Astagaaa tiba juga waktunya untuk
nulis macam ibu-ibu lyfe gini, setelah sekian tahun nulis mellow-mellow lyfe.
Memang ya, tulisan itu ikut bertumbuh bersama jiwa penulisnya. Berhubung
penulisnya sudah (agak) berjiwa ibu-ibu, mari kita samber aja topik ibu-ibu
yang sepertinya banyak dicari, yaitu tentang menunda kehamilan dan promil atau
program hamil yang dua-duanya pernah saya jalani. Kali aja bermanfaat yak. Semoga
yang sudah menikah bisa terinspirasi dan yang belum menikah bisa bertambah
pengetahuannya.
Waktu awal
menikah, saya dan hubby tidak merencanakan segera punya anak. Banyak alasannya,
ada yang kami bicarakan dengan orang lain dan ada pula yang kami sembunyikan. Paling
kalau pas bercanda, saya jawabnya, “kan kita pengen pacaran dulu mumpung masih
muda.” Itu beneran, nggak bohong. Banyak yang mendukung, banyak juga yang
tidak. Kontroversial. Hahaha. Secara kita tinggal di masyarakat yang menjunjung
tinggi nilai-nilai ketimuran, jadi ya wajar kalau ada aja orang yang bilang,
“jangan ditunda ih, nggak baik lho.”, “nanti pamali.” dan lain-lain. Gimanapun
mau punya anak, mau nggak punya anak, mau punya anak satu atau sepuluh, mau
sekarang atau mau besok, itu tergantung keputusan kami dong ya, dan tentunya
tergantung Yang Maha Pencipta, mau ngasih kapan untuk kami, dan kami yakin itu
adalah momen terbaik yang diputuskan oleh-Nya buat kami. Toh nanti yang
bertanggung jawab terhadap anak itu juga kami sebagai orang tuanya, bukan orang
yang rajin nanyain kapan punya anak. Jadi kami merasa punya hak untuk mengatur
tentang masalah punya anak.
Bahkan kami nggak ngomongin tentang penundaan ini
ke orang tua dan mertua. Soalnya udah pada ngarep punya cucu. Tiap ketemu
dikode-kode mulu. Hadeeh. Ya ya ya, saya paham kok, apa lagi sih harapan besar
orang tua setelah menikahkan anak-anaknya selain punya cucu yang lucu-lucu.
Jadi yaudah kami diem aja... sambil elus dada. Hahaha. Mereka taunya kami juga
berusaha punya anak. Kalau misal hidup di barat, ya oke-oke aja kalau mau
berencana kayak kami gini.
Walaupun menunda, kami nggak
pakai alat bantu KB hormonal kok, soalnya pas kuliah dulu saya sempat
mempelajari sendiri lumayan detail tentang hormon. Apa ya textbooknya dulu,
udah lupa. Salah satu textbook yang dipakai di kuliah Farmasi Masyarakat kalau
nggak salah. Dari situ saya tau kalau mengatur hormon tidak selalu semudah kata
iklan pil KB, yang bilangnya kalau minum rutin pil KB nya, nanti begitu
berhenti minum, bisa langsung ‘dung’. Tidak semua orang punya hormon yang ‘nurut
banget’ sama alat bantu KB apapun. Apalagi yang kayak saya ini, siklus
menstruasinya lebih lambat daripada orang kebanyakan, yaitu 40 hari, dan pernah
ada riwayat gangguan hormon yang bikin perdarahan terus selama sebulan. Takutnya
nanti malah nggak karu-karuan. Belum lagi efek sampingnya pil KB yang bikin
frustasi. Jadi gimana cara menundanya? Pakai hitungan kalender masa subur aja,
juga dengan cara tertentu dalam berhubungan (maaf) agar tidak terjadi pembuahan.
For further info, bisa search tentang masa subur di google, terus baca di
website yang kredibel yah.
Nah, kira-kira 8 bulan setelah
menikah, setelah lumayan banyak kisah seru dan haru yang kita lalui, dan
kayaknya sudah puas pacaran, kami mulai ingin punya anak. Jadi di fase ini
banyak air mata tumpah karena berdoa ingin dikaruniai anak. Trus pernah
kepikiran juga, apa promil ke dokter aja yah sambil check up kondisi genital,
soalnya saya belum pernah periksa kesehatan yang semacam tes hiv, papsmear, dan
semacamnya. Hubby alias Mas Dani sebagai suami yang baik selalu nyuruh sabar sambil terus
berusaha yang alami dulu, nggak usah tergopoh-gopoh.
Sambil terus berdoa minta diberi
anak, saya mulai belajar, baca-baca dan tanya sana-sini tentang promil.
Kemudian dengan insting seorang apoteker (insting apaan ini wkwk), saya
memutuskan untuk memperbaiki nutrisi saya dan hubby untuk mendukung kehamilan.
Kondisi kami seperti ini :
Mas
Dani hampir tiap hari jajan gorengan di kantor, terus suka diam-diam beli fast
food sebelum jemput saya pulang kerja, tiap hari terpapar polusi jalanan, trus
kerjanya berkutat dengan obat dan kadang dispensing obat sitostatik yang saya
pikir pasti ada resiko terpapar zat karsinogenik walaupun sudah dilakukan sesuai prosedur. Sedangkan saya, lingkungan kerja
relatif aman karena kebanyakan stay di office. Hanya sesekali aja beresiko
terpapar zat kimia. Tapi saya sering merasa capeeek banget tiap hari. Jadiii
kesimpulannya, kami butuh antioksidan. Pilihan kami jatuh pada suplemen vitamin
E, sayur hijau (sawi, bayam, kailan), wortel, tomat, alpukat. Trus buat saya
sendiri, saya tambah suplemen asam folat dan susu (saya pakai prenagen
esensis). Ada penelitian yang mengatakan bahwa wanita yang asupan asam folatnya
tinggi punya kemungkinan hamil yang tinggi juga. Selain itu, kehamilan yang
direncanakan dengan asam folat membuat resiko kerusakan batang otak janin lebih
kecil daripada yang tidak direncanakan.
Seminggu dua kali kami
minum degan ijo karena secara empiris berkhasiat menyuburkan kandungan dan
membersihkan toksin. Sesekali kalau ada kurma, saya bikinkan rendaman kurma dalam air, alias infus water, buat tambahan glukosa dan antioksidan dan untuk mendapatkan manfaat lain dari kurma, sesuai sunnah Rasulullah.
Mas Dani sudah saya kasih pengertian buat ngurangin
gorengan dan fast food, kalau mau ngemil pilih yang sehat aja. Saya sendiri
stop jajan yang aneh-aneh. Biar lebih fit, kami yang tidak pernah olahraga ini
akhirnya memilih olahraga renang (sesekali hahaha).
Kami rutinkan dah itu semua.
Prosesnya nggak instan, namanya juga secara alami. Saya yang lebih pegang
kendali untuk perbaikan nutrisi ini, dan Mas Dani nurut-nurut aja dijejalin
apapun hahaha. Pokoknya kami
bikin kondisi kami sesehat mungkin, kalaupun belum hamil, masih dapat manfaat
sehatnya kan. Dosis dari suplemen dan makanan itu saya atur sedemikian rupa
agar pas, pakai insting apoteker.
Eh tapi serius deh yang namanya
insting apoteker itu. Untuk memutuskan dosis segala macem untuk diri sendiri,
saya lebih banyak pakai insting daripada ilmu, dan banyak benernya. Tapi kalau
buat pasien, instingnya nggak boleh terlalu dipakai, ntar para dukun kalah sama
saya.
Balik ke topik.
Dan yang tak kalah penting, (maaf)
merutinkan berhubungan agar tidak melewatkan masa ovulasi. Sebelum berhubungan,
tidak lupa kami berdoa dan Mas Dani minum madu + air hangat atau STMJ agar
tubuh selalu nyaman dan hangat.
Maaf ya kalau membuat tidak
nyaman membacanya. Ini udah sehalus mungkin nih penyampaiannya. Kurang halus
lagi? Mungkin perlu efek face beauty. Krik.
Selama proses itu, saya sering
berharap-harap cemas yang agak lebai hahaha. Misal lagi nggak enak badan,
pengen minum obat, saya tespek dulu. Takutnya ntar udah positif terus saya
minum yang kontraindikasi sama ibu hamil ntar nyesel dong. Trus kalau mau
diajak keluar kota atau aktivitas yang bikin capek, saya tespek dulu, biar
nggak kecolongan. Mau renang, tespek dulu. Mau makan nanas, tespek dulu. Terima
kasih pabrik alkes di Krian yang sudah memproduksi tespek dua ribuan yang tidak
membuat dompet saya bolong.
Alhamdulillah, sekitar dua bulan
kemudian, usaha kami membuahkan hasil. Waktu itu jadwalnya hari kedua
menstruasi, badan udah nggak enak banget tapi belum mens juga. Akhirnya seperti
biasa, sebelum minum obat, saya tespek dulu. Udah kayak latah pakai tespek.
Selain itu, saya berencana periksa ke dokter karena pengen promil pakai hormon
(wooh mulai nggak sabar). Trus ternyata hasilnya positif, garis dua!
Saya terkesiap melihatnya. Trus
saya kasih tau ke suami yang waktu itu masih leyeh-leyeh habis sholat subuh.
Dia liatin terus itu tespek, terus ditaruh, terus diliat lagi, terus ditaruh
lagi, terus saya disuruh pakai tespek lain biar lebih yakin. Untung masih
nyimpen satu lagi yang agak mahal, tapi nggak lebih peka dari yang murah. Hasilnya positif juga. Kami senang luar
biasa. Alhamdulillah. Kayak gini ternyata rasanya liat tespek positif. Seingat
saya, belum pernah kami se-excited ini setelah menikah.
Sungguh ini keajaiban dari Allah. Alhamdulillahirobbil aalaamiin.