Seperti layaknya dua bersaudara perempuan pada umumnya, aku dan adikku seringkali saling menyalahkan, tetapi anehnya, juga bisa kompak dalam banyak hal. Dan seperti layaknya seorang adik, dia suka jadi follower setia kakaknya, tapi nggak dalam semua hal.
Satu hal yang bisa menggambarkan anak yang selisih umurnya 2 tahun kurang 2 minggu denganku ini adalah ia selalu bisa menjadi lebih baik dari aku – dan dulu hal itu selalu membuatku jeles luar biasa, walaupun pada kenyataannya keluargaku nggak pernah ngebanding-bandingin aku sama dia.
Coba dipikir deh, kakak mana sih yang nggak jeles sama adek semacam dia.
Ketika aku mengkhatamkan buku grammar untuk mencapai nilai TOEFL 500... dia meminjam buku itu setelah aku selesai tes dan pada tahun yang sama menjadi pemenang lomba debat bahasa Inggris, juga pada tahun-tahun berikutnya.
Ketika aku belajar mati-matian di kelas reguler waktu SMA, merelakan waktu maen, mengorbankan waktu hang out,lalu berhasil mencapai 5 besar yang nggak konstan... ternyata dia yang sama sekali nggak pernah belajar di rumah, pulang sekolah sibuk organisasi, jalan-jalan, futsal, menduduki ranking 2 di semester pertama kelas bilingual SMA-nya.
Ketika aku belajar bahasa Perancis secara otodidak waktu SMA untuk refreshing dan hanya bisa mempraktekan speakingnya sama Tom dan Wildan dengan sekedar “merci beaucoup” atau “comment ca va?” yang pengucapannya kurang sengau atau chat sama teman asal Turki di Facebook yang bahasanya campur aduk Perancis-Inggris-Turki... dia membeli buku bahasa Perancis saat tahun pertamanya di SMA, dalam jangka waktu yang tidak lama ia bisa bercakap-cakap dengan lancar dalam bahasa Perancis denganku walaupun vocabnya terbatas, tapi selanjutnya ia menekuni bahasa Jepang dan menuliskan karakter Kanji di dinding kamarnya.
Ketika aku bisa menghasilkan uang saat menduduki bangku kuliah, dengan beasiswa, bisnis kecil-kecilan dan pekerjaan part-time pertamaku... ia sudah sering menghasilkan uang sejak di bangku SMP, dengan memanfaatkan bakat tarik suaranya dan hadiah lomba yang diikuti yang jumlahnya nggak sedikit.
Ketika aku semasa sekolah hanya menerbitkan tulisan di blog personal issue-ku dan majalah sekolah, dengan pembaca setia adalah teman-temanku sendiri... ia, yang aku tau nggak begitu berminat dalam bidang tulis-menulis, berangkat ke pelatihan jurnalistik surat kabar lokal sebagai delegasi jurnalis sekolahnya di tahun keduanya di SMP.
Well, masih banyak lagi... Belum termasuk hal-hal remeh-temeh lainnya.
Mamaku sendiri kadang terheran-heran sama anaknya yang kedua ini. Kalo pas hari penerimaan rapot, beliau sering speechless waktu diwawancarai sama wali kelas dan wali murid lainnya. Kata-kata yang sering diceritain ke aku, “Lha wong anak saya ini kalau di rumah nggak pernah belajar lho, Bu. Kalo pulang sekolah pasti udah hampir Maghrib, terus nonton tv, habis itu langsung tidur.” Nggak ngebayangin gimana ‘cegeknya’ orang-orang yang denger kisah perjuangan adekku yang simple itu. Hahaha.
Tapi adikku tetaplah adik pada umumnya. Di balik semua kegeniusan otak dan kemancungan hidung ala Timur Tengah-nya itu, dia tetep punya sifat keras kepala yang nggak bisa ditawar-tawar. Mungkin prinsipnya, “Aku maunya ini, jadi aku harus mendapatkan ini! Nggak bisa diganti sama yang itu!” grrr... Pengen aku jitakin aja. Itulah yang sering bikin aku sebel. Tapi yaa, kesebelan itu agaknya bisa tergantikan sama omellete dan masakan-masakan enak yang dia bikin di akhir minggu, dan luntur ketika kita saling bercerita tentang kisah-kisah konyol, nyanyi-nyanyi dan jingkrak-jingkrak bareng di kamar.
Paling parah kalo malesnya kumat (dan selalu kumat kayaknya).
Mama : Bel, air di kamar mandi matiin gih.
Adek : Iya, bentar (masih nonton tv, akhirnya Mamaku matiin air sendiri dengan menggerutu).
Mama : Dek, katanya besok ujian Fisika? Koq nggak belajar?
Adek : Capek, Maa... udah nggak kuat belajar... (masih nonton tv).
Mama : Terus gimana besok ujiannya?
Adek : Aku belajarnya besok pagi! (mulai emosi)
Aku : Bel, torsi rumusnya apa? (iseng nanyain materi ujiannya)
Adek : F x r (sambil ganti channel tv)
Aku : Kalo momen inersia?
Adek : setengah m x r kuadrat. Pokoknya inersia itu kelembaman. Rumusnya inersia benda pejal macem-macem. Kalo silinder pejal rumusnya bla bla bla, kalo silinder berongga bla bla bla bla bla bla bla. Udah ah, ngantuk! (ngeloyor pergi ke kamar).
Aku : (bengong)
Besok paginya dia bener-bener BELAJAR, dengan buku latian soal di sebelah piring makannya... pukul setengah 6 pagi. Bukan lagi kebut semalam, tapi kebut sejam.
Aku jeles dengan alasan yang bisa dijelaskan. Aku terpacu untuk berusaha lebih keras. Ada mind-set yang muncul dalam benakku, “Aku nggak mau kalah sama dia”.
Kita memang berbeda dalam banyak hal. Dia menekuni seni tari dan musik tradisional dan bersaing di tingkat provinsi, aku menekuni alat musik modern dan berlatih keras untuk bisa memainkan lagu Sail Over Seven Seas di kelompok ansambel musik; dia anggota paskibraka, aku memutar otak mencari cara untuk kabur dari upacara hari Senin; dia membaca tetralogi Twilight yang dramatis, aku membaca komik One Piece yang penuh petualangan; dia pergi ke restoran cepat saji dengan teman-temannya di akhir minggu, aku keluyuran naek komuter dan bis kota dengan teman-temanku; dia menghabiskan waktu dengan nonton tv semalaman, mulai film kartun sampai talkshow, aku menghabiskan waktu di depan laptop, mengutak-atik coreldraw, photoshop dan blog serta bercengkrama dengan teman-teman lewat jejaring sosial.
Ketika aku pisah rumah sama adik – aku tinggal di rumah eyang – aku masih terkesan sama kebiasaannya itu. Sejauh ini aku belum menemukan ada orang yang berkebiasaan belajar ekspres yang sesukses dia.
Setiap pulang ke rumah Mama, aku sering membawa setumpuk tugas dan laporan praktikum yang harus deselesaikan, kalo nggak, aku bawa banyak handouts dan diktat untuk dipelajari. Biasanya aku stand by sampai larut malam. Dan aku agak heran ketika jam 9 malam, adikku yang lebih jangkung daripada aku itu bilang, “Mbak, nanti tidur jam berapa? Sebelum tidur bangunin aku yaa.”
“Jam 3 mungkin. Mau ngapain?”
“Belajar laah... besok ujian Fisika.”
Aku bengong sekali lagi. Koq udah berubah? Kesambet apa ya?
Selidik punya selidik, ternyata dia diancam nggak boleh ikut organisasi lagi kalo semester 2 nanti nilainya merosot. Tentu, yang mengancam adalah Mama tercinta. Dan ternyata anak itu menciut juga begitu liat temen-temen kelas billingualnya getol belajar.
Adek bangun jam 3 pagi ketika aku mengetuk pintu kamarnya, lalu segera mulai belajar. Lalu kulihat kamar adek sepupuku yang bersebelahan sama kamar adekku, ternyata udah terang-benderang oleh lampu belajar. Kalo yang ini sih nggak perlu dikhawatirkan, dia emang rajin dari sononya.
Yaah, dia tetaplah adik pada umumnya. Dan aku pun kakak pada umumnya. Dengan semakin bertambah dewasanya aku, perasaan jeles atau iri hati itu sudah dapat dinetralisir. Aku juga sama baik dan sama hebatnya kayak dia – setidaknya orang-orang dekatku mengatakan begitu. Aku nggak akan keberatan jika besok ia membolak-balik buku Farmakope Edisi IV milikku dan mengerti cara menguji kandungan fenol dalam etanol, yang baru aku dapatkan waktu praktikum semester 1 – tapi aku tau, dia nggak berminat sama sekali dengan Kimia. Toh dia bisa karena aku bisa duluan.
Aku pun nggak akan iri lagi setiap ada anggota keluargaku berkata bahwa adikku sangat mirip dengan almarhum Papa dalam segala hal, karena itu memang benar dan jelas terlihat. Secara fisik maupun psikisnya.
Dan kenyataannya, aku bangga menjadi kakak dari adik yang luar biasa seperti itu.
Read More
Satu hal yang bisa menggambarkan anak yang selisih umurnya 2 tahun kurang 2 minggu denganku ini adalah ia selalu bisa menjadi lebih baik dari aku – dan dulu hal itu selalu membuatku jeles luar biasa, walaupun pada kenyataannya keluargaku nggak pernah ngebanding-bandingin aku sama dia.
Coba dipikir deh, kakak mana sih yang nggak jeles sama adek semacam dia.
Ketika aku mengkhatamkan buku grammar untuk mencapai nilai TOEFL 500... dia meminjam buku itu setelah aku selesai tes dan pada tahun yang sama menjadi pemenang lomba debat bahasa Inggris, juga pada tahun-tahun berikutnya.
Ketika aku belajar mati-matian di kelas reguler waktu SMA, merelakan waktu maen, mengorbankan waktu hang out,lalu berhasil mencapai 5 besar yang nggak konstan... ternyata dia yang sama sekali nggak pernah belajar di rumah, pulang sekolah sibuk organisasi, jalan-jalan, futsal, menduduki ranking 2 di semester pertama kelas bilingual SMA-nya.
Ketika aku belajar bahasa Perancis secara otodidak waktu SMA untuk refreshing dan hanya bisa mempraktekan speakingnya sama Tom dan Wildan dengan sekedar “merci beaucoup” atau “comment ca va?” yang pengucapannya kurang sengau atau chat sama teman asal Turki di Facebook yang bahasanya campur aduk Perancis-Inggris-Turki... dia membeli buku bahasa Perancis saat tahun pertamanya di SMA, dalam jangka waktu yang tidak lama ia bisa bercakap-cakap dengan lancar dalam bahasa Perancis denganku walaupun vocabnya terbatas, tapi selanjutnya ia menekuni bahasa Jepang dan menuliskan karakter Kanji di dinding kamarnya.
Ketika aku bisa menghasilkan uang saat menduduki bangku kuliah, dengan beasiswa, bisnis kecil-kecilan dan pekerjaan part-time pertamaku... ia sudah sering menghasilkan uang sejak di bangku SMP, dengan memanfaatkan bakat tarik suaranya dan hadiah lomba yang diikuti yang jumlahnya nggak sedikit.
Ketika aku semasa sekolah hanya menerbitkan tulisan di blog personal issue-ku dan majalah sekolah, dengan pembaca setia adalah teman-temanku sendiri... ia, yang aku tau nggak begitu berminat dalam bidang tulis-menulis, berangkat ke pelatihan jurnalistik surat kabar lokal sebagai delegasi jurnalis sekolahnya di tahun keduanya di SMP.
Well, masih banyak lagi... Belum termasuk hal-hal remeh-temeh lainnya.
Mamaku sendiri kadang terheran-heran sama anaknya yang kedua ini. Kalo pas hari penerimaan rapot, beliau sering speechless waktu diwawancarai sama wali kelas dan wali murid lainnya. Kata-kata yang sering diceritain ke aku, “Lha wong anak saya ini kalau di rumah nggak pernah belajar lho, Bu. Kalo pulang sekolah pasti udah hampir Maghrib, terus nonton tv, habis itu langsung tidur.” Nggak ngebayangin gimana ‘cegeknya’ orang-orang yang denger kisah perjuangan adekku yang simple itu. Hahaha.
Tapi adikku tetaplah adik pada umumnya. Di balik semua kegeniusan otak dan kemancungan hidung ala Timur Tengah-nya itu, dia tetep punya sifat keras kepala yang nggak bisa ditawar-tawar. Mungkin prinsipnya, “Aku maunya ini, jadi aku harus mendapatkan ini! Nggak bisa diganti sama yang itu!” grrr... Pengen aku jitakin aja. Itulah yang sering bikin aku sebel. Tapi yaa, kesebelan itu agaknya bisa tergantikan sama omellete dan masakan-masakan enak yang dia bikin di akhir minggu, dan luntur ketika kita saling bercerita tentang kisah-kisah konyol, nyanyi-nyanyi dan jingkrak-jingkrak bareng di kamar.
Paling parah kalo malesnya kumat (dan selalu kumat kayaknya).
Mama : Bel, air di kamar mandi matiin gih.
Adek : Iya, bentar (masih nonton tv, akhirnya Mamaku matiin air sendiri dengan menggerutu).
Mama : Dek, katanya besok ujian Fisika? Koq nggak belajar?
Adek : Capek, Maa... udah nggak kuat belajar... (masih nonton tv).
Mama : Terus gimana besok ujiannya?
Adek : Aku belajarnya besok pagi! (mulai emosi)
Aku : Bel, torsi rumusnya apa? (iseng nanyain materi ujiannya)
Adek : F x r (sambil ganti channel tv)
Aku : Kalo momen inersia?
Adek : setengah m x r kuadrat. Pokoknya inersia itu kelembaman. Rumusnya inersia benda pejal macem-macem. Kalo silinder pejal rumusnya bla bla bla, kalo silinder berongga bla bla bla bla bla bla bla. Udah ah, ngantuk! (ngeloyor pergi ke kamar).
Aku : (bengong)
Besok paginya dia bener-bener BELAJAR, dengan buku latian soal di sebelah piring makannya... pukul setengah 6 pagi. Bukan lagi kebut semalam, tapi kebut sejam.
Aku jeles dengan alasan yang bisa dijelaskan. Aku terpacu untuk berusaha lebih keras. Ada mind-set yang muncul dalam benakku, “Aku nggak mau kalah sama dia”.
Kita memang berbeda dalam banyak hal. Dia menekuni seni tari dan musik tradisional dan bersaing di tingkat provinsi, aku menekuni alat musik modern dan berlatih keras untuk bisa memainkan lagu Sail Over Seven Seas di kelompok ansambel musik; dia anggota paskibraka, aku memutar otak mencari cara untuk kabur dari upacara hari Senin; dia membaca tetralogi Twilight yang dramatis, aku membaca komik One Piece yang penuh petualangan; dia pergi ke restoran cepat saji dengan teman-temannya di akhir minggu, aku keluyuran naek komuter dan bis kota dengan teman-temanku; dia menghabiskan waktu dengan nonton tv semalaman, mulai film kartun sampai talkshow, aku menghabiskan waktu di depan laptop, mengutak-atik coreldraw, photoshop dan blog serta bercengkrama dengan teman-teman lewat jejaring sosial.
Ketika aku pisah rumah sama adik – aku tinggal di rumah eyang – aku masih terkesan sama kebiasaannya itu. Sejauh ini aku belum menemukan ada orang yang berkebiasaan belajar ekspres yang sesukses dia.
Setiap pulang ke rumah Mama, aku sering membawa setumpuk tugas dan laporan praktikum yang harus deselesaikan, kalo nggak, aku bawa banyak handouts dan diktat untuk dipelajari. Biasanya aku stand by sampai larut malam. Dan aku agak heran ketika jam 9 malam, adikku yang lebih jangkung daripada aku itu bilang, “Mbak, nanti tidur jam berapa? Sebelum tidur bangunin aku yaa.”
“Jam 3 mungkin. Mau ngapain?”
“Belajar laah... besok ujian Fisika.”
Aku bengong sekali lagi. Koq udah berubah? Kesambet apa ya?
Selidik punya selidik, ternyata dia diancam nggak boleh ikut organisasi lagi kalo semester 2 nanti nilainya merosot. Tentu, yang mengancam adalah Mama tercinta. Dan ternyata anak itu menciut juga begitu liat temen-temen kelas billingualnya getol belajar.
Adek bangun jam 3 pagi ketika aku mengetuk pintu kamarnya, lalu segera mulai belajar. Lalu kulihat kamar adek sepupuku yang bersebelahan sama kamar adekku, ternyata udah terang-benderang oleh lampu belajar. Kalo yang ini sih nggak perlu dikhawatirkan, dia emang rajin dari sononya.
Yaah, dia tetaplah adik pada umumnya. Dan aku pun kakak pada umumnya. Dengan semakin bertambah dewasanya aku, perasaan jeles atau iri hati itu sudah dapat dinetralisir. Aku juga sama baik dan sama hebatnya kayak dia – setidaknya orang-orang dekatku mengatakan begitu. Aku nggak akan keberatan jika besok ia membolak-balik buku Farmakope Edisi IV milikku dan mengerti cara menguji kandungan fenol dalam etanol, yang baru aku dapatkan waktu praktikum semester 1 – tapi aku tau, dia nggak berminat sama sekali dengan Kimia. Toh dia bisa karena aku bisa duluan.
Aku pun nggak akan iri lagi setiap ada anggota keluargaku berkata bahwa adikku sangat mirip dengan almarhum Papa dalam segala hal, karena itu memang benar dan jelas terlihat. Secara fisik maupun psikisnya.
Dan kenyataannya, aku bangga menjadi kakak dari adik yang luar biasa seperti itu.