Monday, January 3, 2011

Published 11:25 AM by with 0 comment

Senyum Omellete

Ada memori yang kerap muncul di kepalaku setiap kali adekku membuatkan omellete untuk sarapan. Memori tentang jaman sekolah yang sayang banget dilupakan. Itulah yang bikin aku melamun sejenak sebelum menusukkan garpu ke makanan mirip konde keriting itu.

Omellete berarti banyak untukku. Selain karena enak - apalagi buatan adekku, juga bergizi dan mengandung protein tinggi sehingga layak dikonsumsi (gubrak). Eh bukan gitu ding. Omellete mengingatkanku pada siang hari sepulang sekolah yang sering aku habiskan bersama seseorang di kantin.

Seseorang itu adalah sahabatku, seorang cowok berwajah tirus, kurus, berkacamata tebel, rada pendiam, juga rada humoris, tapi kalo udah terlanjur komentar, sinismenya nggak setengah-setengah.

Seseorang itu adalah sahabatku, seorang berjiwa seni yang berbakat melukis, kecanduan fotografi dan punya selera bagus dalam memilih lagu di playlist-nya.

That’s why, kita sering klop – aku suka travelling alias mbolang, kalo ngajak dia, jadi ada yang ngefotoin. Aku nggak bisa ngegambar, dia jago. Aku suka cerita, dia sabar dengerin. Aku bersikap kayak anak kecil, dia suka ngusilin. Dan dia melow, aku yang aslinya nggak melow-melow amat, jadi ketularan melow.

Seseorang itu adalah sahabatku, ya, sahabatku, yang hobi banget makan omellete sampe keringetnya bau omellete. Hahaha. Ibu kantin sampe hapal pesenannya dia.

“Omellete satu, jangan gosong-gosong ya, Bu. Minumnya es teh. Ini botol sambelnya aku bawa dulu ya, Bu,” kata dia dengan semangat orang laper, “eh, lu mau makan apa lu?” nawarin ke aku.

“Pop ice choco cream satu!” sahutku.

“Makannya?”

“Nggak laper, ntar aja.”

“Heh, harus makan! Mati kamu nanti kalo nggak makan.”

“Gapapa, daripada mati kebanyakan omellete.” Kataku cuek.

Setelah serangkaian debat konyol dan nggak penting tentang nafsu makanku, kita memilih duduk di tempat yang agak sepi, agak jauh dari hiruk-pikuk segerombolan anak yang ngegosip keras-keras. Lalu aku mulai merajuk minta dibantuin ngerjain tugas gambar prespektif yang belom kelar.

“Ayoo...gambarin awan yang bagus di langitnya...” rajukku.

“Ngapain dikasih awan? Bagusan gini, tauk.” kata dia. (Aslinya males ngegambarin)

“Bikinin gambar mobil yang bagus ta. Jelek nih mobilnya.”

“Hmm, bagus koq. Ini mobil ceritanya habis nabrak mobil satunya, terus mobil satunya guling-guling sampe akhirnya... bum! Meledak, kebakar. Pohon yang di deketnya jadi ikut kebakar juga deh. Hahaha.”

Rasanya tega baget aku cakar-cakar anak itu kayak kucing ngamuk.

Tapi gimanapun, dia akhirnya mau ngerjain sambil nunggu omellete-nya jadi, sekalian dengerin aku nyerocos cerita tentang ini itu. Mulai dari cerita tentang dikerjain temen-temen di kelas tadi, nilai ulangan yang ajaib, rencana berpetualangku sama temen-temen weekend besok, sampai masalah cinta (ihiiy).

Dan dia mendengarkan, benar-benar mendengarkan walaupun tangannya tak berhenti menggoreskan pensil untukku. Dan dia mengerti dengan baik.

Perharps you know how is the feel when you’re listened.

Suatu hari aku datang menghampirinya dengan muka hampir nangis. Lalu aku menumpahkan semua kekesalanku padanya, tapi menahan air mataku sekuatnya.

This is what he did after my long complicated story about love and friends.

Mengambil botol sambel di meja, memandangi omellete-nya dengan mantap, lalu menggambarkan mata, alis, hidung dan mulut tersenyum yang lebar.

And you know what he said at the end after his best advice.

“Look here, dear. Omellete ini tersenyum ke kamu. Kamu tau kenapa? Karena dia pengen kamu membalas senyum juga ke dia. Coba deh tunjukin senyum kamu.”

Aku mingkem dengernya. Perlu waktu beberapa detik untuk ‘ngeh’ maksudnya dia. Itulah caranya membujukku tersenyum. Dan aku pun tersenyum, begitu juga dia.

“Eh ntar ntar, harus difoto dulu nih senyum omellete sama senyum kamu. Tapi koq kayaknya lebih manis senyum omellete-ku ya. Tahan dulu senyumnyaaa.”

Krauk! Aku cakar bahunya. Pengen ke wajahnya tapi nggak kena.

In fact, begitu nyampe rumah, aku akhirnya nangis karena terharu sama senyum omelletenya itu. Ahh, mellow on action.

Ketika aku menuliskan ini, aku sedang amat sangat merindukannya. Kita sudah menjadi terlalu jauh, rasanya lebih jauh dari jarak tempat berdiri kita yang sebenarnya.

Yaa, aku merindukannya. Ingin menghubunginya, tapi entahlah, aku selalu berpikiran, “dia pasti lagi sibuk sama kuliahnya, takut ganggu ah.” Dan aku takut dia juga berpikiran yang sama tentangku.

Hufh.
      edit

0 komentar:

Post a Comment

yuuk komen yuuk . . .