Sebenarnya profesi apoteker merupakan profesi
yang cukup tua di Indonesia. Perundangan yang mengaturnya sudah ada sejak 1966
yang kemudian terus diperbarui hingga sekarang kita dapat melihat definisi
Apoteker yang masih berlaku di PP nomor 51 tahun 2009, yaitu apoteker adalah
sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah
jabatan apoteker. Definisi itu dibarengi dengan uraian tentang tanggung jawab
apoteker dalam pekerjaan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian kemudian
diatur dalam Kepmenkes Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004, dan dilanjutkan dengan standar operasional yang
mengatur dengan cukup detail mengenai apa saja yang harus dilakukan dan dicapai
oleh apoteker dalam menjalankan tugasnya.
Secara
teori, apoteker merupakan profesi yang begitu penting. Perannya begitu luas di
bidang kesehatan di Indonesia. Peran ini terlihat terutama di bidang pelayanan.
Bidang ini menjadi ujung tombak eksistensi apoteker di masyarakat karena di
bidang ini apoteker berkesempatan untuk melakukan interaksi langsung dengan
masyarakat. Tempat pelayanan kefarmasian utama bagi apoteker adalah apotek,
sesuai dengan PP nomor 51 tahun 2009. Dibekali dengan konsep pharmaceutical care yang begitu mulia,
seharusnya di sinilah apoteker mendekat dengan masyarakat. Dan seharusnya di
sini juga lah apoteker menunjukkan bahwa ia selalu ada untuk melayani kebutuhan
informasi obat dan kesehatan bagi masyarakat. Namun kenyataan yang dapat
ditemui di kehidupan nyata merupakan ironi dari peraturan perundangan apapun
yang pernah dibuat untuk pelayanan kefarmasian. Banyak apotek yang tak ubahnya
seperti toko biasa, hanya berbeda pada komoditi yang dijual. Tak ada makna
pelayanan. Tak ada pharmaceutical care.
Kenyataan ini selalu dipertanyakan oleh calon-calon apoteker yang masih duduk
di bangku kuliah. Jika memang seperti itu, untuk apa ada apoteker? Sampai kapan
apotek sekedar menjadi ‘toko yang menjual obat’?
Sudah
banyak yang menjelaskan berbagai faktor penyebab ironi pelayanan kefarmasian
tersebut. Tidak tegasnya hukum yang berlaku, tidak adanya komitmen apoteker,
dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai fungsi apoteker, semuanya
berkontribusi. Memperbaiki keadaan yang memprihatinkan ini tak semudah
membalikkan telapak tangan, namun bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan.
Mungkin sekali lagi kita harus kembali ke teori-teori falsafah kefarmasian,
yang menjelaskan betapa mulianya profesi apoteker di muka bumi ini. Juga
mungkin kita bisa mencermati kembali lambang cawan dan ular yang menjadi simbol
farmasi. Di tangan apoteker, bahan yang awalnya merupakan racun, diubah
sedemikian rupa menjadi obat yang
menyembuhkan. Di tangan apoteker juga, perubahan aktivitas tubuh menjadi lebih
baik bisa terjadi. Tidak ada yang mampu melakukan hal itu kecuali apoteker.
Karena sifat tak tergantikan inilah maka apoteker layak disebut profesi.
Memang
benar, peran apoteker bukan hanya semata-mata di bidang pelayanan. Ada bidang
industri dan bidang-bidang lain yang menjadi tempat mengabdi bagi profesi ini.
Namun pada prinsipnya, dimanapun bekerja, apoteker bervisi selaras dan dalam
jiwanya memegang nilai-nilai yang sama demi memajukan kesehatan bangsa. Maka,
apapun yang dilakukan dalam pekerjaan kefarmasian, pasti tak akan jauh dari
tujuan ‘meningkatkan derajat hidup masyarakat yang setinggi-tingginya’. Itulah
yang membedakan profesi apoteker dari profesi non medis.
Apoteker
sendiri yang harus bergerak mengatasi masalah ini. Dengan memperbaiki sistem
perundangan, dengan hadir di tempat praktek pelayanan kefarmasian, dengan
melakukan pengabdian dalam bentuk yang sesuai untuk masyarakat. Untuk itu,
diperlukan kerja sama dan peran aktif para apoteker di berbagai bidang karena ini
bukan pekerjaan mudah. Dengan menunjukkan eksistensi, persamaan derajat dengan
rekan sejawat profesi kesehatan lain yang sejak dulu dipertanyakan apoteker,
juga mungkin bisa tercapai.
Calon
apoteker saat ini mungkin terlalu lama terpatri di depan laporan dan jurnal
praktikum, sehingga tak pernah mengenal dengan baik profesi yang akan ditekuni
nantinya. Juga mungkin karena terlalu percaya pada teori mengenai apoteker
‘seharusnya’ dan mengesampingkan apoteker ‘kenyataannya’, sehingga tidak
menyadari besarnya gap antara
keduanya. Di tengah berbagai kekhawatiran mengenai tenggelamnya profesi ini,
harapan tetap dapat digaungkan.
Dan
harapan kita semua sama, yaitu ingin apoteker dikenal oleh masyarakat. Ingin
apoteker mengatakan kepada masyarakat, “Saya Apoteker Anda. Anda bisa bertanya
apapun mengenai obat kepada saya. Jika Anda bingung memutuskan obat apa yang
seharusnya Anda minum, Anda bisa bertanya kepada saya. Jika Anda ragu kapan
harus meminum obat, Anda bisa berkonsultasi dengan saya. Kapanpun Anda
memerlukan, Anda bisa menghubungi saya. Saya ada untuk melayani Anda. Dan
bersama-sama kita akan meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia.” Dengan
begitu, tak ada lagi yang mempertanyakan keberadaan dan kedudukan profesi ini
terhadap profesi kesehatan lain.
Bersinarlah,
Apoteker Indonesia. Tunjukkan bahwa kau pantas disebut nation’s expert on medicine.
Chyntia
Tresna Nastiti
Mahasiswa
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga