Betapa seringnya kini aku mendengar moral disebut-sebut. Sekedar pemanis dalam ocehan belaka atau dibicarakan secara serius dalam ruang kuliah. Aku mengaguminya, dan juga orang-orang yang masih berusaha mengagungkannya. Sesulit apapun keadaannya.
Tentu saja sepenuh hati ku
sadari, betapa hampanya ketika bicara moral ketika diri sendiri kadang – atau
sering – lupa akan esensinya, bahkan terminologinya. Segala macam pembelaan
berusaha menyangkal ketika ada yang mempermasalahkan moral. Dan tak terhitung
berapa kali aku kecewa pada diri sendiri karena melupakannya. Mungkinkah materi
‘moral dan etika’ yang diajarkan di ruang kuliah hanya sekedar teori?
Kita sudah banyak tau tentang
betapa kritisnya keadaan moral bangsa. Bahkan tanpa dijelaskan pun segalanya
sudah jelas. Tak perlu jauh-jauh mencari bukti. Tengok saja di sekeliling.
Mereka yang begini. Mereka yang begitu. Tengok juga diri kita sendiri, betapa
tidak sempurnanya moral kita hingga kita merasa tidak pantas mengingatkan orang
di sekitar kita. Jika semua orang berpikir begitu, sampai nanti-nanti pun akan
tetap sama keadaannya. Jangan kira hanya ustad-ustad di kajian Subuh yang punya
hak untuk mengingatkan hal-hal demikian.
Ah, sudah banyak yang
membicarakan degradasi moral. Bahkan di salah satu kuliah, hal ini sudah
dikupas habis hingga membuat tanganku gatal untuk segera menulis ini. Segalanya
jelas, menjatuhkan moral suatu bangsa merupakan mekanisme paling efektif untuk
menghancurkan bangsa tersebut. Salah satu objeknya adalah tayangan televisi,
yang dari sudut pandang ini merupakan ‘pencipta zona nyaman’ bagi generasi demi
generasi, hingga tak ada yang mau beranjak darinya dan tak mau memikirkan tanah airnya – tempat ia seharusnya
membaktikan diri. Kadang masalah moral terlihat kecil, kadang juga terlihat
besar. Secara teori mudah mengatasinya : matikan saja Tvnya; tutup saja
lokalisasinya; ajarkan aqidah dan moral sejak dini. Namun prakteknya?
Terlalu banyak yang bisa kita
keluhkan. Tapi untuk apa? Seperti halnya bola yang memiliki jumlah sisi tak
terbatas, begitu juga dengan masalah seperti ini. Stagnan pada satu sisi saja
akan membuat pikiran sempit. Ketika kita mencermati sekeliling kita sekali
lagi, aku yakin, kita masih bisa tersenyum bersyukur. Aku sudah mencobanya.
Ketika aku kesal sekali melihat beberapa wanita tidak dapat tempat duduk di
angkutan umum, dan bertambah kesal karena kebanyakan yang duduk adalah pria
yang seharusnya mau mengalah, ternyata masih ada pemuda yang rela berdiri
selama berjam-jam perjalanan agar penumpang yang wanita bisa duduk di
tempatnya. Bukannya berharap yang pria selalu mengalah, tapi bukankah
sebenarnya ada kesadaran untuk menolong? Contoh lainnya adalah ketika area
lokalisasi semakin meluas, ada orang yang berjuang menutupnya dan membangun
peradaban yang lebih baik. Jika masih kurang, coba lihat teman-teman yang
selalu mengucap salam dengan baik, berkata jujur, tersenyum ikhlas. Itu
menandakan bahwa moral masih ada.
Setidaknya kita masih punya
harapan. Kita tidak seratus persen rusak! Orang-orang seperti itulah tumpuan
kita, yang biasanya kita sebut sebagai orang baik. Mungkin jumlah mereka tidak banyak, tapi mereka telah
menjadikan moral sebagai pegangan untuk melakukan apapun dalam hidup mereka.
Itu akan menjadikan diri dan keadaan di sekelilingnya menjadi lebih baik.
Aku begitu yakin bahwa moral
adalah tahapan kritis yang harus dilewati untuk menjadi lebih baik. Melewati
tahapan ini artinya memastikannya berlangsung sempurna untuk menjamin hasil
akhir yang memuaskan. Dan semoga para moral
force bangsa ini tidak lupa akan perannya sebagai quality control tahapan tersebut.
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .