan kaca lama-lama sambil mingkem-mangapin bibir
buat ngepasin warna lipstik.” kataku ngasal, “padahal mereka praktikum jam 7
pagi lho, belain banget sih.”
Temanku tertawa ngakak, “Gitu itu
tergantung pengalaman. Kalau barusan aja belajar pake make up ya emang susah,
tapi kalau sudah terbiasa pasti cepet, tak-tek-tak-tek-jadi
deh!”
“Oh gitu. Emang kalau nggak pake
make up nggak cantik?”
“Cantik kan relatif.”
“Relatif dengan apa? Berarti bisa
dibandingkan dong, kalau pake make up sama nggak pake make up, cantikan mana?”
“Yaa... gimana yaa... Kalau orang
aslinya udah cantik, mau make up-an, mau kagak, tetep aja cantik. Tapi kalau
orang nggak cantik, lalu make up-an, itu namanya usaha biar terlihat cantik.”
“Kenapa kok berusaha terlihat
cantik? Emang kalau mereka berubah jadi cantik trus kenapa? Langsung bisa jadi
artis gitu?”
Dia ngakak lagi, “Ya kali’ aja
pas pulang ke kosan, di jalan ketemu produser video klip Palapa, trus dia
ditawarin jadi model.”
Aku ikutan ngakak.
“Ya kan namanya juga cewek toh,
sudah dewasa, sudah 20 tahunan, pasti sudah ada keinginan terlihat cantik,
menarik perhatian, cari jodoh,” akhirnya dia menjawab serius, “setidaknya
ketika sudah memperbaiki penampilan, cewek berharapnya ada cowok yang tertarik,
lalu suka.”
Aku berhenti ngakak. Keningku
berkerut. Sebelumnya aku nggak pernah berpikir tentang hubungan antara
ketebalan make up dengan jodoh. Mungkin
aku yang kuper, terlalu polos atau ndeso.
Yang jelas aku merasa itu adalah pemahaman yang terlalu dangkal. Kok mau maunya
dinilai dari keterampilan ber-make up? Aku ingin sekali menengok ke cermin saat
itu juga. Sebelum berangkat kuliah, aku hanya memoleskan bedak, itu pun
berantakan, lalu pakai jilbab, menyematkan pin, lalu nyengir sebentar buat
memastikan ada nasi yang nyangkut di behel apa nggak. So simple, hahaha. Beda
bangeeet sama mereka yang pasti bangun lebih pagi dari aku, mematut diri di
depan cermin, kadang sibuk milih-milih produk kosmetik di toko atau katalog. Kalau
bisa dihubungkan secara linear dengan cari jodoh, kasian banget dong gueh.
Well, aku cuma merasa aneh. Entah
aku yang aneh atau mereka yang aneh. Lebih konkretnya, aku nggak paham sama
mereka. It’s okay if they use cosmetic. I
never mind, it’s their own bussiness anyway, but I think it’s really something.
Rasanya ini mengingatkanku bahwa “hey, kita sudah dewasa! Bukan cewek ABG lagi!
Waktunya memperbaiki penampilan”. Kalau penyangkalan klise-nya sih semacam gini
: Memperbaiki penampilan? Kalau akhlak sudah diperbaiki belum? Uhuk. Itu tuh
yang aku beratkan. Jangankan akhlak, akademik aja belum baik... *eh --‘ Tapi
memang, kita sudah dewasa meeen... apa mungkin kalau ber-make up itu seperti
nempel tulisan di jidat ‘gueh wanita dewasa’, gitu? Jadi kalau udah ber-make up
udah nggak boleh main gembot? (siapa juga yang hari gini masih main gembot?
Hahaha).
Mungkin iya, make up itu simbol
kedewasaan wanita bagi sebagian besar orang. Tandanya wanita tersebut pintar
merawat diri. Tapi seorang profesor di kelas Semisolida bilang, “Kalau mau tau
wanita itu pintar merawat diri atau tidak, jangan lihat wajahnya. Kalau wajah
sih mudah diputihin, dimodifikasi. Lihat tangannya. Kalau wajahnya putih tapi
tangannya nggak terawat, berarti belum bisa merawat diri.” Dan aku langsung
menatap tanganku yang belang-belang kayak permen blaster dengan penuh haru.
“Kamu juga boleh kok kalo mau
nyobain make up, hihihi,” celetuk temanku sambil nyubit lenganku.
“Muke gilee... bisa dikirain mbak-mbak
sales rokok gueh ntar, trus orang-orang yang gueh deketin bakal bilang ‘maaf
mbak, saya tidak tertarik dengan produk Anda’,”
“Enggak lah, paling-paling
dikirain badut ulang tahun, “ dia ngakak puas banget.
Ya kaliii, emang aku mau
ngewarnain hidung pake rhodamin B gitu sampe dikirain badut?
Sebenarnya aku salut dengan mereka
yang berani tampil beda dengan make up. Yang kemarin mukanya masih polos, hari
ini berwarna dan semakin fresh. Berarti kan percaya dirinya dapet bangeet. Bener
deh, memperbaiki penampilan. Atau make up-nya itu bikin tambah percaya diri?
Aku nggak tau. Mungkin besok-besok aku akan memujinya dengan “waah, wajahmu
mengalihkan duniaku lhoooo...” atau “wajahmu yang berwarna membuat hidupku
semakin berwarna *tanda titik koma, kurung tutup*”, dan mereka bakalan
tersenyum bahagia atau menjitak-jitak karena merasa digombali orang yang salah.
Hahaha.
Yaah meski agak janggal, kayak lagi
ngomongin kambing berleher panjang, tapi yaa beginilah adanya. Mungkin bakal
ada yang bilang ‘ah norak lu’ ; ‘hari geneee masih nggak tau apa-apa tentang
make up?’, bodo amat. Aku tau banyak tentang kosmetik, bahan-bahan untuk
formulanya, tujuan pemakaiannya, tapi nggak tau alasan wanita-wanita itu begitu
menggandrungi kosmetik. Kalau memang benar tujuannya untuk menarik perhatian
lawan jenis (khususnya untuk wanita muda.red), yaa agak gimanaaa gitu yaa. Make
up kan nggak nempel permanen, takutnya nanti kalau make up-nya dihapus jadinyaa...
Selama nggak berlebihan, it’s okay kali’
yaa. Kalau aku sendiri, sampai sekarang masih nyaman-nyaman aja tanpa make up.
Selain karena make up itu ribet dan nggak bisa pakenya, agak... hmmm... nggak
pede juga :< Sudahlah, make up nggak penting kok sekarang ini, begini aja
sudah oke, yang penting dirawat kesehatan kulitnya. Yang penting mindset-nya
jangan salah, make up itu hanya melengkapi identitas wanita dewasa, bukan
membuat wanita dewasa. Oke? *eh kok jadi sok bijak gini*