*menghirup nafas panjang*
Aah semester tujuh. Saat yang
tepat menghadapi tekanan demi tekanan dari segala arah. Ini sudah (atau baru) tengah
semester, ujiannya terasa mencekam. Entah aku yang kurang cerdas atau memang
pelajarannya semakin sulit. Tapi ya beginilah Farmasi. Semakin dekat dengan
kelulusan, semakin sulit. Semacam obat yang kalau mau sampai ke reseptor harus
melewati barrier-barrier tubuh. Tidak mudah, tapi dengan usaha formulator dan
teknologi, akhirnya bisa.
Terkadang kalau sedang lelah dan
semangat tersupresi sedemikian rupa hingga terduduk lemas di depan tumpukan
kertas-kertas tugas, aku meraba kembali kenangan-kenangan yang membawaku hingga
ke titik ini. Kenangan itu seperti menjadi zona nyaman yang aku rindukan.
Selalu aku rindukan.
Semester tujuh ini dimulai dengan
sangat indah.
KKN... Kurang lebih satu bulan
menjalaninya di desa Jrebeng, Probolinggo. Benar-benar kenangan tak terlupakan.
Teman-teman sekelompok, Bu Imam, sungai yang indah, suasana desa, anak-anak
kecil kesayangan. Tidak ada habisnya kalau diceritakan. Hidupku bisa dibilang
sempurna saat itu. Segalanya menyusun diri untuk membahagiakanku. Mengusir
penat semester enam. ‘Kabur’ sejenak dari kehidupan kampus. Seperti menjalani
kehidupan di dunia lain yang sangat berbeda dan lepas dari sangkar. Terbang.
Tertawa lepas.
Kemudian Allah memberikan kejutan
: Istanbul! Itu pertama kalinya aku menjejakkan kaki di benua lain. Pertama
kali meninggalkan negeriku. Pertama kali merasakan penerbangan hampir sepuluh
jam. Segalanya serba pertama kali. Aku seperti anak kecil yang mendapatkan
hadiah mainan baru. Menyambut dan menggenggamnya dengan riang. Menikmati setiap
bagiannya. Mengenal teman-teman baru dari berbagai belahan dunia. Dihujani
keramahan saudara seiman. Melangkah di antara jejak kebesaran Islam.
Merentangkan tangan seakan ingin menggenggam semua. Saat menghirup angin dingin
musim gugur, aku menyadari, setelah meninggalkan kota yang indah ini, hidupku
akan banyak berubah.
Kedua hal itu menjadi dua
kepingan besar dalam hidupku. Kepingan yang menyusun nilai-nilai dalam diriku
hingga menjadi seperti saat ini.
Dan benar saja, hidupku banyak
berubah. Ketika semester tujuh dimulai, duniaku sedang tidak stabil. Sempat
terkoyak. Mematahkan energi semester baru yang biasanya aku gejolakkan. Aku
yang tadinya terbang dan tertawa lepas, mendadak tersungkur dan menangis
sejadi-jadinya. Berkomplikasi dengan jetlag yang sering membuatku setengah
sadar di kelas, semester tujuhku hampir tidak ada artinya.
Mungkin ini yang sering dikatakan
orang “hidup itu seperti roda yang berputar”. Hidupku bukan sekedar diputar,
tapi dibanting seratus delapan puluh derajat. Aku kaget dan menangis keras.
Meskipun belum lelah menangis,
tapi aku memutuskan untuk bangkit. Perlahan. Hingga tegak berdiri. Aku menerima
dengan lapang tugas-tugas kuliah yang menyerbu. Memberikan usaha terbaik meski
hati dan pikiran belum tertata rapi seperti sedia kala. Benar-benar perlahan.
Jika merasa tak sanggup, aku bersandar pada-Nya. Maka perlahan juga aku belajar
ikhlas.
“This is life, dear.” begitu kata
Doaa, seorang teman dari Mesir.
Ya, inilah hidup. Hidup yang
berjalan sesuai kehendak Allah. Sejauh ini skenario Allah tak pernah mengecewakan,
maka aku jalani saja.
Satu-dua kekuatan mulai muncul
dan menggantikan lelah. Tapi di sisi lain aku masih membutuhkan waktu untuk
menyembuhkan. Entah berapa banyak, tapi aku yakin akan sembuh. Time would heal.
Dan semester tujuh ini akan penuh
kebahagiaan seperti semester yang sudah-sudah. Aku akan terbang lagi. Tertawa
lepas lagi.
Allah sedang merajutkan kehidupan
terbaik, bukan?
Aku percaya dan sayang Allah
selalu :)
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .