Saturday, December 14, 2013

Published 11:35 PM by with 0 comment

Apoteker, Kau Dimana?




Ketika profesi sejawat yang sudah sangat dikenal masyarakat beberapa waktu lalu resah dengan ketidakjelasan area hukum profesi dan pidana, para farmasis atau lebih dikenal dengan sebutan apoteker tidak merasakan adanya hal tersebut di ranah profesinya. Bagaimana mau merasakan, dikenal oleh masyarakat saja belum.
 
 Sebenarnya profesi apoteker merupakan profesi yang cukup tua di Indonesia. Perundangan yang mengaturnya sudah ada sejak 1966 yang kemudian terus diperbarui hingga sekarang kita dapat melihat definisi Apoteker yang masih berlaku di PP nomor 51 tahun 2009, yaitu apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Definisi itu dibarengi dengan uraian tentang tanggung jawab apoteker dalam pekerjaan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian kemudian diatur dalam Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dan dilanjutkan dengan standar operasional yang mengatur dengan cukup detail mengenai apa saja yang harus dilakukan dan dicapai oleh apoteker dalam menjalankan tugasnya.

Secara teori, apoteker merupakan profesi yang begitu penting. Perannya begitu luas di bidang kesehatan di Indonesia. Peran ini terlihat terutama di bidang pelayanan. Bidang ini menjadi ujung tombak eksistensi apoteker di masyarakat karena di bidang ini apoteker berkesempatan untuk melakukan interaksi langsung dengan masyarakat. Tempat pelayanan kefarmasian utama bagi apoteker adalah apotek, sesuai dengan PP nomor 51 tahun 2009. Dibekali dengan konsep pharmaceutical care yang begitu mulia, seharusnya di sinilah apoteker mendekat dengan masyarakat. Dan seharusnya di sini juga lah apoteker menunjukkan bahwa ia selalu ada untuk melayani kebutuhan informasi obat dan kesehatan bagi masyarakat. Namun kenyataan yang dapat ditemui di kehidupan nyata merupakan ironi dari peraturan perundangan apapun yang pernah dibuat untuk pelayanan kefarmasian. Banyak apotek yang tak ubahnya seperti toko biasa, hanya berbeda pada komoditi yang dijual. Tak ada makna pelayanan. Tak ada pharmaceutical care. Kenyataan ini selalu dipertanyakan oleh calon-calon apoteker yang masih duduk di bangku kuliah. Jika memang seperti itu, untuk apa ada apoteker? Sampai kapan apotek sekedar menjadi ‘toko yang menjual obat’?

Sudah banyak yang menjelaskan berbagai faktor penyebab ironi pelayanan kefarmasian tersebut. Tidak tegasnya hukum yang berlaku, tidak adanya komitmen apoteker, dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi apoteker, semuanya berkontribusi. Memperbaiki keadaan yang memprihatinkan ini tak semudah membalikkan telapak tangan, namun bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan. Mungkin sekali lagi kita harus kembali ke teori-teori falsafah kefarmasian, yang menjelaskan betapa mulianya profesi apoteker di muka bumi ini. Juga mungkin kita bisa mencermati kembali lambang cawan dan ular yang menjadi simbol farmasi. Di tangan apoteker, bahan yang awalnya merupakan racun, diubah sedemikian rupa menjadi  obat yang menyembuhkan. Di tangan apoteker juga, perubahan aktivitas tubuh menjadi lebih baik bisa terjadi. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali apoteker. Karena sifat tak tergantikan inilah maka apoteker layak disebut profesi.

Memang benar, peran apoteker bukan hanya semata-mata di bidang pelayanan. Ada bidang industri dan bidang-bidang lain yang menjadi tempat mengabdi bagi profesi ini. Namun pada prinsipnya, dimanapun bekerja, apoteker bervisi selaras dan dalam jiwanya memegang nilai-nilai yang sama demi memajukan kesehatan bangsa. Maka, apapun yang dilakukan dalam pekerjaan kefarmasian, pasti tak akan jauh dari tujuan ‘meningkatkan derajat hidup masyarakat yang setinggi-tingginya’. Itulah yang membedakan profesi apoteker dari profesi non medis.

Apoteker sendiri yang harus bergerak mengatasi masalah ini. Dengan memperbaiki sistem perundangan, dengan hadir di tempat praktek pelayanan kefarmasian, dengan melakukan pengabdian dalam bentuk yang sesuai untuk masyarakat. Untuk itu, diperlukan kerja sama dan peran aktif para apoteker di berbagai bidang karena ini bukan pekerjaan mudah. Dengan menunjukkan eksistensi, persamaan derajat dengan rekan sejawat profesi kesehatan lain yang sejak dulu dipertanyakan apoteker, juga mungkin bisa tercapai.

Calon apoteker saat ini mungkin terlalu lama terpatri di depan laporan dan jurnal praktikum, sehingga tak pernah mengenal dengan baik profesi yang akan ditekuni nantinya. Juga mungkin karena terlalu percaya pada teori mengenai apoteker ‘seharusnya’ dan mengesampingkan apoteker ‘kenyataannya’, sehingga tidak menyadari besarnya gap antara keduanya. Di tengah berbagai kekhawatiran mengenai tenggelamnya profesi ini, harapan tetap dapat digaungkan.

Dan harapan kita semua sama, yaitu ingin apoteker dikenal oleh masyarakat. Ingin apoteker mengatakan kepada masyarakat, “Saya Apoteker Anda. Anda bisa bertanya apapun mengenai obat kepada saya. Jika Anda bingung memutuskan obat apa yang seharusnya Anda minum, Anda bisa bertanya kepada saya. Jika Anda ragu kapan harus meminum obat, Anda bisa berkonsultasi dengan saya. Kapanpun Anda memerlukan, Anda bisa menghubungi saya. Saya ada untuk melayani Anda. Dan bersama-sama kita akan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.” Dengan begitu, tak ada lagi yang mempertanyakan keberadaan dan kedudukan profesi ini terhadap profesi kesehatan lain.
Bersinarlah, Apoteker Indonesia. Tunjukkan bahwa kau pantas disebut nation’s expert on medicine.

Chyntia Tresna Nastiti
Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
      edit

0 komentar:

Post a Comment

yuuk komen yuuk . . .