Aku sudah 21 tahun. Ah, aku
hampir lupa. Ternyata di tengah kemelut skripsiku, usia masih bisa bertambah
*yaiyalah*
Dua puluh satu. Usia dewasa.
Sungguh aku bersyukur diberikan pandangan yang semakin luas dan jiwa yang
positif dalam melihat kehidupan ini. Aku ingin menjadi bijak. Kapan aku bisa
menjadi bijak? Tahun ini, bisakah? Aku ingin bijak dalam menjalankan peranku
sebagai makhluk yang ditunjuk penciptanya untuk menjadi khalifah di muka bumi.
Dengan segala yang aku bisa, dan dengan ijin penciptaku, aku mau menjadi bijak.
Bagiku dunia masih sama indahnya
seperti dahulu. Ya, aku tahu sudah terjadi kisah nyata manusia membantai
manusia, tanah negeri yang dibanjiri darah syuhada, dan saudara sebangsa yang
saling menikam demi kekuasaan. Aku tahu itu terjadi, namun bukan hanya
kenyataan yang bisa kita lihat untuk dapat menilai sesuatu, melainkan cara kita
memandang dan keyakinan kita akan adanya perbaikan. Aku memandang semua itu
sebagai sesuatu yang pilu, namun aku masih yakin tentang sisi baik manusia. Fa alhamaha fujuurohaa wa taqwaaha. Maka
Dia mengilhamkan jalan kejahatan dan ketaqwaannya. Jadi sudah jelas bahwa
kebaikan itu ada dalam diri tiap manusia, maka rasanya tidak salah jika
berharap sisi baik itu tercerahkan pada setiap manusia dan menjadi alasan
terbaik untuk mendamaikan segala macam perang. Itulah mengapa aku masih bisa
memandang dunia masih sama indahnya seperti dahulu, karena aku masih meyakini
hal yang sama. Semoga ini merupakan salah satu cara untuk menjadi bijak.
Dua puluh satu. Aku merasa
melayang. Dihembus angin yang juga meniup jarum jam hingga bergerak sedemikian
cepatnya. Andai aku tahu aku berada di paruh waktu yang mana dalam hidupku ini.
Apakah aku berada di setengah kehidupanku, sepertiga, atau tiga perempat. Andai
aku tahu, aku mungkin tak akan bermimpi terlalu tinggi karena terlalu cermat
memperhitungkan waktu yang diperlukan untuk meraih setiap impian, hingga
akhirnya aku memutuskan untuk tidak bermimpi jika akhir waktuku kurasa telah
dekat. Aku merasa melayang. Aku akan ikut bergerak bersama jarum jam. Melayang.
Bukan lagi melangkah. Bersama sejuta impianku.
Bagiku aku masih muda. Tak peduli
sudah ada predikat mahasiswa semester tua melekat padaku. Tak peduli sudah
berapa orang teman yang punya anak dan anak-anak itu memanggilku tante. Aku
masih melihat jalanku terbentang jauh di depanku, dengan ujung yang tak bisa
kuperkirakan namun kuharapkan itu surga yang menungguku dengan pintu terbuka.
Aku masih muda. Aku masih bisa menari dan berlari di tengah badai. Aku masih bisa
menutup mata dan merasa menjejakkan kaki di hamparan rumput lembut serta
merasakan cahaya matahari sore menghangatkan wajahku yang tersenyum lebar. Aku masih
bisa merentangkan tangan dan mengatakan diriku sedang memeluk langit.
Namaku Chyntia Tresna Nastiti.
Aku dua puluh satu tahun dan aku akan memaknai hidupku dengan seindah-indahnya
manusia bisa memaknainya.
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .