Di sesi-sesi galau usia dua puluh tahunan ini bahasan utamanya ada dua. Kalau lagi ngobrol sama cewek-cewek, bahasannya tentang nikah, sedangkan kalau ada cowok yang nimbrung, bahasannya tentang karir. Berat sudah bahasannya. Susah cari kondisi ideal buat ngobrolin kenapa Avatar Korra bisa jadi lesbi di akhir film, atau kenapa Benedict Cumberbatch nggak keliatan ganteng di filmnya yang baru.
Nah, sekarang tentang karir...
Pertanyaan besarnya adalah setelah lulus mau ngapain? Bagi kita-kita yang
sedang belajar di jenjang profesi Apoteker semester dua gini, bawaannya pengen
cepet kabur dari kampus saking bosennya lima tahun di sini. Hahaha.
Sejujurnya aku sudah memilih untuk
sekolah lagi tahun ini setelah lulus profesi. Setelah Sumpah Apoteker, aku mau
langsung kuliah lagi di London. Tapi kukembalikan lagi pada Allah. Jika Ia
menakdirkanku untuk langsung bekerja setelah lulus, it’s okay. I would be glad
of anything He would. Aku sudah mengoyak-koyak sifat keras kepalaku dan
berjanji akan lebih lapang dada menghadapi apapun yang terjadi nanti. Kemudian
muncul kericuhan di sekitarku yang bertanya kenapa aku ngebet banget pengen
langsung kuliah lagi. Entah itu dari keluarga, teman-teman, handai taulan. Dan
aku bukannya menjawab dengan tegas, malah melakukan aksi diam karena waktu itu
hatiku masih terombang-ambing bak kapal di atas lautan *halah.
Kebanyakan teman-teman memilih
bekerja setelah lulus profesi. Jadi kerjaannya mereka adalah ikut open
recruitment dari perusahaan ini-itu yang diadakan di kampus. Aku juga ikut sih,
sebagai sarana latihan gambar pohon di psikotes dan latihan interview. Ya kali
aja keterima dan nanti bisa aku pertimbangkan lagi aku mau kerja di sana atau
enggak. Pokoknya aku ingin mencoba semua kemungkinan untuk bekerja dan S2,
walaupun dalam hati kecil berharap ingin S2. Hanya minoritas yang ingin
melanjutkan S2 langsung setelah lulus. Dan sepertinya bait puisi Robert Frost yang dikutip Salim A. Fillah dalam bukunya berikut ini menggambarkan keadaanku. Mari kita simak.
Di hutan, kulihat dua
cabang jalan terbentang
Kuambil jalan yang
jarang dilalui orang
Dan itulah yang
membuat segala perbedaan
-Robert Frost, The
Road Not Taken
Jadi kira-kira begini alasan
kenapa aku ngebet banget pengen S2 tahun ini :
1. Aku suka belajar. Aku cukup sadar kok kalau aku ini tidak cukup pintar dan rajin. Selama kuliah modalnya the power of kepepet, belajar pas sudah detik-detik menjelang ujian doang, kalau kuliah sering telat, kalau praktikum suka mecahin alat. Tapi sejujurnya dalam hati yang terdalam, aku tidak pernah jenuh belajar di kampus. Serius. Aku orang yang mudah jenuh. Praktek di apotek baru dua hari sudah jenuh, nonton film The Hobbit 2 setengah jam sudah jenuh, main UNO satu game sudah jenuh, tapi entah kenapa aku tidak pernah jenuh dengan buku, jurnal, diskusi, presentasi. It’s really something, right? Jadi aku pengen punya kesempatan kuliah lagi.
2. Aku
membutuhkan kebijaksanaan lebih, dan itu rasanya dapat aku pelajari di kampus.
Kenapa tidak di tempat kerja? Menurutku berbeda. Aku tau seberapa idealisnya
diriku. Kalau hal itu kubawa di tempat kerja, berbaur dengan paham materialis
dan kapitalis terselubung, aku takut idealisme itu akan mati karena aku tidak
tau cara menyikapinya. Maka aku ingin berada di tempat di mana idealisme itu
dapat tenteram dan menumbuhkan kebijaksanaan dalam diriku, agar ketika nanti
aku keluar ke dunia kerja, aku siap mempertahankannya dengan cara yang dapat
diterima semua orang. Jadi intinya, aku belum siap bekerja, hehehe.
3. Ini
impian besarku. Seumur hidup, aku ingin menjadi peneliti, penulis dan pilot.
Untuk jadi peneliti dan menemukan obat yang akan aku beri nama Chyntiamycin,
aku harus dapat ilmu lebih dari jenjang pendidikan berikutnya. Jadi rencananya,
aku akan mengerjakan tesis dengan penuh semangat di bidang Drug Discovery atau
Bioteknologi hingga menjadi titik terang untuk penemuan Chyntiamycin (Aamiin).
Satu lagi impian besarku adalah keliling dunia. Sejauh ini progressnya baru dua
negara, Turki (waktu student exchange dulu) dan Singapur (transit beberapa
menit waktu otw ke Turki, hahaha). Trus waktu di Izmir sempat melihat daratan
Yunani dari jauh sih, tapi nggak masuk itungan ya? So the next destination is
London! Dari London nanti bisa jalan-jalan ke negara lain juga, kan. Begitu
rencananya. Hehe.
4. Menghabiskan
ego. Let’s talk about it in new paragraph.
Seperti yang dikutip Nurul di
status fbnya tentang menghabiskan ego (say hi to mbak Nurul, semoga nggak
ceduten waktu saya nulis ini), yang didapat dari penulis kesukaannya, Kurniawan
Gunadi (semoga bener namanya). Intinya sebelum menikah, capailah dulu
keinginan-keinginan kita karena kalau sudah menikah nanti akan lebih sulit
mencapainya. *Tuh kan ngomongin nikah ujung-ujungnya. Begitulah yang aku juga
pikirkan kira-kira. Sekali lagi aku menyadari seberapa idealisnya aku, sampe
dibilang liberal sama interviewer Ferron. Aku ingin ini, aku ingin itu, sudah
biasa. Aku juga diajarkan untuk menghargai ego pribadi dan tidak mengabaikannya
selama itu tidak melukai hak orang lain. Ego itu bernama impian. Jika aku
sekolah S2 di London tahun ini, itu akan menjadi pencapaian impianku yang
terakhir sebelum menikah. Akan kujadikan itu penghabisan egoku. Setelah S2, aku
akan mendaftar kerja kemudian menikah (nggak usah nanya kapan tanggal nikahnya
karena nikah sama siapa juga belum tau). Jadi aku memastikan bahwa saat menikah
nanti, ego pribadiku sudah habis. Aku akan memulai babak baru dalam hidup dan
merintis impian berdua. Akan ada impian-impian lain yang tumbuh di kehidupan
rumah tangga dan akan ada peran baru yang aku mainkan. Aku juga akan memastikan
ia akan menikahi diriku, bukan menikahi idealisme, pemikiran, impian dan
ambisiku *tsaaah, omongannya.
Misalnya aku belum bisa sekolah
S2 tahun ini dan harus bekerja, aku akan tetap berjuang untuk bisa S2 tahun
berikutnya. Atau misalnya aku sekolah S2 tetapi bukan di London, aku akan tetap
berjuang untuk bisa ke London tahun berikutnya. Dan itu artinya egoku belum
habis. Jadi aku belum siap memulai babak baru kehidupan. Begitulah kira-kira.
Jangan dikira perjuangan untuk S2
itu mudah, apalagi untuk orang sepertiku. Butuh berbulan-bulan untuk menyiapkan
berkas-berkas untuk apply beasiswa. Belum lagi belajar TOEFL dan IELTS yang
kebanyakan aku lakukan waktu praktek di puskesmas dan apotek di sela-sela
pelayanan pasien. Belum lagi harus menghadapi kenyataan bahwa biaya buat TOEFL
dan IELTS lumayan menguras rekening. Sekali TOEFL ITP 350ribu, dan IELTS
sekitar 2,5 juta. Oh meen, IELTSnya itu bisa buat bayar SPP dua semester -___-
Lumayan juga ya investasi buat S2 ini. Modal terbesarku adalah percaya. Mungkin
orang-orang tidak percaya aku bisa S2. Aku sendiri mungkin ragu akan kemampuan
diriku, tapi aku tidak pernah ragu akan kekuasaan Allah atas segalanya,
termasuk takdirku. Bagi seseorang yang banyak maunya kayak gini, modal percaya
itu penting. Itulah hal terbesar dan paling berharga. Apapun impian kita,
selama tekad kita cukup kuat dan kita percaya, halangannya tidak akan berarti.
InsyaAllah.