Saturday, March 30, 2013

Published 8:18 PM by with 0 comment

Moral Masih Ada


Betapa seringnya kini aku mendengar moral disebut-sebut. Sekedar pemanis dalam ocehan belaka atau dibicarakan secara serius dalam ruang kuliah. Aku mengaguminya, dan juga orang-orang yang masih berusaha mengagungkannya. Sesulit apapun keadaannya.

Tentu saja sepenuh hati ku sadari, betapa hampanya ketika bicara moral ketika diri sendiri kadang – atau sering – lupa akan esensinya, bahkan terminologinya. Segala macam pembelaan berusaha menyangkal ketika ada yang mempermasalahkan moral. Dan tak terhitung berapa kali aku kecewa pada diri sendiri karena melupakannya. Mungkinkah materi ‘moral dan etika’ yang diajarkan di ruang kuliah hanya sekedar teori?

Kita sudah banyak tau tentang betapa kritisnya keadaan moral bangsa. Bahkan tanpa dijelaskan pun segalanya sudah jelas. Tak perlu jauh-jauh mencari bukti. Tengok saja di sekeliling. Mereka yang begini. Mereka yang begitu. Tengok juga diri kita sendiri, betapa tidak sempurnanya moral kita hingga kita merasa tidak pantas mengingatkan orang di sekitar kita. Jika semua orang berpikir begitu, sampai nanti-nanti pun akan tetap sama keadaannya. Jangan kira hanya ustad-ustad di kajian Subuh yang punya hak untuk mengingatkan hal-hal demikian.

Ah, sudah banyak yang membicarakan degradasi moral. Bahkan di salah satu kuliah, hal ini sudah dikupas habis hingga membuat tanganku gatal untuk segera menulis ini. Segalanya jelas, menjatuhkan moral suatu bangsa merupakan mekanisme paling efektif untuk menghancurkan bangsa tersebut. Salah satu objeknya adalah tayangan televisi, yang dari sudut pandang ini merupakan ‘pencipta zona nyaman’ bagi generasi demi generasi, hingga tak ada yang mau beranjak darinya dan tak mau memikirkan  tanah airnya – tempat ia seharusnya membaktikan diri. Kadang masalah moral terlihat kecil, kadang juga terlihat besar. Secara teori mudah mengatasinya : matikan saja Tvnya; tutup saja lokalisasinya; ajarkan aqidah dan moral sejak dini. Namun prakteknya?

Terlalu banyak yang bisa kita keluhkan. Tapi untuk apa? Seperti halnya bola yang memiliki jumlah sisi tak terbatas, begitu juga dengan masalah seperti ini. Stagnan pada satu sisi saja akan membuat pikiran sempit. Ketika kita mencermati sekeliling kita sekali lagi, aku yakin, kita masih bisa tersenyum bersyukur. Aku sudah mencobanya. Ketika aku kesal sekali melihat beberapa wanita tidak dapat tempat duduk di angkutan umum, dan bertambah kesal karena kebanyakan yang duduk adalah pria yang seharusnya mau mengalah, ternyata masih ada pemuda yang rela berdiri selama berjam-jam perjalanan agar penumpang yang wanita bisa duduk di tempatnya. Bukannya berharap yang pria selalu mengalah, tapi bukankah sebenarnya ada kesadaran untuk menolong? Contoh lainnya adalah ketika area lokalisasi semakin meluas, ada orang yang berjuang menutupnya dan membangun peradaban yang lebih baik. Jika masih kurang, coba lihat teman-teman yang selalu mengucap salam dengan baik, berkata jujur, tersenyum ikhlas. Itu menandakan bahwa moral masih ada.

Setidaknya kita masih punya harapan. Kita tidak seratus persen rusak! Orang-orang seperti itulah tumpuan kita, yang biasanya kita sebut sebagai orang baik. Mungkin  jumlah mereka tidak banyak, tapi mereka telah menjadikan moral sebagai pegangan untuk melakukan apapun dalam hidup mereka. Itu akan menjadikan diri dan keadaan di sekelilingnya menjadi lebih baik.

Aku begitu yakin bahwa moral adalah tahapan kritis yang harus dilewati untuk menjadi lebih baik. Melewati tahapan ini artinya memastikannya berlangsung sempurna untuk menjamin hasil akhir yang memuaskan. Dan semoga para moral force bangsa ini tidak lupa akan perannya sebagai quality control tahapan tersebut.
Read More
      edit

Friday, March 8, 2013

Published 9:43 PM by with 0 comment

Ingin Kelabu :'(

Ada apa akhir-akhir ini?

Kenapa langit selalu mendung?

Apakah pena yang menggoreskannya tersisa kelabu saja?

Yang aku tau dia punya sejuta warna, tidak mungkin dia bosan dengan semuanya

Apakah terlalu enggan menggoreskannya lagi?

Dan aneh, sekarang dia takut dengan petir yang diciptakannya sendiri

Seolah-olah tak punya lagi keberanian untuk menampakkan diri

Sekalipun itu kepada bumi, yang setiap saat berhadapan dengannya

Ingin menciut saja

Ingin kelabu saja

Mengapa?

Seakan lupa dengan Penciptanya

Yang tak pernah lupa memberikan pena baru setiap hari

Dan tak pernah lupa memberi pelangi dan matahari senja untuknya

Aku ingin bilang,

Tidak cukupkah itu menghiburmu?

Tersenyumlah...

Allah mencintaimu,

Begini cara-Nya mencintaimu

Kau tau, kan?



Read More
      edit

Sunday, March 3, 2013

Published 11:23 PM by with 0 comment

Girls in Their Make Up


Aku sedang melipat jas lab yang baru saja aku lepas ketika segerombolan teman-teman cewek lewat dan kami ber-hey-hey ria.

“Mau kemana?” tanyaku.

“Mau makan,” jawab seseorang mewakili.

“Oh, ati-ati yaa.”

“Iyaa.. daah, Chynti!”

Aku melambaikan tangan sambil nyengir. Ujung mataku menangkap sesuatu yang berbeda di wajah mereka, pengen komentar sesuatu tapi nggak tau harus komentar gimana. Aku mengulum senyum sendiri. Setelah memasukkan jas lab ke tas, aku berjalan cepat ke kantin, laper juga. Yang bilang mau makan tadi nggak ngajak-ngajak sih, padahal kalau diajak, aku mungkin mau. Hahaha, ngarep banget. Ini belum jam makan siang, tapi kok sudah laper ya? Di kantin, ada lebih banyak gerombolan cewek-cewek dan aku langsung mengambil tempat di antara mereka. Eh, ternyata ada juga yang bikin aku mengulum senyum lagi, sama seperti yang tadi. Sejak kapan sih cewek-cewek ini mukanya jadi kayak gini? Dipoles bedak warna kuning kemerahan setebal lima centimeter, sedikit blush on pink di tulang pipi, lalu apa itu namanya yang di kelopak mata? Warnanya ungu-ungu pudar gitu. Dan yang paling kelihatan banget adalaah bibirnya yang kayak dikasih cat air itu.

Aku menggigit bibir, kegelian sendiri, lalu tengok kanan-kiri. Nggak semuanya ber-make up selengkap itu, makanya agak amazing gimanaaa gitu kalau ngelihat orang-orang yang mukanya tiba-tiba berwarna berlalu-lalang di sekitar.

“Hari ini ada acara apa?” tanyaku polos kepada teman yang ber-make up.

“Acara? Nggak ada. Kenapa?” dia tanya balik dengan heran.

“Oh kirain lagi ada promosi salon kecantikan.” aku menjawab dalam hati.

Setauku kalau ada yang make up-an kayak gitu selain ibu-ibu, kemungkinan umumnya ada tiga, dia ada kondangan, sumpah apoteker atau hari Kartinian. à keliatan banget nggak pernah make up-an.

“Ya wajarlah, namanya juga cewek. Pasti pengen terlihat cantik.” pendapat seorang temanku yang mukanya masih netral waktu aku tanya kenapa cewek-cewek lain mukanya pada warna-warni.

“Emang kalau kayak gitu terlihat cantik?”

“Menurutmu?”

“Enggak, cuma keliatan dia bangun pagi-pagi banget, trus di depan kaca lama-lama sambil mingkem-mangapin bibir buat ngepasin warna lipstik.” kataku ngasal, “padahal mereka praktikum jam 7 pagi lho, belain banget sih.”

Temanku tertawa ngakak, “Gitu itu tergantung pengalaman. Kalau barusan aja belajar pake make up ya emang susah, tapi kalau sudah terbiasa pasti cepet, tak-tek-tak-tek­-jadi deh!”

“Oh gitu. Emang kalau nggak pake make up nggak cantik?”

“Cantik kan relatif.”

“Relatif dengan apa? Berarti bisa dibandingkan dong, kalau pake make up sama nggak pake make up, cantikan mana?”

“Yaa... gimana yaa... Kalau orang aslinya udah cantik, mau make up-an, mau kagak, tetep aja cantik. Tapi kalau orang nggak cantik, lalu make up-an, itu namanya usaha biar terlihat cantik.”

“Kenapa kok berusaha terlihat cantik? Emang kalau mereka berubah jadi cantik trus kenapa? Langsung bisa jadi artis gitu?”

Dia ngakak lagi, “Ya kali’ aja pas pulang ke kosan, di jalan ketemu produser video klip Palapa, trus dia ditawarin jadi model.”

Aku ikutan ngakak.

“Ya kan namanya juga cewek toh, sudah dewasa, sudah 20 tahunan, pasti sudah ada keinginan terlihat cantik, menarik perhatian, cari jodoh,” akhirnya dia menjawab serius, “setidaknya ketika sudah memperbaiki penampilan, cewek berharapnya ada cowok yang tertarik, lalu suka.”

Aku berhenti ngakak. Keningku berkerut. Sebelumnya aku nggak pernah berpikir tentang hubungan antara ketebalan make up dengan  jodoh. Mungkin aku yang kuper, terlalu polos atau ndeso. Yang jelas aku merasa itu adalah pemahaman yang terlalu dangkal. Kok mau maunya dinilai dari keterampilan ber-make up? Aku ingin sekali menengok ke cermin saat itu juga. Sebelum berangkat kuliah, aku hanya memoleskan bedak, itu pun berantakan, lalu pakai jilbab, menyematkan pin, lalu nyengir sebentar buat memastikan ada nasi yang nyangkut di behel apa nggak. So simple, hahaha. Beda bangeeet sama mereka yang pasti bangun lebih pagi dari aku, mematut diri di depan cermin, kadang sibuk milih-milih produk kosmetik di toko atau katalog. Kalau bisa dihubungkan secara linear dengan cari jodoh, kasian banget dong gueh.

Well, aku cuma merasa aneh. Entah aku yang aneh atau mereka yang aneh. Lebih konkretnya, aku nggak paham sama mereka. It’s okay if they use cosmetic. I never mind, it’s their own bussiness anyway, but I think it’s really something. Rasanya ini mengingatkanku bahwa “hey, kita sudah dewasa! Bukan cewek ABG lagi! Waktunya memperbaiki penampilan”. Kalau penyangkalan klise-nya sih semacam gini : Memperbaiki penampilan? Kalau akhlak sudah diperbaiki belum? Uhuk. Itu tuh yang aku beratkan. Jangankan akhlak, akademik aja belum baik... *eh --‘ Tapi memang, kita sudah dewasa meeen... apa mungkin kalau ber-make up itu seperti nempel tulisan di jidat ‘gueh wanita dewasa’, gitu? Jadi kalau udah ber-make up udah nggak boleh main gembot? (siapa juga yang hari gini masih main gembot? Hahaha).

Mungkin iya, make up itu simbol kedewasaan wanita bagi sebagian besar orang. Tandanya wanita tersebut pintar merawat diri. Tapi seorang profesor di kelas Semisolida bilang, “Kalau mau tau wanita itu pintar merawat diri atau tidak, jangan lihat wajahnya. Kalau wajah sih mudah diputihin, dimodifikasi. Lihat tangannya. Kalau wajahnya putih tapi tangannya nggak terawat, berarti belum bisa merawat diri.” Dan aku langsung menatap tanganku yang belang-belang kayak permen blaster dengan penuh haru.

“Kamu juga boleh kok kalo mau nyobain make up, hihihi,” celetuk temanku sambil nyubit lenganku.

“Muke gilee... bisa dikirain mbak-mbak sales rokok gueh ntar, trus orang-orang yang gueh deketin bakal bilang ‘maaf mbak, saya tidak tertarik dengan produk Anda’,”

“Enggak lah, paling-paling dikirain badut ulang tahun, “ dia ngakak puas banget.

Ya kaliii, emang aku mau ngewarnain hidung pake rhodamin B gitu sampe dikirain badut?

Sebenarnya aku salut dengan mereka yang berani tampil beda dengan make up. Yang kemarin mukanya masih polos, hari ini berwarna dan semakin fresh. Berarti kan percaya dirinya dapet bangeet. Bener deh, memperbaiki penampilan. Atau make up-nya itu bikin tambah percaya diri? Aku nggak tau. Mungkin besok-besok aku akan memujinya dengan “waah, wajahmu mengalihkan duniaku lhoooo...” atau “wajahmu yang berwarna membuat hidupku semakin berwarna *tanda titik koma, kurung tutup*”, dan mereka bakalan tersenyum bahagia atau menjitak-jitak karena merasa digombali orang yang salah. Hahaha.

Yaah meski agak janggal, kayak lagi ngomongin kambing berleher panjang, tapi yaa beginilah adanya. Mungkin bakal ada yang bilang ‘ah norak lu’ ; ‘hari geneee masih nggak tau apa-apa tentang make up?’, bodo amat. Aku tau banyak tentang kosmetik, bahan-bahan untuk formulanya, tujuan pemakaiannya, tapi nggak tau alasan wanita-wanita itu begitu menggandrungi kosmetik. Kalau memang benar tujuannya untuk menarik perhatian lawan jenis (khususnya untuk wanita muda.red), yaa agak gimanaaa gitu yaa. Make up kan nggak nempel permanen, takutnya nanti kalau make up-nya dihapus jadinyaa... Selama nggak berlebihan, it’s okay kali’ yaa. Kalau aku sendiri, sampai sekarang masih nyaman-nyaman aja tanpa make up. Selain karena make up itu ribet dan nggak bisa pakenya, agak... hmmm... nggak pede juga :< Sudahlah, make up nggak penting kok sekarang ini, begini aja sudah oke, yang penting dirawat kesehatan kulitnya. Yang penting mindset-nya jangan salah, make up itu hanya melengkapi identitas wanita dewasa, bukan membuat wanita dewasa. Oke? *eh kok jadi sok bijak gini*
Read More
      edit