Jalanan di Fatih sudah ramai.
Orang-orang berlalu lalang dengan cepat. Kulirik jam di handphone yang kupegang.
Sudah hampir pukul 10. Ah, pantas saja. Rata-rata jam kerja dimulai pukul 9
atau 10 pagi di sini. Aku melangkah di trotoar, berebut langkah dengan
bule-bule yang selalu berjalan cepat. Abang penjual simit di pertigaan
meriuhkan suasana dengan berteriak “bir lira, bir lira!”. “Satu lira, satu
lira” yang merujuk pada harga roti simit, acma dan kawan-kawannya. Kalau saja
belum sarapan, aku pasti sudah menghampirinya untuk membeli satu acma dan satu
lagi jenis roti renyah yang aku lupa namanya. Tapi pagi ini aku sudah cukup
bertenaga dengan dua bungkus energen yang diseduh dalam satu cangkir – ini
terinspirasi dari Harris, teman semasa KKN yang kalau lapar bikin energen dua
bungkus, dan memang mengenyangkan.
Matahari sepenggalah naik di
belakangku, namun cahayanya sudah cukup menyilaukan mata. Aku pun menurunkan
kacamata hitam yang selalu standby di atas kepala, sebuah kebiasaan baru
sebulan terakhir karena mataku tidak pernah tahan dengan sinar matahari di
sini. Terlalu silau. Pernah sekali kacamata itu ketinggalan, aku langsung minum
panadol extra begitu pulang ke flat. Tiba-tiba angin dingin bertiup. Ku
hentikan langkah sejenak karena takut rokku terangkat. Beberapa hari ini cukup
dingin. Meskipun matahari begitu terik namun tidak dapat melawan dinginnya
udara. Dua meter di depanku adalah gedung pemerintahan. Artinya aku masih harus
berjalan 20 menit lagi untuk sampai di Ayasofia Eczane, tempat internship-ku. Aku memakai jaket, tak
lupa menutup resletingnya dengan benar. Yah, sekarang aku selalu memakai jaket
dengan benar seperti itu. Ini gara-gara Faisal yang dulu suka cerewet bukan
main kalau aku tidak memakai jaket dengan benar.
Sekitar 10 menit berjalan, kakiku
rasanya membeku. Kulihat tulisan berjalan di sudut kios, biasanya menunjukkan
suhu, bergantian dengan beberapa tulisan lainnya. Dua puluh enam derajat
celcius. Oh, yang benar saja. Kemarin dua puluh sembilan. Berarti suhu semakin
turun. Ini sudah seperti di Malang atau Pacet. Kunaikkan kerah jaketku.
Sekarang nafasku terengah-engah dan dingin. Aku melintasi halaman Istanbul
Universitesi di mana burung-burung merpati hitam berkumpul mematuki makanan di
tanah. Orang-orang, baik turis maupun penduduk lokal tak ada satupun yang
terlihat kedinginan. Hanya aku.
“The weather is good. It’s not hot and
not cold. It’s perfect..” kata Canan, homemate-ku, kemarin sore kami pergi ke
Fatih Bazaar.
Batinku, perfect apaan? Gueh udah
merinding kedinginan gini.
Aku terus menyusuri jalanan yang
semakin ramai. Stasiun tramvay Beyazit sudah kulewati. Berarti tinggal melalui
stasiun Cemberlitas dan Sultanahmed. Eczane-ku terletak tepat di samping
stasiun tramvay Sultanahmed. Aku suka tiga kawasan ini. Beyazit yang selalu
sibuk karena di sana ada Grand Bazaar, salah satu pasar terbesar di dunia.
Cemberlitas yang di sana ada makam Sultan Mahmud II dan Burnt Column.
Sultanahmed, tempat Blue Mosque dan Hagia Sophia yang terkenal di seluruh
dunia. Di sepanjang jalan tiga kawasan itu, aku selalu mengawasi kurs dollar di
setiap Change Office yang aku lewati. Pernah beberapa waktu yang lalu kurs
dollar turun. Aku langsung menukarkan semua dollar-ku ke lira. Aku juga selalu
membawa kabar tentang kurs setiap hari untuk roommate-ku, Tisa. Begitu kursnya
menguntungkan, dia langsung menitipkan dollar atau euro-nya kepadaku untuk
ditukar ke lira.
Tak terasa akhirnya aku sampai juga di
Ayasofia Eczane. Tempat yang berkali-kali aku kunjungi dan meskipun aku sering
bosan berada di sana, aku tetap saja senang kalau berhasil mencapai tempat itu.
Mungkin karena perjalanan yang aku tempuh cukup jauh, hampir 40 menit jalan
kaki setiap pagi. Di Surabaya mana pernah aku jalan kaki sejauh ini. Praktikum
di FK saja naik motor. Ke Indomaret depan gang saja naik motor.
“Günaydın!” sapaku begitu memasuki Eczane.
“Günaydın!” jawab Mehmet sambil mengangkat tangan dan
tersenyum. Eczane masih lenggang. Staff yang lain masih nge-cay di ruang
belakang. Cay, atau teh adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari negara
dan rakyat di sini. Dari pagi-siang-malam, cay tak pernah dilupakan. Aku jadi
ikut ketagihan cay selama tinggal di sini.
Lagi-lagi aku mendengar seseorang bilang, “the weather
is good.”
Kulirik termometer ruangan di rak kosmetik. Dua puluh
enam derajat celcius. Termometer itu letaknya hanya beberapa langkah dari
pintu. Mungkin yang terukur suhu di luar, pikirku. Rasanya di dalam Eczane ini
lebih hangat. Beberapa saat kemudian ramalan cuaca menyiarkan suhu di Istanbul
akan mencapai dua puluh tiga derajat celcius, dan akan turun hujan. Aku
berbalik ke arah pintu. Masih terang-benderang. Masa’ kayak gini bakal hujan?
Mungkin ramalan cuacanya salah.
Menjelang siang, Merve yang sedang menata rak produk
sabun memanggilku dan menunjuk keluar.
Hujan!
Dan masih tetap terik!
Ah, aku lupa. Hujan di Istanbul yang kulihat selalu
seperti ini. Minggu lalu waktu pergi ke Eminonü dengan Tisa dan Meri, hujannya
juga sejenis ini.
“Hujannya nggak akan lama dan nggak akan deras.” kata
Meri waktu itu. Dan benar saja. Tidak sampai 15 menit, hujannya sudah pergi.
Kulihat turis-turis berlarian dari stasiun tramvay.
Tangannya di atas kepala menghalau hujan.
“I like rain! C’mon, we can play in the rain!” aku
terngiang-ngiang suara Amr saat kami berada di minibus dalam perjalanan ke
Izmir dua minggu lalu. Saat itu hujan deras sekali dan kami hanya pasrah
memandanginya lewat kaca minibus yang buram oleh air hujan.
“Yeah, I like playing with the raindrops!” sahutku
bersemangat sambil memutar badan menghadap Amr.
Aku setengah ngelamun memandangi hujan. Menunggu kapan
berhentinya. Karena bosan, aku kembali ke belakang counter. Kembali memperhatikan
Abdullah, Mehmet dan Aliona beraksi melayani customer-customer yang kebanyakan
turis itu. Kembali aku bosan. Kembali aku ke kursi di depan counter, tempat
para customer biasa menunggu. Kembali aku bosan. Lalu aku mencari kegiatan
lainnya. Begitulah setiap hari di Eczane ini. Bisa membantu melayani satu atau
dua customer saja sudah senang sekali rasanya.
Tapi ada hal yang selalu kutancapkan dalam pikiran :
cara berpikir Aliona dalam memutuskan obat. Ia salah satu Apoteker yang
bertanggung jawab di sini. Walaupun kebanyakan aku kurang setuju dan kurang
bisa mengerti kenapa dia memutuskan obat ini dan obat itu, aku tetap saja
menyimaknya. Harus menyimaknya. Karena ini adalah terakhir kalinya aku bisa
melakukan itu.
Esok aku sudah tak di sini lagi.
“When will your flight?” tanya Mr. Sedat sambil
memegang cangkir cay-nya.
“Saturday, at 00.40, so I will go to airport on Friday
night.” jawabku.
Ini semua seperti mimpi. Rasanya baru kemarin aku
terbang ke tempat ini. Bertemu Vildan di airport dan kami naik kereta metro
subway ke flatnya. Jet lag-nya sudah hilang, tetapi aku masih ingat sensasinya.
Rasanya baru kemarin juga aku berbicara dengan Biljana, gadis Serbia yang
menjadi partnerku di Eczane ini. Minggu lalu dia sudah kembali ke negaranya. Bahasa
inggrisku sudah membaik, tetapi aku masih menertawakan diri kalau ingat betapa
pendiamnya aku saat minggu pertama di sini. Sekarang sudah minggu keempat.
Hampir dua puluh sembilan hari.
Dua puluh sembilan hari yang seperti mimpi, dan
menjadi momen terwujudnya mimpi.
Aku terkadang masih tak percaya telah tiba di sini.
Aku masih memandangi Blue Mosque dengan takjub meskipun sudah berkali-kali
sholat di sana. Aku masih membawa kamera kemanapun aku pergi karena aku siap
menemukan hal baru setiap hari.
Dan kini aku harus mengemasi lagi barang-barangku.
“Someday if you come back to Istanbul, we can spend
time together, okay? We can eat and drink together.” kata Mr. Sedat ketika aku
berpamitan. Ah, pharmacist-ku itu selalu baik dan ramah.
Aku mengangguk sambil mengulang-ulang ‘of course’ dan
‘definitely I will’. Hujan gerimis di luar sudah berhenti, dan kini berpindah
tempat ke hatiku. Aku melangkah keluar Eczane untuk terakhir kali. Aku
menyebrangi jalur tramvay dan mengeluarkan kamera. Mengambil gambar Ayasofia
Eczane di antara keramaian Sultanahmed.
Daerah Sultanahmed tak pernah sepi, namun aku berharap
masih ada tempat untuk aku menaruh hati padanya.
Ku pandangi lekat-lekat situs-situs bersejarah di
sekitar sana. Ku ucapkan selamat tinggal.
Ketika kembali ke Fatih, aku tau aku akan merindukan
semua ini. Merindukan Biljana, Chen, Amr, Ammar, Doaa, Vladan, Husna, Vildan,
dan kawan-kawan lain yang kutemukan di kota ini. Merindukan Blue Mosque.
Merindukan simit dan acma. Merindukan cahaya matahari yang menyilaukan.
Merindukan Cosmo City. Merindukan Burak Apartment. Merindukan tramvay dan bus.
Merindukan Istanbul.
Rasa rindu itu berbaur dengan rasa syukur tak terkira.
Sekali lagi kulirik tulisan berjalan di sudut kios.
Dua puluh tiga derajat celcius. Musim gugur dimulai. Dan perjalananku berakhir.
Aku berjanji ini hanya sementara, lain waktu aku akan melanjutkannya lagi.
Dunia masih terlalu luas untuk dijelajahi.
Güle güle, Istanbul. Tessekür ederim. Kau kini jadi
kepingan hidupku yang berharga.