Siang tadi aku pergi ke Ekowisata Mangrove Surabaya dengan seorang temanku. Tempat wisata ini tempatnya jauuuh banget dari rumah kita – dan aku nggak pernah berpikiran akan mengunjungi tempat terpencil ini kalo nggak diajak temenku yang anak Teknik Lingkungan, jadi maklumlah kalo dia terobsesi sama sesuatu yang ada kata eko-eko-nya, termasuk Eko Patrio. Hwehehe. Kita berangkat ke sana boncengan naek motor setelah aku menyelesaikan urusan desain-mendesain dengan seorang klien (ha? klien?).
Kalo ditanyain rutenya ke sana gimana, jelas… nggak bisa jawab apa-apa gue. Yang aku inget pokoknya dari jalan raya yang macetnya gokil, terus kita lewat jalan raya yang sepi, jalan berkerikil-kerikil, jalan becek nggak ada ojek, jalan yang kubangannya segede kolam renang, perumahan antah-berantah, dan akhirnya masuk ke gerbang bambu. Tapi ternyata itu belum cukup. Jalan berbatu, menanjak, berkubang masih terus kita lewati, kali ini dengan hiasan rawa-rawa di kanan-kirinya. Hmmm, jangan-jangan kita udah nggak di Surabaya lagi nih. (backsound : suara “dum dum... dum dum” di Dunia Lain)
Nah, selama perjalanan yang lumayan panjang dan cukup menantang ini kita menemukan kejadian nyata yang boleh direnungkan.
Selama melewati jalan berkubang-berbatu-menanjak-menurun itu, di depan kita ada mobil yang juga menuju ke arah yang sama dengan kita. Lalu suatu saat, mobil itu berhenti (kayaknya ragu-ragu), dan kita duluan. Trus mobil itu kembali meneruskan perjalanannya di belakang kita. Sampai bermil-mil jauhnya, akhirnya kita sampe di pertigaan. Setelah lirik kanan-kiri, kita berhenti di tengah-tengah pertigaan, bingung mau kemana…(tapi plis deh, kalo bingung mbokya berhentinya di pinggir, jangan pas di tengah-tengah pertigaan gitu -.-). Lalu ada sekelompok orang naek motor juga sama kayak kita muncul dari arah kiri.
Terus kita diteriakin, “Ke sana, Mbak, arahnya” (sambil nunjuk ke arah kemunculannya).
Aku mengacungkan jempol tanda terimakasih.
Kita melaju ke kiri – diikutin mobil itu tadi.
Lalu ketemu pertigaan lagi. Sebelah kanan jalan kecil dikelilingi ilalang yang lumayan tinggi, jadi agak susah ngeliatnya, apakah itu jalan buntu atau nggak. Sedangkan jalan di depan kita masih jalan berkubangan, ada jembatan yang keliatan di kejauhan. Kalo kalian jadi aku, kalian pilih yang mana?
Mobil itu mendekati kita. Kaca jendelanya terbuka. Keliatan penumpang dan sopirnya pake seragam dinas, tapi aku nggak tau dinas apa.
Sopirnya nanya ke kita, “Ke arah mana, dek?”
“Wah nggak tau, Pak” jawabku, “kita mau nyoba ke kanan dulu ini…”
Lalu kita ambil jalan ke kanan, sedangkan Bapak itu lurus. Dan benar kata temenku, jalan ke kanan buntu. Lalu kita puter balik, ngambil jalan yang lurus tadi. Tapi ternyata mobilnya Bapak tadi puter balik, nggak jadi lewat jalan yang di depannya tadi.
Emang jalan itu parah banget – menanjak, berkerikil, berkubang, berlumpur. Mungkin Bapak itu udah ngerasa tersesat dan berpikir, “mending pulang aja”. Tapi kita tetep melewati kemungkinan jalan satu-satunya itu.
Dan beberapa saat kemudian, sampailah kita ke Ekowisata Mangrove yang kita cari-cari dari tadi, tapi mobil Bapak yang tadi itu nggak nyampe-nyampe juga. Beneran pulang kayaknya. Sayang banget. Padahal tempatnya tinggal sak-crut lagi.
Kita merenungi kejadian itu waktu perjalanan pulang.
Bapak itu tadi udah melewati banyak rintangan dalam perjalanan ke sini, tapi begitu udah hampiiiiiir sampai di tujuan, ia berhadapan dengan rintangan yang terakhir, eh malah puter balik. Coba ia mengumpulkan sedikit saja kemauannya untuk menghadapi rintangan yang terakhir itu, dia bakal sampai dengan sukses. Dan seandainya ia tau bahwa pada kenyataannya ia sudah sangat dekat dengan tempat tujuan tapi ia berbalik, pasti dia nyesel dan cakar-cakar bantal.
Jadi intinya, keberhasilan itu letaknya hanya beberapa meter di belakang keputusasaan. Kalo kita berhadapan dengan keputusasaan tapi kita melewatinya, kita akan berhadapan dengan keberhasilan.
Mulai saat ini, hal itu ditetapkan sebagai pelajaran hidup nomor 14. Dog dog dog! (suara palu diketuk ke meja).
0 komentar:
Post a Comment
yuuk komen yuuk . . .